Oleh: Rahmi Sofiarini – Praktisi Pembangunan
Pada 17 Desember 2025, Nusa Tenggara Barat (NTB) genap berusia 67 tahun. Sebuah usia matang bagi sebuah provinsi yang telah melewati 27 tahun era reformasi, dipimpin oleh lima gubernur dengan visi dan gaya kepemimpinan berbeda.
Namun, pertanyaan yang layak diajukan: sejauh mana reformasi benar-benar menghadirkan perubahan mendasar bagi masyarakat NTB?
Indikator pembangunan memang menunjukkan perbaikan. Indeks Pembangunan Manusia meningkat, angka kematian ibu dan bayi menurun, partisipasi sekolah bertambah, dan angka kemiskinan perlahan menurun dibandingkan masa sebelum reformasi.
Tetapi, di balik grafik yang menanjak itu, NTB masih tertinggal dari rata-rata nasional. Lama sekolah masih pendek, angka pernikahan dini tetap tinggi, stunting menjadi momok, angka kemiskinan ekstrem masih tinggi, dan NTB tetap dikenal sebagai salah satu daerah pengirim pekerja migran terbesar di Indonesia.
Pembangunan berjalan, tetapi seolah di jalur waktunya sendiri—naik, namun tak pernah melampaui rata-rata nasional. Apakah ini wajah reformasi yang dijanjikan?
Ironisnya, NTB bukanlah daerah yang terisolasi dari perhatian pusat maupun dunia internasional. Selama era reformasi, provinsi ini menjadi laboratorium pembangunan: proyek kementerian silih berganti, kerja sama dengan Pemerintah Australia, Jerman, hingga lembaga PBB mengalir deras.
Dari kesehatan, pendidikan, pertanian, hingga tata kelola pemerintahan, ratusan program dijalankan bahkan sedang berjalan. Namun, hasilnya sering berhenti pada laporan proyek, bukan transformasi nyata di akar rumput.
Di sinilah paradoks NTB: provinsi yang kaya akan intervensi, tetapi miskin hasil yang berkelanjutan. Reformasi seolah menjadikan NTB sebagai panggung eksperimen pembangunan, namun masyarakat masih bergulat dengan masalah klasik: pendidikan rendah, kesehatan ibu dan anak rapuh, dan kemiskinan yang membelenggu.
Bahkan, fenomena pernikahan dini dan stunting yang tinggi menunjukkan betapa rapuhnya fondasi sosial yang seharusnya menjadi prioritas utama.
Apakah salah pemerintah daerah? Apakah salah masyarakat? Atau justru salah paradigma pembangunan yang lebih sibuk mengejar proyek daripada membangun manusia?
Pertanyaan-pertanyaan ini layak diajukan di ulang tahun NTB ke-67. Sebab, usia yang matang seharusnya tidak lagi sekadar merayakan pencapaian angka, melainkan berani mengakui kegagalan dan menata ulang strategi.
NTB punya potensi besar: pariwisata kelas dunia, sumber daya alam, budaya yang kaya, dan semangat masyarakat yang tangguh. Tetapi potensi itu akan terus menjadi jargon jika indikator dasar pembangunan manusia tetap tertinggal.
Reformasi seharusnya bukan hanya soal demokrasi dan pergantian pemimpin, melainkan tentang memastikan setiap anak NTB tumbuh sehat, bersekolah lebih lama, dan punya masa depan yang lebih cerah daripada orang tuanya.
Pada usia ke-67, NTB perlu berani keluar dari jebakan proyek dan intervensi jangka pendek. Yang dibutuhkan adalah keberanian politik untuk menempatkan manusia sebagai pusat pembangunan, bukan sekadar angka statistik atau laporan donor internasional.
Jika tidak, NTB akan terus menjadi laboratorium pembangunan yang gagal melahirkan generasi emas. Dan pada akhirnya, ulang tahun ke-67 hanya akan menjadi perayaan simbolik, bukan refleksi yang membawa perubahan. (*)



