Mataram (NTBSatu) – Kasus pernikahan anak yang baru-baru ini viral di media sosial kembali mengundang perhatian publik. Dalam video yang beredar, sepasang remaja mengikuti prosesi nyongkolan, tradisi adat Sasak pasca-pernikahan.
Publik pun terbelah setelah salah satu LSM dengan atribut adat membela pernikahan tersebut, menyebut protes sebagai bentuk diskriminasi terhadap pasangan pernikahan.
Menanggapi kontroversi ini, Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTB, Lalu Abdurrahim pun angkat bicara. Ia menegaskan, tokoh adat Sasak tidak pernah membenarkan pernikahan di bawah umur.
“Nikah di bawah umur itu bukan bagian dari adat Sasak. Jika terjadi merariq pada anak di bawah umur, tokoh adat segera bersidang di Linggih Krame Gubuk. Jika terdapat pelanggaran hukum, pihak terkait tidak boleh melanjutkan prosesi ke tahap Sejati Selabar,” jelas Miq Jagat, sapaan Lalu Abdurrahim, Jumat, 30 Mei 2025.
Menurutnya, adat Sasak menjunjung tinggi kepatutan serta taat terhadap hukum negara dan agama. Meskipun hukum adat tidak tertulis, tokoh adat selalu menyesuaikan dengan perkembangan zaman demi kemaslahatan masyarakat.
“Adat bukan soal pakaian adat atau simbol-simbol fisik, tapi nilai dan perilaku mulia. Kalau perilaku itu buruk, maka itu bukan adat,” tegasnya.
Pernikahan anak yang kini menjadi sorotan itu berlangsung di salah satu desa di Kecamatan Praya Timur, Lombok Tengah. Pengantin perempuan berinisial YL (15) masih duduk di bangku SMP, sedangkan pengantin laki-laki, RN (16), bersekolah di SMK yang sama. Keduanya tampil mengenakan pakaian adat Sasak berwarna hitam, diiringi prosesi nyongkolan yang dihadiri puluhan warga.
Pernikahan Anak Langgar Undang-undang
Pernikahan ini jelas melanggar Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019, yang menetapkan batas usia minimum pernikahan untuk laki-laki dan perempuan adalah 19 tahun.
Meskipun hukum adat Sasak tidak mencantumkan angka usia, Mamiq Jagat menjelaskan, perempuan dianggap cukup umur ketika mampu memasak dan menenun dengan baik, yang secara umum merujuk pada usia 19 tahun ke atas.
Sedangkan laki-laki dinilai cukup matang saat sudah mencapai tiga fase: ngaro, ngawis, dan ngaret—yakni mampu menggarap sawah, merawat ternak, dan bertanggung jawab secara mandiri.
“Kami mengajak tokoh masyarakat dan pakar hukum Islam untuk bersama-sama merumuskan solusi. Revolusi sosial membutuhkan pendekatan bijak agar tidak menimbulkan benturan antar nilai,” katanya.
TGB dan Aktivis Anak Kecam Pernikahan Dini
Mantan Gubernur NTB, TGB Muhammad Zainul Majdi, ikut mengecam pernikahan anak tersebut. Ia menegaskan bahwa larangan menikah di bawah umur memiliki dasar kuat, baik secara hukum agama maupun hukum positif.
“Ulama seperti Syaikh Ali Jum’ah dan Darul Ifta Al-Mashriyah sepakat bahwa pernikahan dini membawa banyak mudarat,” kata TGB.
TGB juga menyoroti praktik merariq yang kerap disalahgunakan. Ia menilai bahwa prosesi ini kini sering menjadi celah eksploitasi terhadap anak perempuan, menyebabkan mereka putus sekolah, mengalami tekanan sosial, bahkan konflik dalam keluarga.
Penegakan Nilai dan Harapan Masa Depan
Menutup pernyataannya, Kabid Kebudayaan menyerukan agar masyarakat tidak salah dalam memahami adat. Ia menegaskan bahwa adat Sasak menjunjung tinggi nilai-nilai luhur, seperti kewaspadaan (apik), kejujuran (lindi), dan kesiapan (tapak) dalam menjalani hidup.
“Mari kita letakkan persoalan ini dengan bijak. Jangan sampai lembaran suci budaya kita ternoda oleh praktik yang tidak sesuai dengan nilai luhur,” pungkasnya.
Kasus ini menjadi momentum bagi semua pihak untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesiapan usia dan mental dalam membina rumah tangga, demi melahirkan generasi yang sehat dan cerdas. (*)