Daerah NTBHEADLINE NEWSLiputan Khusus

LIPSUS – Obral Izin Tambang Rakyat

60 titik Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) diterbitkan pemerintah pusat untuk NTB. Tapi kebijakan ini belum sejalan dengan pemenuhan syarat pengelola Izin Pertambangan Rakyat (IPR) yang taat kaidah lingkungan. Baik untuk koperasi maupun perorangan. Penelusuran tim Lipsus NTBSatu di sampel area Sekotong dan Taliwang, bencana ekologi dan konflik mengintai.

——————————

Telunjuk Hendra Gunawan mengarah ke sebuah bukit yang berjarak sekitar 1 kilometer dari tanah datar posisinya berdiri. Bagian ujung bukit bopeng, bekas penggalian secara manual. Pada bagian lain bukit yang curam  ini masih berupa hutan utuh.

Informasi dari warga, sebagian besar bukit dalam penguasaan perorangan untuk koperasi tambang rakyat milik perorangan yang sudah dibebaskan dari warga.

“Kalau luasnya belum tahu persis. Tapi 30 meter dari puncak ke bawah,” kata Hendra kepada NTBSatu, Sabtu 27 Agustus 2025.

IKLAN

Menurut rencana, gunung akan dibabat untuk aktivitas pertambangan rakyat. Keyakinan warga, bukit setinggi  sekitar 300 Meter di atas permukaan laut (Mdpl) itu menyimpan kandungan logam mulia emas. Karena tahun 2021 lalu, bukit ini ibarat gula. Jadi rebutan tambang liar yang melibatkan warga lokal dan TKA China. Menyisakan ratusan lubang bekas galian tambang tradisional.

Hendra Gunawan adalah Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Seloto. Ia masuk dalam struktur koperasi tambang sebagai pengawas. Posisi cukup strategis  warga mengenal Hendra sebagai tokoh masyarakat di sana.   

Meski menduduki posisi jabatan formal di desa, Alumni Fakultas Ekonomi Universitas Mataram ini punya pengalaman melawan tambang ilegal. 

Tahun 2021 lalu, Hendra Gunawan mengangkat megaphone memimpin warga menolak aktivitas tambang ilegal yang melibatkan Tenaga Kerja Asing (TKA) asal China. Tambang yang menggunakan alat berat itu, sudah membuka kolam pengolahan material. Warga melawan karena khawatir limbahnya  semakin mencemari Danau Lebo yang jaraknya beberapa ratus meter dari batas luar desa.

Gerakan “Penyelamatan Danau Lebo”  berhasil menutup paksa tambang rakyat skala besar itu, bermodalkan keputusan Dinas LHK NTB tanggal 15 Juli 2021.

IKLAN
Ketua BPD Seloto Hendra Gunawan menunjuk ke arah bukit yang rencananya dikeruk oleh IPR koperasi. Bukit ini berbatasan antara Desa Seloto dan Desa Loka. Foto: Haris Al Kindi

Sejak insiden itu, isu tambang rakyat sebenarnya sudah hilang dari Seloto. Bekas galian masih menyisakan permukaan bukit yang menganga. Tapi agenda itu bangkit kembali setelah ada semangat pembukaan koperasi tambang rakyat. 

Isu yang mencuat, metodologi yang digunakan tidak mencemari lingkungan, tanpa menggunakan bahan kimia seperti merkuri. “Operasional tambang rakyat ini katanya ramah lingkungan. Itu sosialisasi awal. Makanya kami semangat,” ujarnya.

Ada harapan sumber kesejahteraan baru dari tambang yang legal. Sumber pendapatan warga yang selama ini bertani dan nelayan, berpeluang terangkat derajat ekonominya dari mineral emas. Selain peluang penghasilan, juga peluang lapangan kerja baru.

Tapi ia mewanti wanti agar masyarakat bukan wacana. Pemilik izin harus mampu membuktikan semangat menggunakan metode ramah lingkungan. Jika terbukti sebaliknya, maka ia pastikan perlawanan sama seperti tahun 2021 lalu itu akan bangkit lagi.

“Makanya kita uji nanti. Benar tidak ramah lingkungan. Kalau masih sama, pakai merkuri, atau zat kimia lain. Ini yang kami khawatirkan, pasti ditolak warga,” tegasnya.

