OpiniWARGA

Gestur di Depan Kamera: Saat Simbol Lebih Kuat dari Kata

Oleh: Arie Nauvel Iskandar – Ketua Umum Indonesia Public Affairs Community, Praktisi Komunikasi, dan Pegiat Inisiatif ESG dan HAM

Saya mencoba melihat peristiwa ini dari sudut pandang komunikasi, bukan dari isi pesan atau substansi yang disampaikan Presiden. Sentuhan Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia kepada CEO Danantara ketika Presiden Prabowo tengah berbicara kepada wartawan dalam kunjungan kerja ke Pangkalpinang, Bangka Belitung, Senin, 6 Oktober 2025, menarik perhatian publik. Bukan karena topik yang dibahas, melainkan karena gestur yang muncul di tengah momen resmi tersebut.

Bahasa Tubuh di Ruang Publik

Dalam ruang komunikasi publik, terlebih di hadapan media, setiap gerak tubuh pejabat negara memiliki makna simbolik. Gestur kecil yang terjadi di sekitar Presiden dapat dengan cepat membentuk persepsi baru di masyarakat. Di era keterbukaan informasi dan derasnya arus media sosial, publik tidak hanya mendengar apa yang diucapkan, tetapi juga membaca apa yang diperlihatkan. Karena itu, komunikasi nonverbal menjadi sama pentingnya dengan kata-kata, bahkan sering kali lebih menentukan bagaimana pesan dipahami dan dirasakan.

Panggung Sosial dan Simbol Kekuasaan

Sosiolog Erving Goffman dalam The Presentation of Self in Everyday Life (1959) menjelaskan bahwa kehidupan sosial adalah panggung besar, tempat setiap individu menampilkan dirinya di hadapan publik. Pejabat publik, apalagi di hadapan Presiden dan media, sedang berada di “panggung utama” yang disorot banyak mata. Setiap tindakan, tatapan, dan ekspresi menjadi bagian dari citra yang diproyeksikan kepada khalayak. Gestur yang mungkin dimaksudkan sebagai bentuk keakraban personal bisa berubah tafsir ketika terjadi di ruang publik, terlebih dalam suasana yang sarat makna simbolik.

Tubuh yang Berbicara

Teori Albert Mehrabian dalam Nonverbal Communication (1971) menegaskan bahwa hanya sekitar 7 persen makna komunikasi berasal dari kata-kata, sementara 38 persen berasal dari intonasi suara, dan 55 persen dari bahasa tubuh. Artinya, tubuh berbicara lebih keras daripada suara. Dalam konteks pejabat publik, satu gerak spontan dapat menimbulkan kesan emosional yang kuat, membuka ruang interpretasi yang luas, bahkan menggeser fokus publik dari pesan utama yang seharusnya menjadi sorotan.

Etika Komunikasi Pejabat Negara

Sementara itu, Jürgen Habermas melalui The Theory of Communicative Action (1984) menekankan bahwa komunikasi yang ideal di ruang publik harus bersifat rasional, etis, dan transparan. Dalam konteks pejabat negara, ini berarti setiap tindakan komunikatif—baik verbal maupun nonverbal—sebaiknya memperkuat kredibilitas dan kejelasan pesan pemerintah, bukan menimbulkan gangguan visual yang menimbulkan tafsir ganda. Habermas menempatkan komunikasi bukan hanya sebagai proses penyampaian pesan, tetapi juga sebagai tindakan moral yang mencerminkan tanggung jawab sosial.

Ketika Kamera Selalu Menyala

Kejadian di Pangkalpinang itu menjadi pengingat bahwa komunikasi publik menuntut kesadaran penuh akan makna simbolik dari setiap tindakan. Di hadapan media, pesan verbal dan nonverbal berkelindan membentuk persepsi publik. Maka, kehati-hatian, kesantunan, dan keselarasan gestur menjadi bagian dari etika komunikasi pejabat publik. Kita hidup di zaman ketika kamera selalu menyala, dan publik menafsirkan setiap detil visual dengan cepat. Dalam konteks itu, bukan hanya apa yang diucapkan yang penting, tetapi juga bagaimana tubuh menyampaikannya. Sebab di hadapan publik, bahkan diam dan sentuhan pun bisa berbicara. (*)

Berita Terkait

Back to top button