Opini

Kematian dalam ruang ide yang lain

Oleh : Budi Afandi* (IG: cerakenati)


BELANDA – 27 Februari 2024. Tulisan ini sedikit melompat ke saat ia sudah meninggalkan Kopenhagen dan telah bermukim di Belanda, ketik ia telah memulai studi keperawatan (yang nantinya ia tinggalkan, tak ia selesaikan). Ada sekelumit hal segar yang tiba-tiba ia ingat dan sepertinya baik untuk dituturkan (dan setelah itu ia akan kembali ke di Denmark pada tulisan-tulisan selanjutnya).

Sebagaimana dalam tulisan sebelumnya, memulai kehidupan baru di tempat yang benar-benar baru tentu saja memiliki banyak tantangan. Kendala bahasa adalah hal kecil di antaranya, kendala besar lain adalah kebudayaan, cara pandang, tata karma, dan banyak lagi.

Mungkin memang sudah pada sifatnya banyak hal bisa jadi terlihat ganjil ketika dihadapkan pada dua cermin berbeda sudut, meski pada dasarnya ia merupakan satu bentuk yang sama.

“Bagaimana perpisahan dengan nenekmu?” katanya pada rekan kerjanya pada suatu siang di musim semi.

Ketika itu ia sedang berada di kantor bersama beberapa persawat yang satu tim dengannya. Salah satu di antara rekannya itu baru saja mengadakan perpisahan dengan neneknya.

“Sangat baik,” katanya. “Semua berlangsung dengan baik. Semua anggota keluarga hadir. Kita makan bersama. Foto-foto. Setiap orang mengambil kesempatan untuk mengucapkan salam perpisahan ke nenek.”

“Sukurlah,” balasnya.

“Keesokan harinya nenek ditidurkan,” lanjut rekannya. “Nenek tidur dengan tenang.”

Ia tersenyum membayangkan senyum di wajah perempuan tua yang tidak pernah ia kenal atau lihat. Perempuan tua yang memilih mati, disuntik hingga ia memasuki tidur yang panjang dengan tenang di keliling keluarga menemaninya hingga memasuki kamar tidur keabadian.

Memutuskan mati, baginya, mulai kerap terdengar tak ubahnya seperti membuat keputusan lainnya dalam hidup seperti memutuskan makan, memutuskan berhenti bekerja, memutuskan pindah sekolah dan keputusan-keputusan lainnya.

Kematian dalam ruang lain yang kini ia tempati sudah seperti bukan rahasia lagi. Banyak orang memutuskan mati ketika mereka sudah tidak dapat menikmati hidup, seperti beberapa pasien yang pernah ia temui.

“Budi,” kata seorang pasiennya suatu siang. “Aku sudah tua. Sakit-sakitan. Tidak bisa menikmati apa-apa lagi. Lalu untuk apa aku hidup,”

Seorang pasiennya (sebut saja Linda) yang mulai menderita dementie sudah berkali-kali menegaskan ia ingin segera disuntik mati (ditidurkan). Linda merasa sudah tidak ada gunanya lagi ia hidup, terlebih dengan tubuh renta yang sangat tergantung pada obat-obatan.

“Lihat. Ini surat-surat yang aku tulis sejak lama. Dalam surat ini sudah kutuliskan, jika suatu ketika aku mengalami dementie, maka aku ingin di-euthanasie. Jelaskan!” katanya dengan tegas.

“Saya mengerti. Kita masih menunggu bagaimana kata dokter tentang status penyakit Anda,” katanya acap kali, balasan yang kerap membuat Linda jengkel.

Linda tinggal seorang diri, sebagaimana umumnya orang tua di Belanda. Anak-anaknya tinggal di tempat yang jauh dan bertandang sekali sepekan. Ia kerap menghabiskan waktu dengan duduk di ruang tamu dan melakukan hal-hal kecil di sekitar rumah. Kerap kali Linda mengulang cerita-cerita yang sama berkali-kali, cerita dari masa ketika ia masih muda.

Ia dan tim-nya datang ke rumah Linda, dua atau tiga kali dalam sehari. Membantu Linda dengan berbagai obat-obatan yang membuatnya bertahan hidup, sampai akhirnya Linda mendapatkan apa yang ia inginkan.

“Budi,” anak perempuan Linda membuka pintu. “Mari masuk.”

Malam itu hujan gerimis. Ia bersepeda dari rumah satu pasien ke rumah pasien lainnya, salah satunya adalah Linda. Akhirnya Linda mendapatkan apa yang ia inginkan. Pagi hari nanti Linda akan ditidurkan dengan dikelilingi oleh anak dan cucunya.

“Ramai sekali,” katanya mendengar suara-suara tawa dari ruang tamu.

“Iya. Malam ini semua hadir. Kita makan malam bersama dengan masakan Indonesia,” kata anak perempua Linda. “Ayo. Ibu ada di ruang tamu.”

Ia melangkah pendek setelah menggantung jas dan perkakas lainnya.

“Budi,” suara Linda dari tengah ruang tamu. Perempuan itu tersenyum. Ruang tamu penuh dengan anak dan cucunya. Piring dan gelas tergeletak di atas meja.

“Mari,” kata Linda. Dengan langkah pendek ia mendampingi perempuan tua itu menuju kamar tidur. Ia membantu Linda dengan segala kebutuhan sebelum tidur malam itu. Ia tertegun sejenak membayangkan keesokan harinya Linda akan bangun dari tidurnya lalu tidur lagi untuk selama-lamanya.

“Terima kasih banyak,” ucap anak perempuan Linda ketika mereka berada di pintu depan. Ia membalas dengan senyum kecil, sebelum bergegas dan bersepeda di antara gerimis dan gelap malam.

Di atas sepeda ia tak bisa berhenti membayangkan Linda dan orang-orang yang memilih untuk memasuki tidur panjang. Dulu ia kerap mendengar kematian bersama cerita-cerita gelap dan kesedihan, hanya sesekali ia mendengar cerita orang yang mati sambil tersenyum. Malam itu ia melihat Linda sangat gembira, Linda tak bisa berheti tersenyum karena ia mengetahui besok ia akan mati.

(Bersambung)

*Biodata – Budi Afandi; Menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang. Menulis novel, cerpen dan puisi. Karyanya pernah dimuat beberapa media. Menerbitkan beberapa buku cerpen dan kumpulan puisi bersama penulis lainnya. Bergiat di Komunitas Akarpohon Mataram. Kini mukim di Belanda.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button