Bagi Hendra Guawan, apapun konsepnya, koperasi maupun perorangan. Terpenting bagi warga, tidak merusak lingkungan.

Beragam sambutan warga, khususnya pelaku tambang rakyat di Sumbawa Barat terkait  IPR beragam berbasis koperasi dan perorangan. Mereka menyambut positif jika masyarakat lokal bisa ambil bagian.

“Bisa bisa saja kami gabung koperasi  atau yang pengusaha. Yang penting pembagiannya adil dan transparan,” kata Indrawansa, penambang tradisional di Kelurahan Lang Iler, Kecamatan Taliwang.

Sementara Samsudin, responsnya datar saat soal rencana koperasi masuk beroperasi di blok Lang Iler.

Mereka belum pernah kedatangan unsur pemerintah desa atau tingkat kabupaten yang melakukan sosialisasi. Termasuk dari unsur koperasi yang sudah berdiri. Jangankan ajakan bergabung sebagai anggota, sosialisasi pun belum.

“Pernah sih dengar kalau soal koperasi. Tapi belum ada yang datang ke kita, apalagi ajak kita gabung,” aku Samsudin menimpali Indrawansa, Sabtu 27 Agustus 2025.

Pada prinsipnya, mereka siap terbuka menerima konsep baru dalam pengelolaan tambang rakyat.

“Saya setuju setuju saja. Yang penting sepakat soal harga,” lanjut Indrawansa. Setidaknya itu jadi solusi penghasilan mereka terangkat dan keluar dari ketergantungan pengepul.

Sebab tantangan berat mereka saat ini, menghadapi pengepul dan pengusaha pengolahan lumpur jadi emas. Harga merkuri yang dulu hanya 250.000 per kilogram, sekarang tembus Rp1,5 juta. Bahkan tembus Rp3 juta jika barang langka.

Belum lagi tantangannya soal harga emas yang tidak transparan. “Begitu kami bawa lumpur untuk diolah, berapa pun hasilnya, kami terima saja. Kami ndak dikasitahu ada emas yang nyangkut di alat mereka. Mereka berkuasa,” ungkapnya.

Tapi kehadiran koperasi bisa jadi sumber gejolak baru, jika praktik monopoli harga dan kurang transparan pada pengolahan.

Saat ini Samsudin sangat menikmati hasil tambang tradisional yang ia jalani, meski sering kali merugi. Apalagi bahan bakunya cukup ia dapatkan dari bukit miliknya di seberang jalan. 

Sabtu siang itu, Samsudin sedang mengamati mesin gelondong, alat tradisional pengolahan material tanah untuk mencari bijih emas.

Ia duduk bersila di sudut ranjang kayu beralaskan tikar.  Penuh harap ada hasil setelah menunggu sekitar delapan jam.  Jejeran 10 tabung besi silinder seukuran ember cat 1 kilogram, terus berputar searah, menentukan arah perputaran penghasilannya untuk kebutuhan sehari hari. 

Sementara lagu beraroma nostalgia Cinta Berawan, Sejuta Luka, Dua Kursi, bergilir mengalun dalam daftar putar. Samsudin nampak menikmati alunan suara tinggi Rita Sugiarto yang bersaing dengan deru mesin gelondong trandisional di depannya.

Mesin gelondongan emas yang dioperasikan Samsudin (52) di Kelurahan Sampir, Kecamatan Taliwang, Kabupaten Sumbawa Barat.
Foto: Haris Al Kindi

Warga di Kelurahan Sampir dan warga Desa Seloto, tergolong pemain baru di tambang tanpa izin. Teramati dari jarak antara instalasi gelondong satu dengan lainnya, 50 sampai 100 meter. Belum sepadat di Desa Lamunga.  

Potensi menjanjikan dari blok tambang rakyat lewan koperasi maupun izin usaha perorangan ibarat dua sisi mata pisau. Dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi, tapi ancaman semakin parah jika tak ada kendali atas pengelolaan lingkungan.

Apalagi melihat tempat bermukim Samsudin di pinggir sawah Lang Iler, Kelurahan Sampir, Kecamatan Taliwang. Bukit bukit hijau di kawasan ini mengelilingi hamparan sawah, terasa masih sangat alami.

