LIPSUS – Obral Izin Tambang Rakyat

60 titik Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) diterbitkan pemerintah pusat untuk NTB. Tapi kebijakan ini belum sejalan dengan pemenuhan syarat pengelola Izin Pertambangan Rakyat (IPR) yang taat kaidah lingkungan. Baik untuk koperasi maupun perorangan. Penelusuran tim Lipsus NTBSatu di sampel area Sekotong dan Taliwang, bencana ekologi dan konflik mengintai.
——————————
Telunjuk Hendra Gunawan mengarah ke sebuah bukit yang berjarak sekitar 1 kilometer dari tanah datar posisinya berdiri. Bagian ujung bukit bopeng, bekas penggalian secara manual. Pada bagian lain bukit yang curam ini masih berupa hutan utuh.
Informasi dari warga, sebagian besar bukit dalam penguasaan perorangan untuk koperasi tambang rakyat milik mantan pejabat. Lahan yang sudah dibebaskan dari warga, kini atasnama Mantan Bupati Kabupaten Sumbawa Barat, HW Musyafirin.
“Kalau luasnya belum tahu persis. Tapi 30 meter dari puncak ke bawah, itu miliknya Pak Mantan , Pak Haji Firin,” kata Hendra kepada NTBSatu, Sabtu 27 Agustus 2025. Terkait kepemilihan lahan untuk persiapan blok tambang rakyat ini, Musyafirin belum merespons konfirmasi NTBSatu.
Menurut rencana, gunung akan dibabat untuk aktivitas pertambangan rakyat. Keyakinan warga, bukit setinggi sekitar 300 Meter di atas permukaan laut (Mdpl) itu menyimpan kandungan logam mulia emas. Karena tahun 2021 lalu, bukit ini ibarat gula. Jadi rebutan tambang liar yang melibatkan warga lokal dan TKA China. Menyisakan ratusan lubang bekas galian tambang tradisional.
Hendra Gunawan adalah Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Seloto. Ia masuk dalam struktur koperasi tambang bentukan Musyafirin sebagai pengawas. Posisi cukup strategis warga mengenal Hendra sebagai tokoh masyarakat di sana.
Meski menduduki posisi jabatan formal di desa, Alumni Fakultas Ekonomi Universitas Mataram ini punya pengalaman melawan tambang ilegal.
Tahun 2021 lalu, Hendra Gunawan mengangkat megaphone memimpin warga menolak aktivitas tambang ilegal yang melibatkan Tenaga Kerja Asing (TKA) asal China. Tambang yang menggunakan alat berat itu, sudah membuka kolam pengolahan material. Warga melawan karena khawatir limbahnya semakin mencemari Danau Lebo yang jaraknya beberapa ratus meter dari batas luar desa.
Gerakan “Penyelamatan Danau Lebo” berhasil menutup paksa tambang rakyat skala besar itu, bermodalkan keputusan Dinas LHK NTB tanggal 15 Juli 2021.

