Mataram (NTBSatu) – Permohonan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) seluas 182 hektare di Desa Karang Sidemen, Kabupaten Lombok Tengah, hingga kini belum ada kepastian.
Sejak tahun 2008, sebanyak 520 Kepala Keluarga (KK) yang telah mengelola lahan bekas Hak Guna Usaha (HGU) PT Tresno Kenangan secara turun-temurun terus memperjuangkan hak atas tanah tersebut.
Pada Senin, 28 April 2025, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) NTB bersama perwakilan masyarakat Karang Sidemen secara resmi melaporkan lambannya proses permohonan TORA ini ke Ombudsman RI Perwakilan NTB.
Mereka berharap Ombudsman dapat menindaklanjuti dugaan maladministrasi, yang menyebabkan terhambatnya proses pengakuan hak atas tanah.
Direktur Eksekutif Walhi NTB, Amri Nuryadin mengungkapkan kekecewaannya terhadap lambannya proses tersebut. Ia menilai perjuangan panjang ini seharusnya sudah mendapat respons nyata dari pemerintah.
“Masyarakat Karang Sidemen sudah puluhan tahun mengelola lahan ini secara produktif dan berkelanjutan. Tapi negara seperti menutup mata terhadap hak-hak mereka,” ujar Amri usai penyerahan laporan di Kantor Ombudsman NTB, Senin, 28 April 2025.
Menurut Amri, proses pengakuan seharusnya melalui skema TORA sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 Jo. Perpres No. 62 Tahun 2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria.
Namun, hingga kini, permohonan yang masyarakat ajukan mandek di Kanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi NTB.
“Ini memperlihatkan bahwa reforma agraria di NTB hanya sebatas seremoni. Tidak ada perubahan struktural yang dirasakan oleh masyarakat di lapangan,” tegas Amri.
Indikasi Potensi Pelanggaran Administrasi
Ombudsman RI Perwakilan NTB langsung merespons keluhan masyarakat ini. Kepala Ombudsman RI Perwakilan NTB, Dwi Sudarsono menyatakan, akan mendalami laporan tersebut karena terdapat indikasi potensi pelanggaran prosedur administrasi oleh instansi terkait.
“Kami mendapatkan informasi bahwa permohonan TORA dari masyarakat Desa Karang Sidemen sudah lama masuk. Tetapi belum tuntas di BPN NTB. Ini perlu kami dalami,” kata Dwi.
Ia memastikan, pihaknya akan berkoordinasi dengan Kanwil BPN Provinsi NTB untuk mengecek sejauh mana perkembangan proses permohonan tersebut.
Jika terdapat unsur maladministrasi, Ombudsman akan mengambil langkah-langkah penanganan sesuai kewenangan.
“Yang penting adalah permohonan masyarakat diproses secara prosedural dan transparan. Tidak boleh ada penundaan tanpa alasan hukum yang jelas,” tegas Dwi.
Lebih jauh, Dwi meminta agar pemerintah daerah dan BPN mempercepat tindak lanjut pengakuan hak atas tanah bagi masyarakat Karang Sidemen, demi menghindari konflik agraria yang berpotensi muncul akibat ketidakpastian hukum berkepanjangan.
“Negara tidak boleh membiarkan masyarakat kecil berjuang sendirian. Reforma agraria itu janji keadilan, bukan sekadar slogan,” pungkas Dwi. (*)