Ekonomi BisnisHEADLINE NEWS

Menteri Tito Karnavian Soroti Pertumbuhan Ekonomi NTB: Minus 1,47 Persen, Ada Apa?

Mataram (NTBSatu) – Di tengah euforia pertumbuhan ekonomi nasional yang menanjak, NTB justru menghadirkan ironi menjadi satu dari dua provinsi di Indonesia yang ekonominya terjun ke zona merah.

Dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi 2025, Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian menyoroti anjloknya ekonomi NTB yang mencatat kontraksi sebesar minus 1,47 persen.

“NTB ini hanya mengelola dua pulau besar, tapi kok bisa minus?. Saya belum habis pikir,” ujar Tito, Senin, 26 Mei 2025.

Ia pun mempertanyakan kinerja Pemerintah Povinsi di bawah Gubernur Lalu Muhamad Iqbal, yang disebutnya sebagai sosok cerdas dengan pengalaman diplomatik internasional. Namun kini menghadapi tantangan ekonomi serius di rumah sendiri.

“Ini barangkali menjadi PR bagi Pak Gubernur Iqbal kenapa sampai minus sejauh itu,” kata Tito.

IKLAN

NTB sebelumnya dikenal sebagai daerah dengan performa ekonomi solid. Bahkan sempat menjadi rujukan nasional dalam pengelolaan fiskal daerah.

Kini, Provinsi NTB justru mengalami kemunduran drastis bersama Papua Tengah dengan kontraksi atau minus 25,53 persen.

Berbeda dengan NTB, 19 dari 38 provinsi justru menikmati pertumbuhan di atas rata-rata nasional 4,87 persen. Maluku Utara melonjak drastis 34,58 persen, Papua Barat 25,53 persen, dan Sulawesi Tengah 8,69 persen.

IKLAN

“Pertumbuhan satu persen saja dampaknya besar bagi rakyat. Kalau NTB justru minus, ini sinyal bahaya. Harus ada evaluasi total,” jelas Tito.

Kini, dengan kepemimpinan baru, seharusnya fokus lebih dulu ke penguatan sektor ekonomi sebelum menyentuh urusan lain.

Ia juga mendorong adanya koordinasi lebih intensif antara Pemerintah Provinsi dan BPS NTB untuk mengevaluasi akar persoalan.

BPS Ungkap Penyebab Konstraksi

Sementara itu, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) NTB, Wahyudin menyebut, penyebab utama kontraksi ini adalah belum terealisasinya sebagian besar anggaran proyek pemerintah daerah. Baik dari APBD I (provinsi) maupun APBD II (kabupaten/kota), serta tidak adanya ekspor dari sektor tambang selama tiga bulan pertama tahun 2025 ini.

IKLAN

“Kita maklumi bersama bahwa di triwulan I 2025 ini belum banyak realisasi anggaran proyek dari APBD, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Ini sangat mempengaruhi ekonomi. Selain itu, sejak November 2024, tidak ada ekspor tambang yang berjalan di NTB,” jelas Wahyudin.

Sektor pertambangan selama ini menjadi penyumbang terbesar dalam struktur ekonomi NTB. Bahkan mencapai 20 persen dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).

Kendati demikian, terdapat sejumlah faktor yang berpotensi mendorong pemulihan ekonomi pada Triwulan II 2025.

Di antaranya, pembukaan blokir anggaran yang memungkinkan percepatan belanja pemerintah, harga emas global yang masih tinggi yang berpotensi meningkatkan ekspor dan royalti dari sektor tambang Batu Hijau di Sumbawa Barat. Serta, musim panen tembakau yang diperkirakan akan menggenjot pendapatan petani dan daerah.

“Selain itu, penyaluran Dana Desa, DAK Fisik. Serta, berbagai bantuan sosial seperti PKH dan BPNT juga diharapkan menjaga daya beli masyarakat, terutama di kawasan pedesaan,” jelasnya. (*)

Berita Terkait

Back to top button