Sejak insiden itu, isu tambang rakyat sebenarnya sudah hilang dari Seloto. Bekas galian masih menyisakan permukaan bukit yang menganga. Tapi agenda itu bangkit kembali setelah ada semangat pembukaan koperasi tambang rakyat.
Isu yang mencuat, metodologi yang digunakan tidak mencemari lingkungan, tanpa menggunakan bahan kimia seperti merkuri. “Operasional tambang rakyat ini katanya ramah lingkungan. Itu sosialisasi awal dari Pak Mantan (Mantan Bupati KSB Musyafirin, red). Makanya kami semangat,” ujarnya.
Ada harapan sumber kesejahteraan baru dari tambang yang legal. Sumber pendapatan warga yang selama ini bertani dan nelayan, berpeluang terangkat derajat ekonominya dari mineral emas. Selain peluang penghasilan, juga peluang lapangan kerja baru.
Tapi ia mewanti wanti agar masyarakat bukan wacana. Pemilik izin harus mampu membuktikan semangat menggunakan metode ramah lingkungan. Jika terbukti sebaliknya, maka ia pastikan perlawanan sama seperti tahun 2021 lalu itu akan bangkit lagi.
“Makanya kita uji nanti. Benar tidak ramah lingkungan. Kalau masih sama, pakai merkuri, atau zat kimia lain. Ini yang kami khawatirkan, pasti ditolak warga,” tegasnya.
Bagi Hendra Guawan, apapun konsepnya, koperasi maupun perorangan. Terpenting bagi warga, tidak merusak lingkungan.
Beragam sambutan warga, khususnya pelaku tambang rakyat di Sumbawa Barat terkait IPR beragam berbasis koperasi dan perorangan. Mereka menyambut positif jika masyarakat lokal bisa ambil bagian.
“Bisa bisa saja kami gabung koperasi atau yang pengusaha. Yang penting pembagiannya adil dan transparan,” kata Indrawansa, penambang tradisional di Kelurahan Lang Iler, Kecamatan Taliwang.
Sementara Samsudin, responsnya datar saat soal rencana koperasi masuk beroperasi di blok Lang Iler.
Mereka belum pernah kedatangan unsur pemerintah desa atau tingkat kabupaten yang melakukan sosialisasi. Termasuk dari unsur koperasi yang sudah berdiri. Jangankan ajakan bergabung sebagai anggota, sosialisasi pun belum.
“Pernah sih dengar kalau soal koperasi. Tapi belum ada yang datang ke kita, apalagi ajak kita gabung,” aku Samsudin menimpali Indrawansa, Sabtu 27 Agustus 2025.
Pada prinsipnya, mereka siap terbuka menerima konsep baru dalam pengelolaan tambang rakyat.
“Saya setuju setuju saja. Yang penting sepakat soal harga,” lanjut Indrawansa. Setidaknya itu jadi solusi penghasilan mereka terangkat dan keluar dari ketergantungan pengepul.
Sebab tantangan berat mereka saat ini, menghadapi pengepul dan pengusaha pengolahan lumpur jadi emas. Harga merkuri yang dulu hanya 250.000 per kilogram, sekarang tembus Rp1,5 juta. Bahkan tembus Rp3 juta jika barang langka.
Belum lagi tantangannya soal harga emas yang tidak transparan. “Begitu kami bawa lumpur untuk diolah, berapa pun hasilnya, kami terima saja. Kami ndak dikasitahu ada emas yang nyangkut di alat mereka. Mereka berkuasa,” ungkapnya.
Tapi kehadiran koperasi bisa jadi sumber gejolak baru, jika praktik monopoli harga dan kurang transparan pada pengolahan.
Saat ini Samsudin sangat menikmati hasil tambang tradisional yang ia jalani, meski sering kali merugi. Apalagi bahan bakunya cukup ia dapatkan dari bukit miliknya di seberang jalan.
Sabtu siang itu, Samsudin sedang mengamati mesin gelondong, alat tradisional pengolahan material tanah untuk mencari bijih emas.
Ia duduk bersila di sudut ranjang kayu beralaskan tikar. Penuh harap ada hasil setelah menunggu sekitar delapan jam. Jejeran 10 tabung besi silinder seukuran ember cat 1 kilogram, terus berputar searah, menentukan arah perputaran penghasilannya untuk kebutuhan sehari hari.
Sementara lagu beraroma nostalgia Cinta Berawan, Sejuta Luka, Dua Kursi, bergilir mengalun dalam daftar putar. Samsudin nampak menikmati alunan suara tinggi Rita Sugiarto yang bersaing dengan deru mesin gelondong trandisional di depannya.

Foto: Haris Al Kindi
Warga di Kelurahan Sampir dan warga Desa Seloto, tergolong pemain baru di tambang tanpa izin. Teramati dari jarak antara instalasi gelondong satu dengan lainnya, 50 sampai 100 meter. Belum sepadat di Desa Lamunga.
Potensi menjanjikan dari blok tambang rakyat lewan koperasi maupun izin usaha perorangan ibarat dua sisi mata pisau. Dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi, tapi ancaman semakin parah jika tak ada kendali atas pengelolaan lingkungan.
Apalagi melihat tempat berkumim Samsudin di pinggir sawah Lang Iler, Kelurahan Sampir, Kecamatan Taliwang. Bukit bukit hijau di kawasan ini mengelilingi hamparan sawah, terasa masih sangat alami.
Saat ini saja, air dan tanah di sebagian wilayah Taliwang sudah tercemar logam berat. Penelitian sample air oleh tim Universitas Gajah Mada (UGM) Tahun 2016 lalu, menemukan kandungan logam berat Merkuri Danau Lebo tertinggi, 14,44 ug/Kg. Berdampak pada ikan ikan di dalam danau tak layak konsumsi.
Balai POM juga melakukan penelitian yang sama tahun 2022 lalu. Merkuri sudah mencemari kawasan persawahan, terbukti dari penelitian Keong Sawah mencapai 0,96 – 1,91 ppm. Padahal ambang batas kandungan merkuri pada air dan tanah hanya 0,3 ppm.
Selain di Taliwang, KSB, penelitian UGM bekerja sama dengan Universitas Mataram tahun 2010 dilakukan di Sekotong, Lombok Barat.
Liputan Mongabay 26 September 2019, sebanyak 1.497 mesin gelondong, 48 persen limbah dibuang ke sungai.
Pencemaran dibuktikan dengan temuan air dan tanah. Kadar merkuri tertinggi ditemukan pada Ikan Gelodok di muara Sungai Belongas, sebesar 2,071 ppm.
Lebih dari itu, yang mencengangkan, ditemukan konsentrasi merkuri tertinggi di dapatkan 54,931.84 ng/m3. Padahal ambang batas terendah 121,77 ng/M3. Publikasi berjudul “Bertaruh Nyawa demi Emas di Lombok” ini mengungkap, seorang warga keracunan udara yang tercemar kandungan merkuri 20.891.93 ng/m3.