
Oleh: Dr. Teguh Satya Bhakti, SH., MH. – Sekretaris Jenderal LBPH Kosgoro
Mencermati keadaan Ibukota Jakarta dan beberapa kota-kota besar lainnya, akhir-akhir ini telah terjadi situasi yang mengarah pada pembangkangan sipil (civil disobedience). Pembangkangan ini bukan tanpa sebab, melainkan dilatarbelakangi oleh suatu alasan yang kuat, yakni hilangnya rasa kepercayaan rakyat kepada pemerintah.
Di tengah kondisi ekonomi yang sulit, beban pajak yang sangat tinggi, kebijakan-kebijakan pemerintah baik di pusat maupun di daerah, yang tumpang tindih dan tidak berpihak kepada rakyat, ditambah lagi dengan sikap arogansi para pejabatnya, telah membuat hilangnya rasa keadilan di hati masyarakat.
Rakyat selama ini merasa hanya sekadar dijadikan sebagai objek oleh pemerintah dan bukan sebagai subjek dalam suatu negara. Rakyat hanya disuruh menerima saja segala kebijakan-kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah, tanpa boleh ikut campur dalam menentukan dan mengontrol arah tujuan bernegara. Masyarakat seolah-olah tidak memiliki hak untuk mengawasi segala kegiatan para pejabat yang berdalih bekerja untuk memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan mereka.
Menurut Larry Diamond (2008), seorang ilmuwan politik terkemuka, bahwa demokrasi seantiasa hadir di dalam dan bersama masyarakat. Ketika langgam kekuasaan menjaga jarak dengan masyarakat, maka demokrasi dengan sendirinya akan mati. Oleh sebab itu, kekuasaan politik yang berpihak pada kepentingan masyarakat sama halnya dengan menjaga roh demokrasi itu sendiri.
Puncak ketidakpercayaan rakyat akan ketidakadilan ini akhirnya pecah, setelah dipicu munculnya kebijakan kontroversial berupa kado kemerdekaan kepada para anggota DPR-RI dalam bentuk kenaikan gaji dan tunjangan. Kesenjangan pendapatan antara rakyat dan wakil-nya inilah yang kemudian memicu kekecewaan yang meluas di seluruh wilayah Indonesia. Belum lagi ditambah aksi-aksi tercela dan tidak pantas yang dipertontonkan oleh sebagian anggota DPR-RI dari kalangan artis yang justru terkesan menghina dan mengejek serta meremehkan aspirasi masyarakat yang memprotes kebijakan tersebut.
Demonstrasi sebagai Pilar Demokrasi
Mahasiswa di seluruh Indonesia kemudian melakukan berbagai demonstrasi terhadap ketimpangan ini. Demonstrasi merupakan bentuk kanalisasi ekspresi, guna menyampaikan aspirasi ketika lembaga-lembaga pemerintah maupun parlemen mengalami kebuntuan. Karena itu, unjuk rasa menjadi ruang yang legal dan konstitusional untuk menyuarakan protes, kritik, serta aspirasi terhadap kebijakan pemerintah. yang dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Aksi protes mahasiswa yang luhur ini, pada awalnya berjalan damai, namun kemudian berkembang menjadi aksi-aksi besar yang melibatkan berbagai elemen masyarakat yang lebih luas. Benturan antara aparat dan elemen masyarakat pun tidak bisa dihindari lagi sebagai akibat adanya tindakan anarkis dan destruktif yang berujung pada pembakaran fasilitas publik dan kantor-kantor milik pemerintah (yang merupakan asset negara), penjarahan, serta menimbulkan korban jiwa.
Secara umum rakyat Indonesia mendukung aksi protes yang dilakukan oleh mahasiswa dan masyarakat terhadap kenaikan gaji dan tunjangan anggota DPR. Namun rakyat tidak sejalan dengan aksi-aksi yang anarkis dan destruktif yang dilakukan oleh segelintir kelompok yang mengatasnamakan masyarakat. Bisa jadi bermunculan penumpang gelap aksi demonstrasi yang ingin menggiring aspirasi murni mahasiswa dan rakyat menjadi chaos. Perlu digarisbawahi, bahwa segala bentuk vandalisme dan kekerasan politik (political violence) justru merugikan masyarakat sendiri, karena setiap kerusakan yang terjadi akan menjadi beban anggaran negara yang sumbernya berasal dari pajak rakyat.
Jika perlawanan mahasiswa dan masyarakat tidak segera direspon positif oleh Presiden Prabowo, maka akan terjadi perpecahan yang lebih luas dan multidimensi. Apalagi dalam situasi yang terjadi saat ini, sudah tidak lagi murni dilakukan oleh mahasiswa dan masyarakat yang benar-benar mencari keadilan.
Menanti Ketegasan Presiden Prabowo
Presiden Prabowo harus benar-benar menunjukkan dirinya sebagai Presiden Republik Indonesia, di mana konsentrasi kekuasaan dan tanggung jawab pemerintahan negara berada di tangannya. Rakyat Indonesia menunggu Presiden Prabowo membuktikan dirinya bahwa ia adalah seorang negarawan yang memiliki pengalaman kenegaraan yang matang, memiliki kredibilitas yang tinggi, dan berpihak pada keadilan.
Dengan pengalaman kenegaraan yang matang tersebut, rakyat menunggu kemampuan Presiden Prabowo untuk mengendalikan Kementerian-kementerian di bawahnya, yang selama ini diketahui sering tidak singkron dan bahkan tidak menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh Presiden Prabowo dalam pidato-pidatonya di depan publik. Dalam rangka menghentikan aksi protes yang terus berjalan di seluruh wilayah Indonesia, Presiden Prabowo perlu memerintahkan Kementerian terkait untuk menghapus kebijakan pengenaan pajak khususnya yang berdampak kepada masyarakat berpenghasilan rendah.
Dengan kredibilitas yang tinggi, rakyat menunggu komitmen Presiden Prabowo untuk selalu dapat dipercaya dalam memimpin bangsa dan negara. Untuk mengatasi situasi saat ini, Presiden Prabowo hendaknya menggunakan kewibawaannya untuk berkoordinasi dengan DPR RI guna mencabut kebijakan kenaikan gaji dan tunjangan anggota DPR yang telah mencederai rasa keadilan masyarakat, dan merupakan penyebab awal pemicu protes mahasiswa dan seluruh rakyat Indonesia.
Dengan keberpihakan pada keadilan, rakyat menunggu, Presiden Prabowo melaksanakan kewajiban-kewajibannya untuk menegakkan hukum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa diskriminasi berdasarkan ras, agama, gender, atau latar belakang kelas sosial maupun ekonomi.
Dengan pemikirannya yang jauh ke depan itulah, Presiden Prabowo akan dapat menunjukkan kepada mahasiswa dan rakyat Indonesia, bahwa dirinya adalah benar-benar Presiden Republik Indonesia yang akan mengutamakan kepentingan bangsa dan kepentingan rakyat dalam setiap keputusan dan tindakannya dalam menata masa depan Indonesia saat ini dan masa mendatang. (*)