Daerah NTBPemerintahan

KPPI dan KNTI Minta Pemprov NTB Perhatikan Isu Agraria-WASH di Lombok

Mataram (NTBSatu) – Kesatuan Perempuan Pesisir Indonesia (KPPI) Lombok Timur dan Lombok Utara bersama Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) melakukan audiensi dengan Pemprov NTB di Kantor Gubernur NTB, Kamis, 6 Maret 2025.

Dalam audiensi itu, KPPI dan KNTI menyampaikan temuan hasil kajiannya terkait isu agraria, sistem tenurial maupun isu WASH (Air, Sanitasi, dan Kebersihan).

Termasuk menyampaikan masalah perkawinan anak di tiga desa binaannya. Serta, belum adanya pengakuan terkait keberadaan perempuan nelayan.

Ketua KPPI Lombok Timur, Sri Wahyuni menyampaikan, berdasarkan temuan analisis oleh pihaknya, bahwa perempuan nelayan belum diakui keberadannya oleh Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya ikan dan Petambak Garam.

“Secara tersirat, perempuan diakui sebagai nelayan di pasal 45. Tetapi, perannya sebatas dalam rumah tangga nelayan,” kata Wahyuni.

IKLAN

KPPI sebut perempuan alami ketidakadilan gender

Hasil pendokumentasian wilayah Kelola perempuan nelayan KPPI pada tahun 2024/2025, bahwa di 31 desa di lima provinsi termasuk Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Lombok membuktikan perempuan mengalami ketidakadilan gender.

“Alasannya, karena mereka masih menghadapi beban kerja yang berlipat saat menjalankan perannya sebagai nelayan di saat yang sama. Juga, melakukan kerja-kerja domestik dan perawatan keluarga,” jelasnya.

Wahyuni menyampaikan, rata-rata perempuan menghabiskan waktu 14-18 jam setiap harinya untuk bekerja.

Perempuan nelayan terpaksa bekerja pada lingkungan dengan sanitasi yang buruk, pemenuhan air yang tidak layak dan tidak aman dikonsumsi. Serta, buruknya tata kelola sampah.

“Setidaknya 65 persen atau 20 desa dari 31 desa mengalami persoalan lemahnya akses layanan air bersih, sanitasi dan persampahan,” tuturnya.

Temuan KPPI dan KNTI menunjukkan bahwa wilayah kelola nelayan di pesisir saat ini mengalami perubahan besar-besaran dan semakin menyempit akibat pembangunan yang mengubah pesisir.

“Seperti komplek industri ekstraktif berbasis nikel berkedok proyek transisi energi di Morowali, Sulawesi Tengah,” bebernya.

Kemudian, pelepasan lahan untuk pembangunan perhotelan Lombok NTB, penebangan hutan mangrove di Gresik dan lainnya.

Wahyuni menilai, proyek-proyek ini membuat wilayah Kelola perempuan menyempit, menghilang bahkan
menjadi tempat berbahaya bagi perempuan.

Bahaya juga datang hampir semua desa lokasi dokumentasi harus berhadapan dengan naiknya intensitas dampak perubahan iklim termasuk abrasi, banjir rob, meningkatnya suhu udara dan laut, cuaca ekstrim dan gelombang pasang.

Perwakilan KPPI Kabupaten Lombok Utara, Masmunisri, menyampaikan kepada Pemerintah Provinsi NTB terkait kondisi masyarakat nelayan di sana, di mana maraknya perkawinan anak yang terjadi.

Kemudian, persoalan agraria di pesisir Kabupaten Lombok Utara masih terjadi. Di mana hak-hak atas tanah tidak diberikan khususnya kepada mereka yang perempuan.

“Hak dalam tenurial masih terbatas. Seperti ketimpangan hak kepemilikan atas tanah, hak perlindungan tidak jelas dan terdampak eksploitasi,” jelasnya.

Desak Pemprov NTB bertindak

Oleh karena itu, KPPI mendesak adanya tindakan-tindakan afirmasi oleh Pemerintahan yang mampu memitigasi kebijakan yang belum mengakui dan melindungi perempuan nelayan dan wilayah kelolanya.

KPPI menyerukan adanya upaya serius oleh pemerintah untuk Mewujudkan pengakuan dan partisipasi bermakna terhadap perempuan nelayan.

Asisten I Setda Provinsi NTB, Fathurrahman mengatakan, persoalan terkait penanganan masalah sampah, air bersih, sanitasi, serta pengembangan ekonomi lokal, memang menjadi isu nasional.

Dalam hal ini Pemprov NTB akan terus berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk memberikan rasa keadilan dan perhatian terhadap persoalan ini.

“Tentu kamu dari pemerintah provinsi yang lokus dari wilayah pesisir Lombok Timur dan Lombok Utara, termasuk dalam prioritas,” kata Fathurrahman saat menerima audiensi KPPI Lombok Timur dan Lombok Utara, Kamis, 6 Maret 2025.

Perihal kebutuhan air bersih, Fathurrahman mengaku, pihaknya tengah mencari solusi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, terutama yang berada di pesisir. Salah satu caranya mengubah air yang payau itu menjadi air layak minum.

“Kami ingin mendapatkan lokus-lokus tertentu, agar bisa diberikan solusi sesuai dengan kondisi tersebut,” ujarnya.

Kemudian terkait pemberdayaan ekonomi masyarakat di pesisir, ia meminta masyarakat sekitar harus kreatif. Terutama, dalam mengolah hasil laut menjadi makananan yang layak untuk dijual.

“Dalam hal ini, masyarakat harus bangun kolaborasi dengan kabupaten/kota,” ujarnya.

Fathurrahman berharap, keberadaan Gubernur baru saat ini mampu mewujudkan harapan dari KPPI Lombok Timur dan Lombok Utara. Salah satunya, bagaimana menyiapkan sarana air bersih bagi masyarakat.

“Semoga visi-misi gubernur terpilih dapat menjangkau harapan KPPI Lombok Timur dan Lombok Utara,” tuturnya.

Kemudian, perihal isu keperempuanan, juga menjadi perhatian. Ia menekankan, perempuan merupakan peran utama, bukan peran pembantu.

“karena perempuan yang memulai dari persiapan bagi suami, anak hingga selesai,” ujarnya.

Tanggapan Pemprov NTB

Sementara itu, Kepala Biro Hukum Setda Provinsi NTB, Lalu Rudy Gunawan menjelaskan, untuk kasus agraria dan hak-hak perempuan. Termasuk, tentang perkawinan anak menjadi perhatian serius.

“Biro Hukum dan Kejaksaan Hukum akan bekerja sama dalam penanganan kekerasan dalam rumah tangga baik secara verbal dan fisik,” ucapnya.

Sementara masalah tanah, pihaknya akan berusaha berkoordinasi dengan PPN. “Kami coba urus, hak-hak bagi perempuan dan nelayan perempuan. Kami akan turun lansung dengan kejaksaan untuk melakukan sosilisasi hukum perkawinan anak,” pungkasnya. (*)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button