Oleh: Arie Nauvel Iskandar*
Kekacauan di Tengah Banjir
Serangkaian bencana yang melanda Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan beberapa wilayah di Pulau Jawa dalam beberapa pekan terakhir kembali membuka luka lama dalam tata kelola penanggulangan bencana di Indonesia. Banjir yang merendam desa-desa, jalan yang amblas, dan longsor yang memutus akses antarkabupaten memperlihatkan betapa rentannya masyarakat ketika negara belum sigap hadir.
Di berbagai lokasi, jumlah korban jiwa terus bertambah setiap hari. Sebagian ditemukan terjebak di rumah-rumah yang tersapu arus, sebagian lain meninggal karena tertimbun longsor yang datang tiba-tiba pada malam hari. Angka itu bukan sekadar statistik, ia adalah potret bahwa ketidaksiapan dan lambatnya respons telah mengambil harga yang terlalu mahal. Sementara itu, keluarga korban menunggu kabar, berharap ada mukjizat di tengah kekacauan.
Ketika masyarakat membutuhkan tindakan cepat, yang hadir justru jeda keputusan. Dalam perspektif public affairs, ini menunjukkan masalah struktural dalam tata kelola pemerintah ketika menghadapi tekanan akut. Fragmentasi kewenangan membuat alur komando tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kerangka regulasi sudah tersedia, tetapi implementasinya tertinggal jauh di belakang urgensi lapangan.
Status Bencana yang Diperdebatkan
Di saat korban terus bertambah dan ribuan warga terisolasi, perdebatan mengenai penetapan status bencana kembali menjadi sorotan. Pemerintah daerah dan pemerintah pusat saling menunggu, masing-masing berkalkulasi mengenai konsekuensi administratif dan politik. Keputusan yang seharusnya diambil dalam hitungan jam justru berlarut berhari-hari.
Sementara itu, pencarian korban menjadi perlombaan melawan waktu. Setiap penundaan berarti peluang penyelamatan yang hilang. Fenomena ini sekali lagi menunjukkan bagaimana tarik-menarik kewenangan dapat menghambat operasi kemanusiaan pada momen paling krusial.
Sektor Swasta sebagai Penolong Pertama
Di tengah kelambanan birokrasi, sektor swasta bergerak lebih dulu. Perusahaan-perusahaan, terutama industri berbasis alam seperti energi, perkebunan, tambang, dan kehutanan, langsung menurunkan alat berat, mengevakuasi warga, membuka akses jalan, dan mengirim bantuan logistik.
Hadirnya sektor swasta bukan sekadar tindakan simpati. Dalam konteks kerangka regulasi seperti PP 47/2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan dan prinsip ESG, perusahaan mempunyai kewajiban moral dan legal untuk melindungi masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah operasi mereka. Ketika bencana datang, perusahaan-perusahaan ini terbukti menjadi komponen penting dalam upaya respons cepat.
Bencana sebagai Fenomena Panjang
Rangkaian bencana ini bukan kejadian terisolasi. Intensitas hujan ekstrem, kerusakan lingkungan, degradasi daerah aliran sungai, alih fungsi lahan dan tata ruang yang semakin tidak berkelanjutan adalah bagian dari fenomena panjang perubahan iklim. Pola bencana yang berulang dan menyebar dari Sumatra hingga Jawa memperlihatkan bahwa kita sedang memasuki periode ketidakpastian iklim yang lebih intens, dan sangat mungkin akan menghadapi bencana yang lebih destruktif.
Kajian climate risk governance memperingatkan bahwa negara dengan kapasitas adaptasi rendah akan menghadapi kenaikan jumlah korban jiwa dari tahun ke tahun, terutama ketika peringatan dini tidak bekerja optimal dan respons tidak terkoordinasi. Situasi hari ini adalah cermin dari peringatan itu. Korban-korban yang terus ditemukan adalah bukti bahwa kita telah berada dalam fase climate disruption yang nyata.
Karena itu, ini bukan saatnya mencari kesalahan atau menahan anggaran. Warga yang kehilangan keluarga tidak membutuhkan debat politik. Yang mereka butuhkan adalah kehadiran nyata pemerintah, dukungan medis, makanan, tenda, dan kepastian keselamatan.
Pemulihan: Lebih dari Sekadar Membangun Kembali
Ketika air surut dan proses pencarian korban akhirnya melambat, tantangan terbesar justru dimulai. Rehabilitasi dan rekonstruksi bukan hanya tentang membangun kembali rumah dan jembatan, tetapi mengembalikan kehidupan yang terganggu.
Warga yang kehilangan anggota keluarga membutuhkan pendampingan psikososial jangka panjang. Anak-anak yang kehilangan sekolah dan ruang aman memerlukan perlindungan khusus.
Teori community resilience yang dikembangkan Susan L. Cutter melalui kerangka Disaster Resilience of Place (DROP model) serta Baseline Resilience Indicators for Communities (BRIC index) dalam publikasi ilmiahnya pada 2008–2010, menegaskan bahwa daya pulih masyarakat tidak bisa dipisahkan dari kondisi sosial, ekonomi, dan institusional yang menopang mereka.
Pandangan ini sejalan dengan kajian Stevan E. Hobfoll dan rekannya dalam artikel “Five Essential Elements of Immediate and Mid-Term Mass Trauma Intervention” yang terbit pada 2007, serta penelitian George A. Bonanno mengenai trauma dan ketahanan psikologis. Keduanya menekankan bahwa pemulihan manusia adalah inti dari pemulihan bencana. Tanpa pemulihan psikologis dan sosial, rekonstruksi fisik hanya menjadi permukaan dari kondisi yang sebenarnya retak di dalam.
Mengelola Krisis, Merajut Kembali Kepercayaan
Bencana yang beruntun ini mengajarkan bahwa Indonesia membutuhkan tata kelola penanggulangan bencana yang tegas, cepat, dan terkoordinasi. Negara harus hadir tanpa keraguan, sektor swasta harus menjadi mitra aktif, dan masyarakat harus dilibatkan dalam membangun ketahanan jangka panjang.
Ke depan, kejadian serupa sangat mungkin terjadi Kembali di lokasi yang sama atau di daerah-daerah baru. Yang membedakan masa depan bukanlah seberapa besar banjir yang datang, melainkan seberapa cepat kita merespons dan seberapa kuat kita melindungi masyarakat.
Di tengah meningkatnya korban jiwa dan kerusakan yang meluas, kewajiban kita sebagai bangsa hanya satu, yaitu memastikan tidak ada warga yang dibiarkan berjuang sendirian.
*Penulis:
Ketua Umum Indonesia Public Affairs Community, Pengamat kebijakan Publik, Pegiat Environment Social and Governance, dan Hak Asasi Manusia. (*)



