Mataram (NTBSatu) – Pernyataan Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian mengenai pertumbuhan ekonomi NTB yang mengalami kontraksi hingga minus, memantik perhatian publik.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pertumbuhan ekonomi NTB mengalami minus 1,47 persen secara tahunan (y-on-y) dan minus 2,32 persen secara kuartalan (q-to-q) pada Triwulan I 2025.
Di tengah berbagai klaim keberhasilan pembangunan, fakta pertumbuhan negatif ini menjadi sinyal serius yang tidak bisa diabaikan.
Pengamat Ekonomi Universitas Mataram, Saipul Arni Muhsyaf, Ph.D., menyebut, kontraksi tersebut sebagai alarm penting yang selama ini kurang mendapat perhatian.
“Kontraksi ekonomi di daerah yang sangat mengandalkan sektor tambang sebenarnya hal yang lumrah. Banyak daerah lain, baik di Indonesia maupun di luar negeri, mengalami situasi serupa ketika sektor tambangnya goyah,” jelasnya kepada NTBSatu, Selasa, 27 Mei 2025.
Namun Saipul menegaskan, kondisi NTB yang mengalami pertumbuhan negatif harus menjadi wake-up call atau peringatan keras bagi semua pihak.
“Ekonomi NTB selama ini terlalu berat sebelah. Terlalu bertumpu pada sektor tambang. Begitu ekspor tambang tersendat, dampaknya langsung terasa. Ini membuktikan bahwa fondasi ekonomi kita belum kokoh dan belum terdiversifikasi dengan baik,” ujarnya.
Kontraksi ekonomi NTB yang mencapai minus 1,47 persen ini kerap dikaitkan dengan pergantian kepala daerah.
Narasi yang berkembang seolah-olah kepemimpinan baru menjadi penyebab utama stagnasi ekonomi. Namun, menurut Saipul, anggapan tersebut keliru.
“Transisi kekuasaan adalah agenda rutin yang terjadi setiap lima tahun. Tidak seharusnya berdampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi jangka pendek,” tegas Wakil Dekan Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Mataram 2020-2024 ini.
Soroti Kebijakan Efisiensi Anggaran
Lebih jauh, ia menjelaskan, secara teori dan empiris, faktor-faktor fundamental seperti investasi, serapan tenaga kerja, inflasi. Serta, belanja pemerintahlah yang memiliki pengaruh struktural signifikan terhadap pergerakan ekonomi.
Namun, yang paling perlu dicermati saat ini adalah agenda efisiensi pemerintah yang sempat menjadi sorotan publik.
“Program efisiensi yang diluncurkan oleh pemerintah daerah belum dikomunikasikan secara jelas dan minim kejelasan arah implementasinya. Alih-alih memberikan kepercayaan, kebijakan ini justru menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku usaha,” ungkapnya.
Akibatnya, banyak pelaku usaha dan investor mengambil sikap wait and see (menunggu dan melihat). Misalnya, menunda investasi dan menahan belanja yang pada akhirnya memperlambat perputaran ekonomi secara keseluruhan.
“Inilah yang secara nyata mendorong kontraksi ekonomi, bukan semata-mata pergantian kepemimpinan,” pungkasnya.
Minim Perhatian Sektor Pertanian
Ketua Komisi II DPRD NTB, H. Lalu Pelita Putra, mengingatkan, mayoritas penduduk NTB, sekitar 36,16 persen bekerja di sektor pertanian. Namun, sektor ini belum mendapatkan perhatian serius dalam pembangunan ekonomi daerah.
“Topografi NTB sangat mendukung pertanian, tenaga kerja di sektor ini juga melimpah, namun industrinya belum disiapkan dengan baik. Kita terus bicara soal Mandalika dan pariwisata. Tapi lupa bahwa kesejahteraan rakyat justru sangat ditentukan dari ladang dan sawah mereka,” ujarnya.
Melihat Data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2024, sebanyak 71,80 persen penduduk NTB bekerja di sektor informal. Sebagian besar berada di sektor pertanian dan UMKM.
“Jangan sampai fokus berlebihan pada sektor besar, seperti tambang malah mengabaikan mayoritas rakyat yang hidup dari usaha kecil-kecil. Kesejahteraan itu bukan hanya ditentukan dari ekspor mineral. Tapi dari dapur rumah tangga yang tetap bisa mengepul,” tegasnya.
UMKM dan Eksekusi Kebijakan Masih Lemah
Pelita juga menilai, Pemprov NTB kurang optimal dalam memaksimalkan potensi Usaha Mikro, Kecil, dan Menegah (UMKM).
Menurutnya, sektor UMKM harus menjadi andalan baru dengan dukungan kebijakan yang konkret. Seperti, pelatihan manajerial, digitalisasi usaha, dan kolaborasi lintas sektor.
“Pemerintah harus serius membangun ekosistem usaha yang kuat dan inklusif. Tanpa itu, potensi lokal akan terus tertinggal dan sulit bersaing,” jelasnya.
Geliat UMKM NTB di Tengah Ekonomi Minus
Di sisi lain, pelaku UMKM lokal mulai mengambil peran penting dalam menjaga denyut ekonomi. Terlebih, saat sektor tambang melemah dan kebijakan efisiensi pemerintah menimbulkan ketidakpastian.
Founder Lombok Womanpreneur Club (LWC), Indah Purwanti Ningsih yang juga pengusaha mutiara serta kuliner, melihat tantangan ini sebagai momen kebangkitan.
Menurutnya, pelaku UMKM tidak boleh pasif menunggu stimulus dari pemerintah, tetapi harus mulai membangun kekuatan sendiri.
“Efisiensi anggaran pasti berdampak bagi pelaku usaha lokal, apalagi mereka yang selama ini bergantung pada proyek-proyek pemerintah. Karena itu, sekarang saatnya kita berani memperluas jaringan dan mengurangi ketergantungan tersebut,” ujar Indah.
Ia mengajak perusahaan-perusahaan nasional dan swasta untuk lebih aktif menyelenggarakan kegiatan di NTB, khususnya di Lombok. Dengan tujuan menghidupkan ekosistem ekonomi lokal secara mandiri dan menjaga keberlangsungan bisnis UMKM.
“Kolaborasi lintas sektor sangat penting. Pelaku usaha lokal juga harus mengevaluasi diri. Mulai dari membenahi brand, memperkuat produk, hingga menjangkau pasar yang lebih luas,” tambahnya.
Indah juga mendorong digitalisasi sebagai senjata utama UMKM untuk tetap relevan dan kompetitif. Menurutnya, dengan optimalisasi media sosial dan platform digital merupakan langkah strategis memasarkan produk ke pasar yang lebih luas, bahkan global.
“Ini adalah waktu yang tepat bagi UMKM untuk agresif, inovatif, dan berpikir di luar kebiasaan. Jangan terpaku pada pola lama. Yang bertahan bukan yang paling besar, tapi yang paling adaptif,” tegasnya.
Indah mengingatkan bahwa di tengah dinamika ekonomi yang tidak pasti, wirausaha harus memiliki mentalitas yang tangguh. Serta, terus mencari peluang adalah kunci untuk menjaga dapur tetap mengepul dan roda ekonomi terus berputar. (*)