Saat ini saja, air dan tanah di sebagian wilayah Taliwang sudah tercemar logam berat. Penelitian sample air oleh tim Universitas Gajah Mada (UGM) Tahun 2016 lalu, menemukan kandungan logam berat Merkuri Danau Lebo tertinggi, 14,44 ug/Kg. Berdampak pada ikan ikan di dalam danau tak layak konsumsi. 

Balai POM juga melakukan penelitian yang sama tahun 2022 lalu. Merkuri sudah mencemari kawasan persawahan, terbukti dari penelitian Keong Sawah mencapai 0,96 – 1,91 ppm. Padahal ambang batas kandungan merkuri pada air dan tanah hanya 0,3 ppm.

Selain di Taliwang, KSB, penelitian UGM bekerja sama dengan Universitas Mataram tahun 2010 dilakukan di Sekotong, Lombok Barat.

Liputan Mongabay 26 September 2019,  sebanyak 1.497 mesin gelondong, 48 persen limbah dibuang ke sungai. 

Pencemaran dibuktikan dengan temuan air dan tanah. Kadar merkuri tertinggi ditemukan pada Ikan Gelodok di muara Sungai Belongas, sebesar 2,071 ppm.

Lebih dari itu, yang mencengangkan, ditemukan konsentrasi merkuri tertinggi di dapatkan 54,931.84 ng/m3. Padahal ambang batas terendah 121,77 ng/M3.  Publikasi berjudul “Bertaruh Nyawa demi Emas di Lombok” ini mengungkap, seorang warga keracunan udara yang tercemar kandungan merkuri 20.891.93 ng/m3.

IPR Belum Diterima Penambang

Bising mesin glondong emas bersahutan  saat matahari terasa terik Sabtu 9 Agustus 2025 Pukul 08.30 Wita.

Mestinya menjadi  pagi yang sejuk, namun terasa lebih menyengat akibat bukit sekitarnya gersang. Permukaan tampak tanah dan bebatuan akibat dikuliti bertahun tahun aktivitas tambang ilegal. 

Motor dikendarai NTBSatu melintas pelan lewat permukaan jalan bekas galian yang membentuk jalur. Ban motor yang sudah dimodifikasi bergerigi, membantu menyusuri permukaan berbatu dan tanah liat kering.

Selain kuda besi yang sudah dimodifikasi, hanya roda empat jenis off road mampu tembus.

Kami berpapasan dengan Jeep tua melaju masuk ke perut bukit, menuju lubang-lubang tambang di Desa Lemer, Kecamatan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat. Salah satu titik pertambangan rakyat di sini disebut Blok Lemer. Sama dengan nama Dusunnya.

Lemer bukan nama asing bagi penambang ilegal.  Blok yang berdekatan dengan Dusun Bunut Kantor, blok tambang rakyat yang sudah lama beroperasi tanpa izin. Baru baru ini Kementerian ESDM menerbitkan blok ini sebagai Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) untuk pihak mana saja yang mampu memenuhi syarat memegang izin IPR.

Para penambang rata rata responsnya sama terkait rencana melegalkan tambang rakyat dengan IPR yang dikelola koperasi atau pun perorangan.

Kekhawatiran mereka harga pasar emas akan dimonopoli koperasi atau pemodal perorangan. Salah seorang penambang menyebut,  jika harga sudah dikunci, peluang tidak transparan.

Warga akan dirugikan jika harga emas dunia naik. Mereka tak bisa mengambil keuntungan penuh dari fluktuasi pasar.

Kekhawatiran lain menyangkut kebebasan membawa hasil galian tambang. Selama ini, penambang kerap membawa pulang sebagian batuan atau tanah untuk diolah di rumah.   Dengan menyerahkan sistem baru ke pihak lain, keleluasaan tidak akan mereka dapatkan lagi.

Bukan hanya soal harga dan sampel. Tidak jelasan batasan peran pengelola IPR akan menjadi sumber perbedaan pandangan. Mereka bahkan berpikir lebih sederhana. Jika ada pemodal perorangan atau koperasi, justeru akan lebih diterima jika fungsinya memberikan pinjaman.

“Koperasi idealnya memberi bantuan modal atau pinjaman. Bukan saja buat penambang, tapi juga untuk untuk petani nelayan di sini,” ujar seorang penambang yang enggan identitasnya dimuat.

“Harusnya bisa memberikan pinjaman. Kalau tidak, ya percuma kita berkoperasi,” kata penambang lainnya.

