Oleh: Dr. