OpiniWARGA

HAM dan Bisnis: Ujian Integritas Kalangan Industri

Oleh: Arie Nauvel Iskandar*

Pergeseran Paradigma Tanggung Jawab Korporasi

Isu Hak Asasi Manusia (HAM) dalam dunia usaha semakin memperoleh perhatian serius, baik di tingkat global maupun nasional. Sejak disahkannya United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs) pada 2011, paradigma tanggung jawab korporasi bergeser secara mendasar. Bisnis tidak lagi semata dinilai dari kinerja keuangan, tetapi juga dari sejauh mana aktivitasnya menghormati martabat manusia dan keberlanjutan sosial.

UNGPs dibangun di atas tiga pilar utama: kewajiban negara untuk melindungi HAM, tanggung jawab perusahaan untuk menghormati HAM, serta akses terhadap pemulihan yang efektif bagi korban pelanggaran. Kerangka ini menegaskan bahwa korporasi apapun itu bidangnya industrinya adalah aktor penting dalam ekosistem HAM, terutama ketika Industri tersebut beroperasi di sektor-sektor yang bersentuhan langsung dengan ruang hidup masyarakat seperti industri yang bertumpu pada sumber daya alam.

Industri Berbasis Alam dan Kerentanan Sosial

Dalam konteks Indonesia, relevansi prinsip ini sangat kuat. Struktur ekonomi nasional masih bertumpu pada industri berbasis alam seperti pertambangan, energi, kehutanan, dan perkebunan. Sektor-sektor ini kerap beroperasi di wilayah masyarakat adat dan komunitas lokal, dengan tingkat kerentanan sosial dan ekologis yang tinggi. Tidak jarang, konflik lahan, degradasi lingkungan, dan ketimpangan relasi antara perusahaan dan warga menjadi persoalan yang berulang.

Memang isu HAM masih belum difahami secara benar oleh banyak kalangan, dan situasi yang dihadapi semakin kompleks Ketika peraturan dan kebijakan yang ada tidak dapat mengurai dan memitigasi persoalan HAM yang ada.

Regulasi Keuangan Berkelanjutan dan Akuntabilitas Publik

Keseriusan negara dalam merespons tantangan tersebut mulai terlihat melalui penguatan kerangka regulasi. Otoritas Jasa Keuangan (OJK), misalnya, mewajibkan emiten dan perusahaan publik untuk menyusun serta memublikasikan laporan keberlanjutan. Kewajiban ini diatur dalam Peraturan OJK Nomor 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan, khususnya Pasal 2 yang mewajibkan penerapan prinsip keuangan berkelanjutan, serta Pasal 10 dan Pasal 11 yang mengatur penyusunan Sustainability Report. Regulasi ini diperkuat oleh POJK Nomor 59/POJK.04/2017 yang menegaskan pentingnya transparansi atas aspek lingkungan dan sosial, termasuk isu HAM.

Melalui kebijakan tersebut, negara secara tidak langsung menempatkan HAM sebagai bagian dari tata kelola perusahaan dan manajemen risiko. Laporan keberlanjutan tidak lagi sekadar dokumen pelengkap, melainkan instrumen akuntabilitas publik. Namun dalam praktiknya, tantangan masih besar. Tidak sedikit perusahaan yang memandang pelaporan keberlanjutan sebatas kewajiban administratif, bukan sebagai refleksi atas dampak nyata aktivitas bisnis terhadap manusia dan lingkungan.

Dari Kepatuhan Administratif ke Uji Tuntas HAM

Di sinilah pentingnya pendekatan human rights due diligence sebagaimana ditekankan dalam UNGPs. Penghormatan terhadap HAM menuntut proses berkelanjutan: mengidentifikasi potensi risiko, mencegah dan memitigasi dampak negatif, serta menyediakan mekanisme pemulihan yang efektif. Tanpa pendekatan ini, laporan keberlanjutan berisiko menjadi formalitas yang kehilangan makna substantif.

Perusahaan sudah mulai menyadari pentingnya mematuhi HAM dan memerlukan mitra pendamping dalam menyiapkan dan menjalankannya, namun perlu perhatian bersama agar upaya penghormatan HAM dan bisnis ini jangan hanya sebagai pemenuhan administrasi dan reputasi didalam dokumen semata.