Bara Konflik Tambang Rakyat

Terlepas dari perbedaan pandangan soal kehadiran pengelola IPR, situasi Sekotong kini semakin terjadi perubahan bentang alam.

Dari perjalanan sekitar 1,5 jam berkendara motor dari Kota Mataram menuju Sekotong, terlihat sejumlah titik hutan gundul dan bukit yang sudah ‘botak’. Hanya sebagian yang nampak hijau.

Seperti di Seloto KSB, Sekotong Lombok Barat juga punya riwayat konflik warga lokal dengan penambang.

Bedanya, konflik di Sekotong lebih kompleks.  Konflik horizontal antara sesama penambang liar, warga lokal dengan kelompok penambang dan konflik vertikal dengan perusahaan pemegang IUP dan pemerintah daerah.

Tahun 2010, kawasan ini masuk konsensi Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Indotan.

Kemudian menjadi PT Indotan Lombok Barat Bangkit   (PT ILBB) setelah Pemkab Lombok Barat akuisisi saham 10 persen. Empat blok tambang dengan kawasan cukup besar, Batu Montor, Lenong, Batu Gajah dan Lendek Bare.

Tak kunjung dioperasikan, penambang ilegal berkerubung ke empat blok tersebut. Upaya mengusir mereka dari dalam kawasan semakin mustahil. Sebab mereka sudah mulai menambang sejak 2008, berbekal peta cebakan mineral PT Newmont Nusa Tenggara (AMNT) yang bocor. Akhirnya, konflik pecah.  Camp PT ILBB dibakar massa.

Bara konflik belum padam. Sabtu 10 Agustus 2024, Camp milik Tenaga Kerja Asing (TKA) China di blok Blongas, Desa Persiapan Blongas dibakar massa. 

IUP perusahaan ini mangkrak, meski sudah diakuisisi PT Ancora Indonesia sejak Kementerian ESDM mencabut dari PT ILBB Tahun 2022.

Jejeran aktivitas tambang emas tanpa izin di Desa Lemer, Kecamatan Sekotong Lombok Barat. Foto: Zulhaq Armansyah

Bekas peninggalan PT Indotan masih terlihat. Ditandai keberadaan plang berwarna merah milik PT Indotan lengkap dengan pos jaga berwarna biru.  Tertulis, “PT Indotan Lombok Barat Bangkit dan Polres Lombok Barat”, menjadi pemandangan yang mewarnai perjalanan menuju lubang tambang liar.

Persaingan antara korporasi dengan warga lokal, semakin kompleks. Cebakan emas di perut tanah Sekotong sampai ke telinga pemburu emas dari Pulau Jawa. Belum lagi konflik warga lokal jika pengelola IPR “impor” dari China.

Letupan letupannya memang belum terasa. Tapi kelompok masyarakat sipil dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mulai bersuara.

“Kami sudah mendengar ada rencana IPR dikelola pengusaha luar.  Tapi bagaimana jaminan lingkungannya? Jangan sampai Sekotong yang sudah hancur, tambah hancur. Bagaimana juga jaminan warga lokal bisa ikut sejahtera?,”  tanya Ketua Umum Majelis Adat Semeton Sasak, Maisun kepada NTBSatu, Sabtu 9 Agustus 2025.

Obral Izin Ala Bahlil

Obral izin tambang rakyat di NTB bermula Tahun 2021. Pemerintah pusat mengidentifikasi ada 2.741 titik Pertambangan Tanpa Izin (Peti) se Indonesia.  Pemerintah ingin mengubah lanskap kawasan ilegal menjadi legal.

Pembahasan dan skema terus dipertajam. Sampai muncul ide Menteri ESDM Bahlil Lahadalia memberikan izin tambang untuk organisasi masyarakat (Ormas). Kader NU dan Muhammadiyah sempat terbelah.

Tapi pemerintah pusat tak surut. Rezim Prabowo secara tegas mulai memerdekakan Peti menjadi pertambangan legal. “Karena 1.063 tambang ilegal yang dicatat presiden ke 8 RI Ini, negara rugi Rp300 Triliun,” kata Prabowo saat sidang Tahunan MPR Jumat 15 Agustus 2025.

Infografis: Data sebaran tambang ilegal di Indonesia. Sumber: ESDM RI. Infografis: Joe

Bahlil lantas mengeluarkan Kepmen ESDM Nomor 89 Tahun 2024 tentang Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). Disusul tahun sama, Kepmen Nomor 174 tentang penetapan pedoman penyelanggaran Izin Pertambangan Rakyat (IPR).

