APBN Jadi Bantalan Ekonomi NTB di Tengah Kontraksi

Mataram (NTBSatu) – Perekonomian Provinsi NTB pada triwulan pertama tahun 2025, mengalami kontraksi sebesar minus 1,47 persen secara tahunan (yoy).
Kepala Perwakilan Bank Indonesia NTB, Berry Arifsyah Harahap menjelaskan, penurunan ini terjadi karena berkurangnya ekspor setelah berakhirnya relaksasi ekspor konsentrat. Kemudian, Smelter yang baru beroperasi setengah kapasitas.
“Meski ekonomi secara umum mengalami kontraksi, daya beli masyarakat tetap terjaga berkat konsumsi rumah tangga yang naik saat Ramadan dan pencairan THR menjelang Lebaran,” ujar Berry saat Konferensi Pers APBN KiTa, Selasa, 24 Juni 2025.
Sektor pertambangan menjadi penyumbang kontraksi terbesar karena terbatasnya produksi di fase 8.
Namun di sisi lain, sektor non tambang tumbuh positif sebesar 5,57 persen. Terutama karena musim panen padi yang mendongkrak kinerja sektor pertanian.
Kondisi ini sejalan dengan pernyataan Kepala Perwakilan Kementerian Keuangan NTB, Samon Jaya yang menyebut, aktivitas ekonomi masyarakat tetap bergerak. Hal ini terlihat dari realisasi pendapatan negara sebesar Rp1,4 triliun atau 32,65 persen dari target.
“Penerimaan pajak sebesar Rp1,02 triliun menunjukkan ekonomi NTB masih cukup kuat. Khususnya dari sektor perdagangan dan jasa keuangan yang terus membaik,” jelas Samon.
Jaga Kestabilan Ekonomi NTB
Dukungan Pemerintah Pusat melalui belanja negara juga sangat berperan menjaga kestabilan ekonomi NTB.
Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) NTB, Ratih Hapsari Kusumawardani, melaporkan hingga Mei 2025, realisasi belanja negara mencapai Rp9,9 triliun atau 36,10 persen dari pagu APBN.
“Anggaran ini kita arahkan untuk mendukung sektor penting seperti pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan keagamaan. Selain itu, Transfer ke Daerah dan Dana Desa terus kita salurkan untuk memperkuat pelayanan publik dan pembangunan di tingkat desa,” ujar Ratih.
Dana Desa misalnya, telah disalurkan sebesar Rp597,76 miliar untuk mendukung penanganan kemiskinan ekstrem, program ketahanan pangan, serta pengembangan potensi desa.
Pemerintah juga menyalurkan berbagai bantuan sosial seperti PKH, BPNT, BLT Desa, hingga beasiswa pendidikan tinggi untuk mahasiswa kurang mampu.
“Bantuan ini penting untuk menjaga daya beli masyarakat miskin dan rentan, terutama di tengah situasi ekonomi yang masih penuh tantangan,” tambah Ratih.
Sementara itu, Akademisi Universitas Mataram, Taufiq Chaidir menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah pusat dan daerah dalam menghadapi tekanan ekonomi jangka panjang.
“Kesiapsiagaan pemerintah daerah sangat penting agar bisa cepat merespons tekanan ekonomi. Kolaborasi antarlembaga harus terus diperkuat,” jelas Taufiq. (*)