Oleh: Furkan Sangiang – Ketua Asosiasi Peternak dan Pedagang Sapi Bima Indonesia (APPSBI)
Sejak slogan NTB Makmur Mendunia digaungkan di bawah kepemimpinan Iqbal-Dinda, jujur harus saya akui, dalam benak saya sempat terbersit harapan besar. Dalam imajinasi saya, keduanya hadir bak Nelson Mandela yang mampu membawa Afrika Selatan keluar dari tirani menuju rekonsiliasi dan keadilan, atau seperti Mahatma Gandhi yang berjuang tanpa kekerasan membebaskan India dari cengkeraman kolonialisme Inggris. Sosok superhero daerah pun sempat saya bayangkan muncul di NTB pemimpin yang tidak hanya sekadar memimpin, tetapi mengubah wajah daerah secara fundamental, memberi harapan bagi rakyat kecil, dan mewujudkan kesejahteraan hakiki.
Harapan itu bukan tanpa alasan. Di tengah gelombang perubahan politik dan janji-janji kampanye, publik NTB tentu menaruh ekspektasi bahwa pasangan ini akan melahirkan lompatan besar. Bahwa narasi “Makmur Mendunia” bukan sekadar jargon politik, melainkan manifestasi dari arah baru pembangunan yang lebih inklusif, adil, dan berkeadilan sosial.
Namun, apa daya, setelah saya cermati lebih dari 100 hari pertama masa kepemimpinan mereka, kenyataan yang ada jauh dari harapan awal tersebut (Silakan di kritik jika salah). Belum tampak program unggulan yang nyata dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Memang benar, 100 hari pertama barangkali belum bisa dijadikan tolok ukur penuh atas keberhasilan visi besar NTB Makmur Mendunia, karena capaian utuhnya baru akan bisa diukur di akhir lima tahun kepemimpinan. Namun, paling tidak, biasanya di fase awal itulah publik dapat melihat arah, kebaruan, dan keseriusan program prioritas. Kini, novelty atau keunikan dari NTB Makmur Mendunia nyaris belum tampak dengan jelas. Sekali lagi, slogan “Makmur Mendunia” bukan sekadar kata-kata indah untuk menghiasi baliho, melainkan janji serius yang harus berakar pada realitas kebutuhan rakyat NTB.
Alih-alih menunjukkan lompatan awal yang kuat, NTB justru dilanda krisis kepercayaan publik. Masyarakat bertanya-tanya, apa makna dari “makmur” itu?. Dan sejauh mana NTB telah “mendunia”?. Bila tolok ukurnya adalah data ekonomi, maka kita justru mendapati kabar buruk. Kementerian Dalam Negeri mencatat pertumbuhan ekonomi NTB berada di titik rendah, hanya 1,47 persen (NTBSatu edisi juni 2025). Angka ini jauh dari harapan dan sangat kontras dengan narasi kemajuan yang terus digembar-gemborkan oleh elite provinsi.
Di sektor pertanian, para petani jagung berteriak karena harga jual yang tak sesuai standar nasional (Suara NTB, 1 April 2025). Ironi pun terjadi, provinsi yang mengklaim diri sebagai lumbung pangan nasional justru tak mampu melindungi nasib petaninya. Sementara itu, peternak sapi yang membawa ternaknya ke Jakarta harus menghadapi hambatan logistik akibat keterbatasan armada kapal. Tak ada solusi strategis yang diberikan, hanya janji dan klarifikasi normatif.
Lebih mengkhawatirkan lagi adalah nasib anak-anak muda NTB. Angka pengangguran tertinggi justru datang dari lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan perguruan tinggi. Jika generasi terdidik pun gagal terserap dalam dunia kerja, bagaimana bisa NTB mencapai kemakmuran? Berdasarkan data BPS NTB per Agustus 2024, tercatat 87 ribu orang menganggur, dan angka ini mengalami peningkatan dibanding tahun-tahun sebelumnya (Lombok Post 29 mei 2025).
Persoalan lainnya muncul dalam tata kelola pemerintahan. Sistem meritokrasi yang dijanjikan justru tidak terlihat. Beberapan jabatan strategis yang diisi oleh tim sukses atau orang-orang yang dianggap dekat secara politis, bukan karena kapabilitas atau rekam jejak profesional. Hal ini menggerus kepercayaan publik terhadap pemerintah dan membahayakan kualitas layanan publik secara keseluruhan (Inews Lombok edisi 23 mei 2025).
Belum lagi masalah haji yang baru-baru ini mencuat. Beberapa jemaah asal NTB gagal berangkat karena tidak mendapatkan visa. Memang ini adalah masalah nasional, namun kejadian ini nyata terjadi di daerah. Pemerintah daerah seharusnya hadir memberi solusi dan advokasi, bukan sekadar berlindung di balik narasi pusat. Dalam dunia yang katanya sudah “mendunia”, mengurus jemaah haji pun masih menjadi persoalan mendasar.