Hasilnya, keluar 60 blok Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) di NTB. Hal ini sudah ditetapkan melalui keputusan Menteri ESDM Nomor 174 mengatur tentang Pedoman Penyelenggaraan Izin Pertambangan Rakyat (IPR).      

November 2024, NTBSatu memperoleh data sebaran peta usulan WPR di Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa sebanyak 60 titik, dengan total luas 1.540 hektare. Sebagaimana data nasional, sebaran WPR ini mencaplok wilayah yang sudah terbit Izin Usaha Pertambangan (IUP).

Seperti blok 16, 17 dan 18. Blok paling luas milik PT Indotan Lombok Barat Bangkit dengan luas 10.088 Hektare.

Kemudian dari 60 blok, pemerintah pusat memberi izin hanya 16 blok untuk dibuatkan dokumen WPR yang ditetapkan melalui keputusan Menteri ESDM Nomor 194.

Sebaran 16 blok berbagi ke wilayah dengan potensi tambang golongan A seperti, 5 di Lombok Barat, 3 di Sumbawa Barat, dan 8 di Bima-Dompu.

Sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah, Dinas ESDM NTB belum mengeluarkan satu pun izin 16 blok IPR tersebut. Plh Kepala Dinas ESDM NTB, Wirawan Ahmad memilih enggan berkomentar.

Belum Penuhi Syarat

Mengelola IPR bukan perkara gampang. Kementerian ESDM yang mendelegasikan kewenangan ke Pemprov NTB, memperketat syarat dan prasyarat.

Prasyarat yang harus dipenuhi pengusaha calon pemegang IPR atau badan hukum koperasi.  Dua syarat mutlak, koperasi harus mengajukan dokumen perizinan ke Dinas Penanaman Modal, Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP). Kedua, wajib mendapatkan persetujuan lingkungan dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Provinsi NTB.

Syarat lain juga terikat pada Pemprov NTB yang bisa diurus secara stimulan meliputi empat dokumen. Peraturan Daerah (Perda) tentang reklamasi pasca-tambang, kedua Perda tengang Ipera (Iuran Pertambangan Rakyat). Pada fase ini, sebenarnya Pemprov NTB sudah mempunyai Perda Nomor 2 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Namun di dalamnya belum ada formulasi tentang Ipera. Sehingga perlu dilakukan revisi.

Tahapan ketiga, melakukan sosialisasi ke masyarakat dan koperasi calon pemegang IPR.

Keempat, pembagian koordinat. Setiap koperasi yang mengantongi izin, menggarap titik koordinat dan luasan yang sudah ditentukan.

Kondisi kontur bukit di Sekotong Lombok Barat yang perlahan lahan dikeruk kegiatan tambang ilegal. Foto: Zulhaq Armansyah

Data Bidang Pengelolaan Sampah dan Pengendalian Pencemaran Lingkungan Dinas LHK NTB, sejauh ini baru lima koperasi yang mengajukan dokumen persetujuan lingkungan melalui aplikasi Amdal-net.

Di antaranya, Koperasi Salonong Bukit Lestari, Kabupaten Sumbawa; Koperasi Rengge Diwu Kengka Kabupaten Bima; Koperasi Lantung Mandiri Bersatu Kabupaten Sumbawa; Koperasi Bhara Satonda Prima, Kabupaten Dompu; dan Koperasi Usaha Puncak Bersatu, Kabupaten Bima.

Ancaman Bencana IPR

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) NTB Amri Nuryadi  menemukan ada kelemahan mendasar dari rencana IPR. Yakni kesiapan SDM yang belum memadai.

Koperasi maupun perorangan yang akan mengelola tambang rakyat, belum memiliki kemampuan teknis, pengetahuan lingkungan, maupun manajemen pasca tambang yang memadai.

“Kalau SDM tidak siap, izin ini hanya akan jadi bencana baru. Jangan sampai IPR cuma kedok investasi besar yang menyamar jadi ‘tambang rakyat’,” kata Amri.

Walhi juga mengungkap pola penyalahgunaan izin tambang yang kerap terjadi. Di dokumen resmi, luas lahan yang diizinkan tampak wajar, tapi hasil pantauan lapangan sering menemukan aktivitas penambangan melebihi batas izin.

