Ekonomi BisnisHEADLINE NEWS

Minus di Awal 2025, Ekonomi NTB Masuk Dua Terbawah Nasional

Mataram (NTBSatu) – Kondisi ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) mengalami tekanan berat pada kuartal I tahun 2025. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekonomi NTB tercatat tumbuh minus 1,47 persen secara tahunan.

Angka ini menempatkan NTB sebagai salah satu dari hanya dua provinsi di Indonesia yang mengalami kontraksi ekonomi, bersama Papua Tengah yang tertekan lebih dalam hingga minus 25,53 persen.

Sementara itu, sebagian besar provinsi lainnya justru mencatatkan pertumbuhan ekonomi positif. Bahkan 19 dari 38 provinsi di Indonesia berhasil mencetak pertumbuhan di atas rata-rata nasional, yang berada di angka 4,87 persen.

Beberapa daerah bahkan mengalami lonjakan signifikan. Seperti Maluku Utara yang tumbuh 34,58 persen, Papua Barat 25,53 persen, dan Sulawesi Tengah 8,69 persen.

NTB, yang sebelumnya termasuk daerah dengan kinerja ekonomi kompetitif, kini harus berbenah.

IKLAN

Menurut Kepala BPS Provinsi NTB, Wahyudin, penyebab utama kontraksi ini adalah belum terealisasinya sebagian besar anggaran proyek pemerintah daerah. Baik dari APBD I (provinsi) maupun APBD II (kabupaten/kota), serta tidak adanya ekspor dari sektor tambang selama tiga bulan pertama tahun ini.

“Kita maklumi bersama bahwa di triwulan I 2025 ini belum banyak realisasi anggaran proyek dari APBD, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Ini sangat mempengaruhi ekonomi. Selain itu, sejak November 2024, tidak ada ekspor tambang yang berjalan di NTB,” jelas Wahyudin.

Sektor pertambangan selama ini menjadi penyumbang terbesar dalam struktur ekonomi NTB. Bahkan mencapai 20 persen dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).

IKLAN

Namun, sektor ini terkontraksi tajam lebih dari 30 persen akibat mandeknya aktivitas ekspor.

Percepatan Belanja Daerah Sektor Produktif

Melihat kondisi ini, Pengamat Ekonomi Universitas Mataram, Dr. Firmansyah mengingatkan pemerintah daerah agar tidak hanya bergantung pada tambang. Serta, segera mempercepat belanja daerah yang mengarah pada sektor produktif.

“Pemerintah daerah tidak bisa hanya menunggu smelter beroperasi atau ekspor tambang dibuka kembali. Perlu akselerasi belanja APBD ke sektor-sektor yang lebih tahan banting seperti pertanian, perikanan, dan UMKM,” ujarnya.

Firmansyah menambahkan, NTB memiliki potensi luar biasa di luar tambang, termasuk KEK Mandalika, pariwisata halal, industri rumahan, dan peternakan.

Ia menyarankan agar dana publik diarahkan lebih banyak untuk padat karya, sehingga dapat memperkuat daya beli dan menciptakan lapangan kerja cepat.

“Sektor pertanian dan UMKM terbukti tetap bergerak meski dalam tekanan. Lewat sedikit dorongan kebijakan dan anggaran, mereka bisa jadi mesin utama pemulihan NTB,” kata Firmansyah. (*)

Berita Terkait

Back to top button