Mataram (NTBSatu) – Pertumbuhan ekonomi Provinsi NTB pada triwulan I tahun 2025 yang menyentuh angka minus 1,47 persen, menuai sorotan tajam.
Bahkan, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, secara terang-terangan mempertanyakan anjloknya performa ekonomi daerah yang hanya mengelola dua pulau besar ini.
“NTB ini hanya mengelola dua pulau besar, tapi kok bisa minus?. Saya belum habis pikir,” ujar Tito saat Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi, Senin, 26 Mei 2025.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), penyebab kontraksi ekonomi NTB adalah penurunan tajam sektor pertambangan. Anjlok hingga 30,18 persen.
Sebagai penyumbang besar Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) NTB, jebloknya sektor tambang langsung menyeret angka pertumbuhan ekonomi ke zona negatif.
Namun, Kepala Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik (Diskominfotik) Provinsi NTB, Yusron Hadi menegaskan, perekonomian di luar sektor tambang justru tetap tumbuh impresif.
“Realisasi pertumbuhan ekonomi di luar tambang mencapai 5,57 persen. Dari sisi konsumsi rumah tangga, tumbuh sekitar 4,19 persen. Artinya, tidak ada pengaruh terhadap daya beli masyarakat secara umum,” ujarnya, Selasa, 27 Mei 2025.
Senada, Kepala BPS Provinsi NTB, Wahyudin menyebut, narasi yang berkembang seolah-olah pertumbuhan ekonomi minus mencerminkan daya beli yang lesu, tidak sepenuhnya tepat.
Ia menekankan inflasi tahunan di NTB tergolong rendah, hanya 1,8 persen. “Dengan angka tertinggi di Kota Mataram sebesar 2,07 persen,” katanya, kemarin.
Namun, narasi di atas, meskipun valid secara data makro tampaknya tidak sepenuhnya menggambarkan denyut ekonomi di lapisan bawah.
Ketika statistik menampilkan angka pertumbuhan konsumsi, di lapangan justru terdengar suara-suara sunyi dari para pedagang pasar yang tengah bertahan di tengah tekanan.
Masyarakat Sedikit Belanja, Pedagang Untung Tipis

Di sudut Pasar Kebon Roek, Kota Mataram, Sumiatun menata sayur mayur dagangannya di atas meja kayu lapuk. Cabai merah yang biasanya laris manis kini hanya masyarakat lirik. Bawang merah yang dulu jadi primadona dapur, kini hanya terjual separuh ukuran biasa.
“Sayur dari tengkulak naik terus. Tomat, bawang putih, semua naik. Tapi pelanggan makin sedikit. Mau naikin harga, orang kabur. Mau jual murah, kita yang rugi,” katanya lirih, sambil membungkus seikat kangkung, Rabu, 28 Mei 2025.
Keuntungan, lanjut Sumiatun, semakin menipis. Modal diputar dengan cemas, takut tidak kembali. Di tengah semrawut harga, ia harus pandai mengatur siasat.
“Sekarang saya belanja barang sehari-hari saja, bukan seminggu lagi. Takut nggak laku. Uangnya juga makin pas-pasan,” jelasnya.
Di kawasan Cakranegara, Ayu Wati, pemilik toko kelontong kecil, mengeluh hal yang sama.
Etalase tokonya tak lagi padat. Kardus mie instan tinggal separuh tumpukan. Ia membeli gula dan minyak hanya seperempat liter untuk berjualan.
“Saya ngak tau soal ekonomi minus. Tapi sudah terasa dari akhir tahun lalu, orang beli makin sedikit. Sekarang stok barang kami tahan dulu, takut rugi,” ungkapnya.
Ayu mengaku lebih berhitung ketat terhadap setiap pesanan dari sales. Jika dulu mengambil stok dalam jumlah besar, kini ia memilih sekadarnya saja.
“Makanya sekarang nggak berani ambil banyak. Kalau nggak laku, siapa yang mau bayar?,” tuturnya.
Pengamat: Statistik tak Selalu Mewakili Realita
Menanggapi kondisi tersebut, Pengamat Ekonomi dari Universitas Mataram, Saipul Arni Muhsyaf, Ph.D., menjelaskan, pertumbuhan konsumsi rumah tangga sebesar 4 sampai 5 persen memang secara statistik tergolong positif.
Namun ia mengingatkan, angka agregat semacam ini tidak otomatis mencerminkan kesejahteraan semua lapisan masyarakat.
“Pertumbuhan konsumsi bisa jadi ditopang oleh kelompok menengah-atas yang masih memiliki ruang belanja. Tapi bagi pelaku ekonomi di sektor informal, terutama pedagang pasar, kondisi riil bisa jauh berbeda,” paparnya kepada NTBSatu, hari ini.
Saipul menyebut, data konsumsi rumah tangga seringkali terpusat pada nilai belanja. Bukan pada volume barang yang dibeli.
Artinya, meski nominal pengeluaran naik, belum tentu masyarakat membeli lebih banyak barang. Bisa jadi justru membeli lebih sedikit akibat harga yang meningkat.
“Jika inflasi mencapai 2 persen, sementara konsumsi tumbuh 5 persen, maka pertumbuhan konsumsi riil hanya sekitar 3 persen. Dan jika inflasi pangan lebih tinggi dari itu, maka daya beli untuk kebutuhan pokok bisa stagnan bahkan turun,” tambahnya.
Lebih lanjut, ia menyoroti pola konsumsi yang berubah di era digital. Konsumen beralih dari pasar tradisional ke ritel modern dan belanja daring.
“Ini membuat konsumsi secara keseluruhan tetap tumbuh, tapi pedagang kecil tidak mendapat limpahan manfaatnya. Mereka justru makin tersingkir,” sebut Saipul.
Ia menekankan, pentingnya membaca angka ekonomi dalam konteks distribusi dan persebaran manfaat, bukan hanya berdasarkan nilai total.
“Pertumbuhan ekonomi tidak akan berarti jika tidak terasa di meja makan masyarakat kecil,” pungkasnya. (*)