“Begitu izin keluar, pengawasan lemah, dan tambang melebar ke mana-mana. Ini bukan asumsi, ini temuan lapangan,” ungkap Amri.

WALHI mengkawatirkan IPR hanyalah formalitas untuk membungkus kepentingan korporasi besar pengelola tambang rakyat. Di atas kertas, IPR untuk koperasi rakyat. Di lapangan, korporasi yang akan menguasai rantai pasok dan keuntungan.

Walhi  mencatat, titik-titik tambang rakyat di NTB tersebar di seluruh wilayah Pulau Lombok dan Sumbawa.

Dampaknya bukan hanya pada berkurangnya lahan pertanian berkelanjutan, tetapi juga pada percepatan degradasi lingkungan.

Tampak udara tambang ilegal di Desa Lantung Kecamatan Lantung, Sumbawa yang jadi catatan KPK. Foto: Official KPK

Wilayah seperti Lantung, Jerowaru, Bima, dan Dompuyang sebagian besar adalah kawasan hutan. Ini terancam mengalami kerusakan lebih parah jika rencana tambang tidak disertai perhitungan matang.

Mitigasi bencana harus dihitung secara detail sebelum pelaksanaan. Setiap aktivitas wajib tercermin dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang transparan untuk memastikan komitmen terhadap perlindungan lingkungan.

Amri menegaskan, salah satu kelemahan mendasar dari rencana IPR adalah kesiapan SDM yang belum memadai.

Koperasi tambang rakyat belum memiliki kemampuan teknis, pengetahuan lingkungan, maupun manajemen pasca tambang yang memadai.

“Kalau SDM tidak siap, izin ini hanya akan jadi bencana baru. Jangan sampai IPR cuma kedok investasi besar yang menyamar jadi ‘tambang rakyat’,” kata Amri.

Semangat Kapolda NTB

Pada kesempatan serah terima IPR di Mapolda NTB tanggal 12 Juli 2025, Kapolda NTB Irjen Pol Hadi Gunawan menyebut, pemberian IPR ini lahir dari pemikiran strategis untuk memberdayakan koperasi tambang emas di NTB.

“Koperasi bukan hanya badan usaha, tapi juga gerakan sosial berakar pada nilai gotong royong dan kekeluargaan yang sangat sesuai dengan jati diri bangsa Republik,” tegasnya.

Ia menggaransi kegiatan tambang di 16 blok yang ia atensi, termasuk blok Lantung, akan berjalan sesuai prinsip ramah lingkungan.

“Dan ini adalah pemilik penting bagi kita untuk bisa memajukan ekonomi di wilayah NTB,” pungkasnya.

Kapolda sebelumnya mengundang koperasi yang mendapat jatah blok IPR, untuk hadir dalam penyerahan IPR tanggal 12 Juli 2025.

Terundang 26 ketua koperasi di Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Undangan peringatan hari koperasi ke 78 yang dirangkai dengan penyerahan IPR kepada koperasi.

Palu di Tangan Gubernur

Sementara itu, Gubernur NTB  H Lalu Muhammad Iqbal terkesan lebih hati hati menerbitkan IPR untuk koperasi pengelola. SK tanggal 12 Juli yang ia terbitkan dan serahkan ke Koperasi Bukit Selonong, bukan berarti ujug ujug bisa beroperasi.  Begitu juga 25 koperasi lainnya.

Gubernur mengisyaratkan, izin itu berlaku sepanjang memenuhi syarat WPR, lulus verifikasi dari Dinas ESDM NTB. Dua poin di atas belum cukup. Gubernur meminta Koperasi tersebut koordinasi dengan instansi terkait dan mengikuti semua prosedur yang jadi syarat utama terbitnya IPR.

“Saya dalam kapasitas sebagai Gubernur Nusa Tenggara Barat bersama Kapolda juga bersama seluruh ‘suporter’ akan mendukung inisiatif ini sepenuhnya dan memastikan inisiatif ini akan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” tegasnya.

Sikap Gubernur ini berdampak, belum ada satu pun IPR yang mendapat izin operasional. Sementara di blok yang sama, tambang ilegal tetap beroperasi. Menguap tanpa pemasukan ke retribusi daerah dan kas negara. (*)

Berita Terkait

Back to top button