Oleh: Dr. H. Ahsanul Khalik – Staf Ahli Gubernur Bidang Sosial Kemasyarakatan
Pertumbuhan ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) pada Triwulan I 2025 mencatat angka mengejutkan: minus 1,47 persen. Data ini memantik reaksi keras dari berbagai kalangan, termasuk perhatian khusus dari Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. Namun, di balik angka merah tersebut tersembunyi dinamika struktural ekonomi NTB yang tak sederhana.
Perdebatan muncul ketika sebagian kalangan menyimpulkan bahwa ekonomi NTB mengalami kemunduran, dengan tidak melihat konteks penyebabnya secara utuh. Sektor pertambangan yang selama ini menjadi kontributor utama PDRB NTB justru mengalami kontraksi lebih dari 30 persen, disebabkan oleh kebijakan pemerintah pusat yang menghentikan ekspor konsentrat tambang karena smelter belum dianggap beroperasi penuh.
Sementara itu di satu sisi, ada fakta menarik yang juga penting untuk dicermati, di mana dalam data BPS, jika sektor tambang dikeluarkan dari hitungan, pertumbuhan ekonomi NTB justru mencapai 5,57 persen. Artinya, sektor-sektor lain seperti pertanian, perdagangan, dan lainnya di luar tambang tetap menunjukkan performa impresif. Sektor pertanian bahkan tumbuh dua digit, lebih dari 10 persen. Ini adalah gambaran resilience ekonomi lokal yang patut diapresiasi.
Namun, menjadikan pertumbuhan “tanpa tambang” sebagai narasi tunggal juga bukan solusi. PDRB adalah gambaran kapasitas produksi ekonomi secara utuh, dan sektor tambang tidak bisa sekadar diabaikan. Menghilangkannya dari struktur resmi perhitungan ekonomi justru berisiko menyesatkan perencanaan pembangunan dan distribusi fiskal nasional. Oleh karena itu, yang dibutuhkan bukanlah perdebatan statistik, melainkan respon kebijakan yang solutif dan berorientasi jangka pendek serta menengah.
Gubernur NTB, Lalu Muhammad Iqbal (LMI), menyadari kompleksitas ini. Tak ikut larut dalam polemik, ia memilih jalur diplomasi dan tindakan strategis. Gubernur Iqbal bergerak cepat bertemu Menteri Investasi/ESDM Bahlil Lahadalia untuk meminta relaksasi kebijakan ekspor konsentrat bagi PT AMNT. Tujuannya jelas, mendorong kembalinya aktivitas ekspor agar ekonomi NTB tidak terus tersandera kebijakan pusat.
Di saat yang sama, Gubernur juga mengambil langkah-langkah jangka pendek untuk menstabilkan ekonomi, termasuk memperkuat sektor-sektor produktif lain dan menjaga daya beli masyarakat. Inilah yang dibutuhkan masyarakat, langkah berupa pendekatan kepemimpinan yang adaptif, kontekstual, dan fokus pada solusi, bukan saling menyalahkan.
Upaya jangka pendek ini oleh Gubernur Iqbal juga akan dilengkapi dengan strategi-strategi struktural dan jangka menengah agar ketergantungan terhadap tambang tidak terus menjadi kelemahan struktural. Beberapa langkah strategis yang dapat dan perlu dilakukan oleh adalah :
Menguatkan diversifikasi ekonomi daerah, melalui penguatan sektor non-tambang seperti pertanian, pariwisata, industri kreatif, dan manufaktur berbasis lokal menjadi prioritas utama. Ini penting agar pertumbuhan ekonomi NTB tidak bergantung pada sektor yang volatil (tidak stabil) dan sangat dipengaruhi regulasi pusat.
Meningkatkan local content industri tambang, dengan melibatkan lebih banyak pelaku lokal dalam rantai pasok industri pertambangan sebagai kunci agar dampak ekonomi sektor ini lebih terasa di masyarakat NTB. Ini sekaligus menjadi upaya menutup “kebocoran ekonomi regional”.
Meningkatan kapasitas fiskal daerah, dengan mengoptimalkan Dana Bagi Hasil (DBH) dari tambang dan memperjuangkan pembagian pajak yang lebih adil ke pusat adalah bagian penting dari reformasi tata kelola keuangan daerah. Pemerintah Provinsi NTB akan lebih aktif dalam forum nasional untuk memastikan suara daerah terdengar.
Meningkatkan kemitraan dan kolaborasi dengan dunia usaha dan Akademisi, NTB harus menciptakan ruang dialog yang kuat antara pemerintah, dunia usaha, dan kampus. Kolaborasi riset dan pengembangan teknologi lokal di sektor unggulan akan menjadi penopang pertumbuhan jangka panjang.
Meningkatkan pemberdayaan UMKM dan ekonomi lokal, melalui akses pembiayaan, pelatihan, serta pendampingan bagi pelaku UMKM. Pemerintah Provinsi NTB berfungsi menjadi katalisator tumbuhnya ekonomi rakyat sebagai jaring pengaman sosial dan pendorong pertumbuhan inklusif.
Melakukan perbaikan sistem data dan informasi rkonomi, agar kebijakan tidak terjebak dalam debat angka, memperkuat sistem informasi ekonomi yang akurat, partisipatif, dan terbuka, termasuk dengan menyediakan data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut pendekatan pengeluaran dengan metode eksklusi, yang nerupakan salah satu metode penghitungan PDRB berdasarkan pendekatan pengeluaran, tetapi dilakukan dengan cara pengecualian (exclusion), sebagai pelengkap narasi pembangunan.
Pemerintah Provinsi NTB sangat mengapresiasi setiap bentuk pendapat, kritik, dan saran yang disampaikan masyarakat, akademisi, maupun media. Semua tanggapan tersebut bukan gangguan, melainkan obat demokrasi untuk menyembuhkan kebijakan dari potensi keliru. Justru dari kritik yang konstruktif, lahir kebijakan yang lebih bijaksana dan berpihak.
Sesungguhnya, semua pendapat, kritik, dan perhatian publik terhadap pertumbuhan ekonomi NTB adalah bentuk kecintaan terhadap masa depan NTB itu sendiri. Kita semua sedang berada di kapal yang sama. Maka, setiap tantangan harus dijawab dengan pemahaman bersama dan semangat kolaboratif, bukan dengan saling menyalahkan atau sekadar berdebat.
Mari kita jadikan perbedaan cara pandang sebagai energi kolektif untuk menemukan kebijakan yang akurat, adil, dan tepat sasaran, demi mendorong kesejahteraan masyarakat NTB secara bersama-sama. Pertumbuhan ekonomi adalah tugas kita bersama, bukan sekadar angka statistik, tetapi refleksi kesejahteraan nyata di lapangan.
Dan untuk itu, langkah strategis Gubernur Iqbal adalah awal yang tepat. Kita semua – pemerintah, masyarakat, dan pelaku ekonomi harus terus bergandengan tangan. Karena masa depan NTB tidak ditentukan oleh sektor tambang semata, melainkan oleh kebersamaan kita dalam membangun daerah ini secara berkelanjutan. (*)