Jika kita bedah lebih jauh makna slogan “Makmur Mendunia”, kata makmur seharusnya merujuk pada terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan. Tetapi angka rumah tidak layak huni di NTB justru meningkat. Kemiskinan masih membelit banyak desa. Distribusi air bersih, sanitasi, dan akses kesehatan masih menjadi mimpi bagi sebagian masyarakat di pelosok. Data terbaru menunjukkan bahwa 498 ribu unit Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) masih ada di NTB. Sebanyak 14,89% rumah tangga belum memiliki akses sanitasi layak, 3,97% masyarakat belum memiliki akses air minum layak, dan 20% dari 1.484 kilometer jalan provinsi berada dalam kondisi rusak berat. Bahkan, jalan nasional di Pulau Sumbawa mengalami kerusakan sekitar 14 persen. (NTBSatu edisi 11 juni 2025).
Lalu, di mana kemakmuran itu? Slogan tanpa realisasi hanya akan menjadi mantera kosong yang tak menyentuh realitas. Bila pemerintah ingin serius dengan narasi tersebut, maka ukuran-ukuran kemajuan harus dibuat terang, terukur, dan berorientasi pada rakyat. Tidak cukup dengan infografis di media sosial atau pidato seremonial. Rakyat membutuhkan perubahan nyata.
Sementara itu, di sektor pariwisata, perhatian yang berat sebelah pada kawasan barat dan selatan Lombok membuat wilayah-wilayah di bagian timur NTB seperti Bima, Dompu, dan Sumbawa terabaikan. Padahal, daerah-daerah ini menyimpan kekayaan budaya, sejarah, dan alam yang luar biasa. Tapi tanpa infrastruktur, akses transportasi, dan strategi promosi yang merata, potensi itu hanya akan menjadi catatan kaki dalam dokumen perencanaan.
Persoalan stunting juga masih menjadi pekerjaan rumah besar. Meskipun pemerintah melaporkan penurunan prevalensi stunting dari 14,6 persen pada Januari menjadi 12,15 persen pada Agustus 2024, dan bahkan data terbaru menyebutkan 12,53 persen, angka ini masih menempatkan NTB sebagai salah satu provinsi dengan prevalensi stunting tinggi di Indonesia (Suara NTB 28 Mei 2025). Data pemerintah menunjukkan ada sekitar 50.996 balita stunting saat ini. Belum lagi bila kita menengok kembali sejarah kelam busung lapar di NTB, di mana pada rentang 2008 hingga 2012 saja tercatat 166 anak meninggal karena busung lapar (https://seknasfitra.org/ 21 Oktober 2025). Semua ini harus menjadi refleksi serius, apa ukuran “makmur mendunia” itu, bila persoalan-persoalan dasar masih menjadi beban berat? Tulisan ini hadir sebagai bentuk cinta dan evaluasi saya untuk NTB tercinta.
NTB saat ini sedang berdiri di persimpangan. Ia bisa menjadi daerah yang benar-benar makmur dan mendunia jika berani melakukan koreksi arah dari pembangunan simbolik ke pembangunan substansial; dari pencitraan elite ke pelayanan rakyat. Harus ada audit menyeluruh terhadap program yang berjalan, evaluasi atas perencanaan yang tidak tepat sasaran, serta keberanian untuk mengakui kegagalan.
Kebijakan publik di NTB membutuhkan keberpihakan yang jelas kepada kaum kecil: petani, nelayan, buruh, anak muda pengangguran, perempuan kepala keluarga, dan masyarakat adat. Mereka adalah pondasi kemakmuran sejati. Tanpa mereka, slogan “Makmur Mendunia” hanyalah ilusi metropolitan yang mengaburkan realitas pedesaan.
Pemerintah provinsi juga harus membuka ruang partisipasi seluas-luasnya. Tidak bisa lagi publik dikesampingkan dari proses perencanaan. Musyawarah desa, forum rakyat, diskusi kampus, dan media lokal harus dilibatkan secara aktif. Publik bukan beban, tapi mitra strategis dalam pembangunan.
Kita perlu menata ulang arah pembangunan NTB. Ekonomi kerakyatan harus diperkuat: koperasi petani, sistem distribusi hasil bumi yang adil, harga komoditas yang dilindungi negara, dan industrialisasi berbasis lokal. Pariwisata harus berpijak pada pelibatan warga, bukan sekadar pada investor asing. Pemerintahan harus transparan, akuntabel, dan bersih dari nepotisme.
Sudah saatnya NTB menghentikan obsesi dengan menjadi “panggung dunia”, dan mulai menjadi tempat yang layak bagi warganya. Dunia tidak akan menghargai NTB karena billboard atau sirkuit balap, tapi karena cara daerah ini menghormati rakyatnya, memuliakan sumber dayanya, dan menjaga martabat manusianya.
Slogan yang indah seharusnya tidak menjauhkan rakyat dari kenyataan. Sebaliknya, ia harus menjadi pemantik perubahan, bukan pembungkus kegagalan. Mari kita evaluasi bersama, dengan kepala dingin dan hati terbuka: Apakah NTB benar-benar sedang menuju kemakmuran? Atau kita hanya sedang tersesat dalam narasi yang terlalu jauh dari tanah tempat kita berpijak?
Jika pemimpin NTB saat ini ingin membuktikan bahwa narasi “Makmur Mendunia” bukan sekadar alat kampanye, maka perubahan harus dimulai sekarang dari 100 hari pertama yang belum berbuah, menuju 5 tahun yang benar-benar memberi harapan. Jangan sampai slogan besar itu hanya tinggal kenangan pahit dalam catatan sejarah. (*)