OpiniWARGA

Menguji Janji Gubernur: Mampukah NTB Mengubah RPJMD Jadi Lompatan Sejarah?

Oleh: H. Hasbullah Muis Konco – Ketua Pansus DPRD NTB RPJMD NTB 2025-2029

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2025–2029 Provinsi Nusa Tenggara Barat resmi disahkan menjadi Peraturan Daerah. Dokumen ini digadang-gadang sebagai “Kompas Strategis” untuk mewujudkan visi “Bangkit Bersama Menuju NTB Provinsi Kepulauan yang Makmur Mendunia”. Namun, pertanyaan kuncinya: apakah RPJMD ini hanya akan menjadi peta indah di atas kertas, atau benar-benar menjadi lompatan sejarah yang mengubah wajah NTB lima tahun ke depan?

Pengesahan RPJMD Provinsi Nusa Tenggara Barat 2025–2029 di DPRD NTB pada 11 Agustus 2025 berlangsung penuh simbol dan optimisme. Di podium sidang paripurna, nada yang terdengar adalah semangat kolektif, keselarasan visi daerah dengan nasional, dan keyakinan bahwa lima tahun ke depan akan menjadi babak baru kebangkitan NTB. Namun di luar gedung dewan, di pasar-pasar rakyat, desa pesisir, dan kawasan kantong kemiskinan, pertanyaannya jauh lebih sederhana: Apakah semua ini akan benar-benar mengubah hidup kami?

Sejarah pembangunan di NTB sudah berulang kali diwarnai oleh dokumen perencanaan yang indah di atas kertas namun minim daya eksekusi. Tidak jarang, visi besar berubah menjadi daftar janji yang menguap di tengah jalan, terjebak di birokrasi atau terkubur oleh pergantian kepemimpinan. Maka, menguji janji Gubernur bukanlah sikap sinis, melainkan langkah realistis untuk memastikan RPJMD ini tidak menjadi “ritual lima tahunan” belaka.

Antara Amanat Regulasi dan Realitas Lapangan

Secara administratif, RPJMD NTB 2025–2029 memang tersusun rapi. Lahir dari amanat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, diselaraskan dengan RPJPD NTB 2025–2045 dan diharmoniskan dengan RPJMN 2025–2029. Prosesnya melibatkan konsultasi dengan Kementerian Dalam Negeri, Bappenas, serta koordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota. Bahkan, Pansus DPRD NTB melakukan kunjungan ke kawasan prioritas nasional seperti Mandalika dan Gili Tramena untuk memastikan sinkronisasi kebijakan.

IKLAN

Namun, di sinilah masalah klasik sering muncul: keselarasan dokumen tidak selalu berarti kesiapan lapangan. Banyak kebijakan strategis gagal di tahap implementasi karena kendala eksekusi: birokrasi yang lamban, minim koordinasi antarinstansi, ketergantungan pada APBD yang sempit, serta lemahnya pengawasan.

Pengalaman sebelumnya menunjukkan, meskipun NTB memiliki program prioritas yang terdengar progresif—seperti industrialisasi, pariwisata berkualitas, dan ketahanan pangan—seringkali output-nya tidak sepadan dengan retorika awal. Dalam banyak kasus, capaian indikator kinerja daerah bergeser ke arah “perbaikan kosmetik” ketimbang transformasi struktural.

1 2 3Laman berikutnya

Berita Terkait

Back to top button