Mataram (NTBSatu) – Perkawinan anak di NTB masih terjadi, meski banyak pihak yang terlibat untuk pencegahan.
Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram, Joko Jumadi, angka perkawinan anak di NTB paling tinggi di Indonesia.
“Sesuai dengan angka di BPS, kita nomor satu di Indonesia dengan jumlah persentase sekitar 17 persen untuk angka perkawinan anak,” kata Joko kepada NTBSatu pada Jumat, 7 Maret 2025.
Berbagai upaya mencegah terjadinya perkawinan anak di NTB. Salah satunya dengan memberikan edukasi serta motivasi kepada semua pihak. Baik itu orang tua, masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, serta yang lainnya.
Upaya terbaru, memberikan pembelajaran dalam bentuk efek jera bahwa perkawinan anak itu sebagai suatu tindak pidana.
Orang tua yang membiarkan, memfasilitasi, serta menikahkan anaknya tanpa adanya upaya pencegahan, masuk kategori pidana.
“Dalam hal ini, dapat dikenakan Pasal 10 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dengan ancaman sembilan tahun penjara dan/atau pidana denda paling banyak Rp 200 Juta rupiah,” jelasnya.
Seperti yang dalam kasus perkawinan anak yang terjadi di wilayah Lombok Barat. Kedua orang tua wali yang membiarkan anaknya untuk melangsungkan pernikahan, resmi jadi tersangka.
Joko Jumadi terlibat langsung menjadi saksi ahli dalam kasus perkawinan anak yang UPTD PPA Provinsi NTB laporkan kepada Polda NTB.
Joko menyampaikan apresiasi terhadap kinerja tim PPA Polda NTB. Karena mampu mengusut kasus perkawinan anak ini sampai penetapan tersangka.
Ini adalah momentum dalam upaya penyelesaian kasus perkawinan anak di NTB. Untuk pertama kali dalam sejarah, kasus perkawinan anak bisa diselesaikan sampai pada tahap persidangan.
“Hal ini menjadi pembelajaran, jadi memang hukum pidana sering kali berfungsi untuk deterence, yaitu untuk memberikan efek pencegahan supaya orang lain tidak melakukan hal yang sama,” bebernya.
PR Orang Tua Tidak Menikahkan Anak di Bawah Umur
Oleh karena itu, penetapan kedua orang tua sebagai tersangka menjadi upaya penting serta memiliki kontribusi besar dalam pencegahan perkawinan anak di NTB.
“Tidak ada satu pun alasan yang kemudian menyatakan bahwa perkawinan itu baik untuk anak,” katanya.
Kalau memang orang tua menyayangi anaknya serta ingin melindungi anaknya, maka dapat dilakukan dengan cara menjaga anak mereka dari perkawinan anak.
Jangan sampai orang tua membiarkan atau justru malah menikahkan anaknya pada saat usia di bawah 18 tahun, ini menjadi PR untuk semua orang tua.
“Kunci utama masalah yang ada di NTB, seperti kematian bayi, gizi buruk, kemiskinan. Serta, perceraian menjadi salah dampak dari adanya perkawinan anak,” ungkapnya
Oleh karena itu, ajak Joko, semua terlibat mencegah perkawinan anak tersebut. (*)