OpiniWARGA

Menguji Janji Gubernur: Mampukah NTB Mengubah RPJMD Jadi Lompatan Sejarah?

Pelajaran dari RPJMD Sebelumnya: Target Vs Realisasi

Untuk menilai RPJMD baru secara objektif, kita harus menoleh ke belakang dan membandingkan target dengan capaian. Pengalaman RPJMD periode sebelumnya membuktikan: visi ambisius sering tumbang di hadapan realitas eksekusi.

Kemiskinan adalah barometer paling jujur dari keberhasilan pembangunan. Meski target penurunan telah ditetapkan, data menunjukkan capaian masih jauh dari harapan—terutama pada kemiskinan ekstrem yang tertinggal dari rata-rata nasional.

RPJMD NTB 2025 -2029 Kemiskinan

Analisis: Pertumbuhan ekonomi belum mampu memotong kemiskinan struktural. Tanpa fokus pada desa kantong miskin (106 desa), target nol persen 2029 bisa jadi ilusi.

Pertumbuhan ekonomi NTB masih rapuh. Angka yang dicapai belum menyentuh target, dan kesenjangan PDRB per kapita dengan rata-rata nasional tetap menganga lebar.

RPJMD NTB 2025 - 2029 PDRB dan Pertumbuhan Ekonomi

Analisis: Struktur ekonomi masih bertumpu pada sektor primer dan ekstraktif, belum didorong hilirisasi.

IKLAN

Potensi besar NTB di sektor garam dan udang nyaris tak memberi nilai tambah lokal. Hilirisasi yang dijanjikan tak kunjung terwujud, membuat triliunan rupiah mengalir keluar daerah setiap tahun.

RPJMD NTB 2025-2029 Hilirisasi

Analisis: Selama lima tahun, tidak ada lompatan berarti. Nilai tambah tetap lari keluar daerah.

Pariwisata NTB belum beranjak dari jebakan kuantitas. Pemulihan kunjungan pasca-pandemi masih lambat, dan kualitas destinasi belum memenuhi standar global.

RPJMD NTB 2025-2029 Pariwisata

Triple Agenda: Janji Besar, Risiko Gagal

Pansus DPRD NTB merumuskan Triple Agenda sebagai pengungkit utama:

1. Pengentasan Kemiskinan Ekstrem – Target ambisius menuju 0% pada 2029, padahal pada 2024 menunjukkan kemiskinan ekstrem di NTB berada pada angka 2,04%, jauh di atas rata-rata nasional (0,85%). Kantong-kantong kemiskinan terkonsentrasi di Lombok Utara (23,96%), Lombok Timur (14,51%), dan Bima (13,88%). RPJMD menargetkan penurunan hingga nol persen pada 2029.

IKLAN

Pansus bahkan merekomendasikan fokus pada 106 desa kantong kemiskinan ekstrem sebagai prioritas intervensi. Namun, sejarah membuktikan bahwa banyak program pengentasan gagal karena fragmentasi anggaran, tumpang tindih program, dan minim evaluasi berbasis dampak nyata.

2. Ketahanan Pangan Berbasis Hilirisasi Agromaritim – NTB memiliki ironi besar: surplus produksi garam 209% tetapi nilai tambahnya dinikmati daerah lain; produksi udang terbesar nasional tetapi hilirisasi minim. Potensi nilai tambah miliaran rupiah bisa mengalir ke petani dan pembudidaya lokal jika industrialisasi dijalankan. Tantangannya, apakah pemerintah berani mengawal hilirisasi minimal dua kawasan industri di Pulau Lombok dan dua di Pulau Sumbawa dalam lima tahun, dengan integrasi hulu-hilir yang konsisten?

NTB memiliki ironi besar di sektor pangan dan perikanan. Produksi garam mencapai 143.796 ton per tahun, surplus hingga 209%, tetapi nilai tambahnya dinikmati daerah lain. Harga garam krosok di petani hanya Rp400/kg, sementara garam olahan masuk kembali ke NTB dengan harga Rp3.500/kg. Selisih Rp3.100/kg setara dengan potensi hilang Rp144 miliar per tahun.

Begitu pula dengan udang. Produksi udang vaname NTB adalah terbesar nasional (196.644 ton/tahun), namun hanya 17,6% lahan potensial yang dimanfaatkan. Jika 10% produksi diolah di dalam daerah, potensi nilai tambahnya bisa mencapai Rp22,4 triliun/tahun. Ironisnya, hingga kini hilirisasi masih minim. Pemerintah daerah berjanji membangun minimal dua kawasan industri agromaritim di Lombok dan dua di Sumbawa. Tantangannya jelas: apakah keberanian politik, kapasitas teknis, dan pendanaan akan benar-benar tersedia?

3. Pariwisata Kelas Dunia – Pergeseran ke quality tourism yang ramah lingkungan dan berorientasi petualangan adalah langkah tepat. Namun, infrastruktur, SDM, hospitality, dan mitigasi risiko bencana masih jauh dari standar global. Tanpa standar yang tegas dan investasi yang berkelanjutan, pariwisata bisa tetap terjebak di level “festival seremonial” tanpa pengaruh signifikan terhadap sektor lain.

RPJMD menggeser arah ke quality tourism yang berbasis petualangan dan ramah lingkungan. Pendekatan ini tepat, karena dapat mengurangi tekanan ekologis dibanding pariwisata massal. Namun, untuk mencapai status destinasi global, NTB harus memenuhi indikator ketat: konektivitas udara dan laut yang memadai, keamanan dan keselamatan, standar hospitality, kebersihan, dan kesiapan mitigasi bencana.

Masalahnya, sebagian besar indikator ini masih jauh dari ideal. Tanpa intervensi serius, pariwisata berisiko tetap menjadi “eventdriven economy” yang padat kegiatan seremonial tetapi minim efek pengganda ke sektor lain.

Laman sebelumnya 1 2 3Laman berikutnya

Berita Terkait

Back to top button