Opini

Menjelang Pelantikan PWNU NTB sebagai Penjaga Ruh dan Penyapa Realitas

Oleh: Fauzi (Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lapeksdam) Lombok Barat

Pelantikan PWNU NTB yang sebentar lagi akan dilaksanakan diharapkan bukan hanya sekadar kegiatan seremoni saja, tetapi sebagai momentum reflektif untuk titik balik kita semua, yaitu apakah NU di NTB hanya akan menjadi nama besar di papan organisasi, atau benar-benar menjadi rumah yang menenangkan hati sekaligus menggerakkan kehidupan sosial.

NU sejak lahir punya dua wajah yang tak bisa dipisahkan, yaitu menjaga ruh keislaman umat dan merawat kehidupan sosial.

Para tuan guru kita selalu mengajarkan, agama itu bukan hanya doa di musala, tetapi juga tindakan di pasar, di sawah, dan di jalan raya. NU harus hadir di keduanya: di langit doa dan di bumi kenyataan.

NU di Tengah Tantangan NTB Hari Ini

NTB dikenal religius. Lombok dijuluki “Pulau Seribu Masjid”, Sumbawa memiliki tradisi Islam yang kokoh. Namun, religiositas ini sering berhadapan dengan tantangan nyata.

Ada ekonomi keluarga masih rapuh, banyak warga hidup pas-pasan, terutama di desa-desa nelayan dan petani.

IKLAN

Generasi muda rentan goyah karena arus digital membawa peluang sekaligus ancaman; ada yang kreatif berbisnis daring, tetapi ada juga yang terseret budaya instan dan candu hiburan kosong.

Lalu Lingkungan alam mulai rentan. Hutan gundul, pesisir abrasi, dan musim yang tak menentu mulai jadi keluhan petani dan nelayan.

Serta melihat buruh migran pun membeludak. banyak saudara kita di Lombok dan Sumbawa yang merantau ke Malaysia atau Timur Tengah dengan segala risiko yang kadang menyakitkan.

Semua ini adalah persoalan sosial yang tidak cukup dijawab dengan doa semata, tetapi juga membutuhkan kerja nyata.

Spiritualitas yang Membumi

Para tuan guru selalu menekankan pentingnya keseimbangan. Ilmu dan amal, doa dan kerja, dunia dan akhirat. Jika hanya berdoa tanpa usaha, kita jatuh pada sikap pasif. Jika hanya bekerja tanpa doa, hidup kehilangan arah.

IKLAN

NU di NTB harus menjaga keseimbangan ini. Spiritualitas Aswaja jangan dibiarkan berhenti di majelis zikir, tetapi harus mendorong lahirnya tindakan sosial. Seperti, doa bersama saat kemarau panjang harus dilanjutkan dengan gerakan menanam pohon dan memperbaiki irigasi.

Pengajian rutin harus ditutup dengan ajakan untuk menjaga kebersihan lingkungan.

Disisi lain, Pesantren bukan hanya tempat mengaji kitab, tetapi juga pusat pelatihan keterampilan hidup.

Contoh kecil, di beberapa pesantren Lombok ada gerakan santri menanam sayur dan beternak ikan. Santri tidak hanya paham kitab, tetapi juga belajar mandiri secara ekonomi. Inilah wajah NU yang membumi. Mengajarkan agama dengan tindakan nyata.

Kekuatan NU: Kedekatan dengan Umat

Kita semua tahu, kekuatan NU bukan pada kegiatan di gedung megah atau acara besar lainnya.

Kekuatan NU justru ada pada kiai kampung yang sabar mengajar anak-anak iqra’, ustaz muda yang setia mendampingi remaja, dan ibu-ibu Muslimat yang selalu aktif mengurus kegiatan sosial.

TGH. Turmudzi Bagu semasa hidupnya menjadi teladan. Beliau tidak hanya dikenal karena ilmunya, tetapi karena kesederhanaannya dan kedekatannya dengan masyarakat.

Orang datang bukan hanya untuk belajar agama, tetapi juga untuk menguatkan hati, mencari solusi, atau sekadar menenangkan diri. Dari teladan ini, kita belajar bahwa NU hidup bukan karena struktur, melainkan karena kedekatan.

PWNU NTB harus menjaga kedekatan ini. Jangan sampai sibuk di meja rapat, tetapi lupa dengan jamaah di kampung.

Generasi Muda Jangan Ditinggalkan

Dalam konteks ini, generasi muda jangan sekali-kali ditinggalkan. Mereka adalah wajah NU di masa depan. Jika anak muda merasa jauh dari NU, maka di situlah arah perjuangan kita akan kehilangan pegangan.

Pemuda NTB hidup di tengah zaman yang serba cepat, di mana teknologi digital bisa menjadi jembatan kemajuan sekaligus jebakan kehancuran.

Ada yang menggunakan media sosial untuk berbisnis, menyebarkan ilmu, dan memperluas jejaring. Tetapi ada juga yang terseret budaya instan, candu hiburan, dan sikap apatis terhadap lingkungannya. NU tidak boleh sekadar menjadi penonton.

NU harus membuka ruang yang ramah bagi generasi muda: ruang di mana agama diajarkan dengan bahasa yang mudah mereka pahami, ruang di mana mereka merasa didengar, bukan hanya dihakimi.

NU perlu hadir di media sosial, mengisi ruang digital dengan dakwah yang menyejukkan, konten yang mencerahkan, sekaligus teladan yang membangkitkan semangat.

Lebih dari itu, NU harus memberi kesempatan nyata agar anak muda terlibat aktif dalam kegiatan keagamaan, sosial, dan ekonomi. Biarkan mereka berkreasi dengan gaya mereka sendiri, selama tetap berpijak pada nilai-nilai Aswaja.

Jika pemuda diberi ruang, maka NU tidak hanya bertahan, tetapi juga akan terus berkembang sebagai organisasi yang segar dan adaptif.

Di tangan merekalah NU akan menemukan cara baru untuk tetap relevan, tanpa meninggalkan akar tradisi yang diwariskan para tuan guru. Karena itu, jangan sampai generasi muda dibiarkan mencari rumah lain, sementara NU tetap terjebak dalam cara lama.

NU sebagai Rumah Besar

Pelantikan PWNU NTB adalah pintu masuk, bukan garis akhir. Yang ditunggu masyarakat bukanlah spanduk besar atau sambutan panjang, melainkan bukti nyata.

NU harus tetap menjadi rumah besar. Rumah yang menenangkan hati dengan doa sekaligus menguatkan kehidupan dengan tindakan sosial. Rumah tempat santri merasa dilindungi, petani merasa ditemani, nelayan merasa ditemani, dan anak muda merasa diberi harapan.

Ulama kita selalu mengingatkan, “Amal kecil, tetapi istiqamah, lebih dicintai Allah daripada amal besar, tetapi cepat hilang.”

Semoga pengurus PWNU NTB yang baru mampu meneladani pesan ini, tidak hanya sibuk dengan acara besar, tetapi istiqamah dalam pengabdian yang kecil, namun nyata.

NU akan tetap relevan selama mampu menjaga ruh keagamaan sekaligus merawat kehidupan sosial. Dari doa ke tindakan nyata, dari masjid ke sawah, dari pesantren ke kampung. Di situlah NU di NTB akan terus hidup, tumbuh, dan memberi manfaat. (*)

Berita Terkait

Back to top button