Peran Pemantauan Independen dan Pembelajaran Publik

Peran organisasi independen turut memperkaya upaya tersebut. Foundation for International Human Rights Reporting Standards (FIHRRST), misalnya, selama ini aktif mendampingi dunia usaha dalam menerjemahkan standar HAM internasional ke dalam praktik korporasi. Bersama Moores Rowland, FIHRRST baru saja menyelesaikan sebuah studi komprehensif atas Laporan Keberlanjutan Tahun 2024 dari perusahaan publik di Indonesia. Studi yang akan diluncurkan pada 16 Desember 2025 ini diharapkan menjadi cermin kritis bagi perusahaan dan regulator untuk menilai sejauh mana isu HAM benar-benar diintegrasikan secara substantif dalam praktik pelaporan.

Fondasi Kelembagaan dan Tantangan Implementasi

Dari sisi pandang Public Affairs HAM adalah isu kepercayaan, legitimasi, dan stabilitas jangka Panjang, yang tentunya perlu didukung dengan pemahaman HAM yang baik dari seluruh pemangku kepentingan Dimana telah menjadi isu kebijakan lintas kementrian dan lintas sektor.

Keberadaan kementerian khusus yang menangani urusan HAM serta penyusunan Rencana Aksi Nasional Bisnis dan HAM menunjukkan adanya fondasi kelembagaan yang semakin kuat. Tantangannya kini terletak pada pemahaman publik termasuk apparat pemerintah dan kalangan sektor usaha terkait HAM dengan segala isu dan permasalahannya, produk kebijakan yang memasukkan unsur HAM didalamnya,  konsistensi implementasi dan pengawasan, serta keselarasan antara kebijakan perusahaan dan arah kebijakan negara.

Tekanan Global dan Daya Saing Nasional

Tekanan global turut memperkuat urgensi isu ini. Uni Eropa, melalui Corporate Sustainability Due Diligence Directive (CSDDD), mewajibkan perusahaan melakukan uji tuntas HAM dan lingkungan di seluruh rantai pasok. Bagi perusahaan Indonesia yang terhubung dengan pasar internasional, standar ini menjadi faktor penentu keberlanjutan usaha dan daya saing.

Pada akhirnya, penerapan HAM dalam bisnis bukan semata persoalan kepatuhan hukum, melainkan cerminan integritas. Negara diuji dalam keberanian menegakkan aturan secara konsisten, sementara korporasi diuji dalam kemauan menempatkan manusia sebagai pusat aktivitas ekonomi. Laporan keberlanjutan seharusnya menjadi alat pembelajaran dan perbaikan berkelanjutan, bukan sekadar etalase citra.

Pembangunan yang menghormati HAM akan melahirkan bisnis yang lebih stabil, relasi sosial yang lebih sehat, serta kepercayaan publik yang berkelanjutan. Di situlah letak makna sejati Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang berjalan seiring dengan penghormatan terhadap martabat manusia.

Ke depan, komitmen terhadap hak asasi manusia dan keberlanjutan tidak semestinya berhenti pada perusahaan publik semata. Seluruh pelaku usaha, terutama perusahaan berbasis alam yang beroperasi langsung di ruang hidup masyarakat dan ekosistem, perlu ditempatkan dalam kerangka tanggung jawab yang sama. Kepatuhan terhadap prinsip HAM, perlindungan lingkungan, dan sensitivitas sosial bukanlah beban tambahan, melainkan bentuk penghormatan terhadap faktor-faktor dasar kehidupan itu sendiri. Dengan menempatkan manusia dan alam sebagai pusat kebijakan dan praktik bisnis, dunia usaha turut memastikan bahwa bumi, ruang hidup, dan martabat kemanusiaan yang kita wariskan kepada generasi mendatang tetap terjaga, layak, dan berkelanjutan. (*)

*Penulis:

Ketua Umum Indonesia Public Affairs Community, Pengamat kebijakan Publik, Pegiat Environment Social and Governance, dan Hak Asasi Manusia.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button