Mataram (NTBSatu) – Kematian ternak akibat antrean panjang di Pelabuhan Poto Tano dan Gili Mas, kembali terjadi. Tahun ini, sebanyak 16 ekor sapi mati sia-sia akibat berhari-hari terjebak dalam truk di bawah terik matahari.
Kondisi ini mencerminkan lemahnya manajemen pengiriman ternak oleh pemerintah daerah.
Koordinator Asosiasi Peternak dan Pedagang Sapi Bima Indonesia, Furkan Sangiang mencatat, kematian sapi tahun 2025 meningkat tajam daripada tahun sebelumnya.
Pada 2024, hanya dua ekor sapi yang mati. Sementara pada 2023, hampir 10 ekor sapi mati serta disembelih paksa karena kritis di tengah antrean.
Furkan menilai kematian ternak di pelabuhan ini sebagai kegagalan sistemik yang seharusnya bisa dihindari. Ia menuntut Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB segera mengambil tiga langkah konkret, untuk mencegah tragedi serupa terulang.
Pertama, Pemprov harus menetapkan kuota pengiriman ternak sejak awal. Langkah ini akan mencegah pengiriman berlebih yang menyebabkan penumpukan antrean di pelabuhan.
Kedua, pemerintah wajib menyediakan armada pengangkut sesuai kuota yang telah ditentukan. “Jika armada tidak seimbang dengan jumlah sapi, antrean pasti terjadi, dan hewan akan jadi korban,” tegas Furkan, Rabu, 23 April 2025.
Ketiga, Furkan mendorong evaluasi menyeluruh terhadap jadwal tes PCR bagi ternak. Ia menyarankan agar masa berlaku hasil tes tersebut lebih optimal.
“Sehingga tidak mempersempit waktu pengiriman,” tambahnya.
Sebagai informasi, antrean truk bermuatan ternak mulai terjadi di Pelabuhan Poto Tano, Sumbawa, sejak 16 April 2025. Kemudian, dua hari setelahnya menyusul di Pelabuhan Gili Mas, Lombok Barat.
Para peternak mengangkut sapi dari Bima dan Dompu untuk memenuhi permintaan tinggi di Pulau Jawa menjelang Iduladha.
Namun, tanpa perbaikan manajemen logistik dan regulasi yang jelas, kejadian memilukan seperti ini berpotensi terus terulang setiap tahun. (*)