Mataram (NTBSatu) – Provinsi NTB mencatatkan, deflasi sebesar 0,58 persen pada Mei 2025 secara bulanan (month-to-month). Sehingga, menempatkannya di posisi ke-9 nasional sebagai provinsi dengan deflasi terdalam.
Penurunan harga ini akibat anjloknya harga sejumlah komoditas pangan, sebagai dampak dari musim panen di berbagai wilayah.
“NTB termasuk dalam 31 provinsi yang mengalami deflasi, tapi NTB bukan yang terdalam. Deflasi NTB tercatat sebesar minus 0,58 persen,” ungkap Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi NTB, Wahyudin, Senin, 2 Juni 2025.
Adapun komoditas pangan yang memberikan kontribusi paling besar terhadap penurunan harga antara lain cabai rawit -0,37 persen, bawang merah -0,17 persen. Kemudian, cabai merah -0,07 persen, beras -0,05 persen, dan jeruk -0,03 persen.
Pengamat Ekonomi dan Kebijakan Publik, Saipul Arni Muhsyaf, Ph.D., mengatakan, deflasi musiman akibat panen raya bukanlah hal yang mengkhawatirkan.
Namun, kondisi 2025 dinilai berbeda. Selain melemahnya permintaan, terdapat pengaruh dari gaung program efisiensi anggaran secara nasional.
“Kebijakan penghematan belanja negara yang dijalankan pusat turut berdampak hingga ke daerah. Termasuk dalam perencanaan pembangunan daerah yang bersentuhan langsung dengan masyarakat,” terang Saipul.
Aktivitas Ekonomi Melemah
Ia menilai, deflasi yang terjadi di NTB ketika dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi minus 1,47 persen pada Triwulan I 2025 (y-on-y), mengindikasikan pelemahan aktivitas ekonomi secara menyeluruh.
Fenomena ini umumnya mencerminkan tiga gejala utama. Pertama, konsumsi rumah tangga yang melemah, kemungkinan akibat masyarakat menunda belanja karena ketidakpastian ekonomi atau menurunnya pendapatan.
Kedua, investasi juga menurun, seiring kecenderungan pelaku usaha atau investor menahan ekspansi akibat rendahnya permintaan pasar.
Ketiga, penurunan aktivitas di sektor-sektor dominan seperti pariwisata, pertanian, dan pertambangan turut memperdalam perlambatan ekonomi.
“Dalam struktur ekonomi NTB, konsumsi rumah tangga adalah komponen terbesar dalam pembentukan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto, red). Ketika konsumsi melemah, dampaknya akan langsung terasa pada laju pertumbuhan,” jelas Saipul.
Sepanjang 2025, pola inflasi dan deflasi di NTB menunjukkan fluktuasi yang signifikan.
Pada Januari dan Februari terjadi deflasi masing-masing sebesar -0,55 persen dan -0,60 persen. Inflasi kemudian tercatat pada Maret sebesar 2,04 persen dan April sebesar 0,69 persen, sebelum kembali ke tren deflasi pada Mei.
Pola ini menunjukkan bahwasannya stabilitas harga masih belum tercapai, dan turut mencerminkan ketidakpastian dalam pemulihan ekonomi.
Saipul mengatakan, selain konsumsi dan investasi, sektor-sektor unggulan NTB seperti pertambangan dan pariwisata yang masih menghadapi tekanan juga menjadi faktor yang memperburuk kondisi.
“Ketergantungan NTB terhadap harga komoditas global dan dinamika pariwisata menjadikan daerah ini rentan terhadap guncangan eksternal,” ujar Wakil Dekan Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Mataram 2020-2024 ini.
Menurutnya, deflasi yang bersifat musiman akibat panen raya masih wajar. Namun, jika terus berlangsung dengan adanya kontraksi ekonomi, maka hal ini harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah daerah dan pemangku kepentingan.
“Untuk mendorong kembali permintaan domestik dan menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif,” pungkas Saipul. (*)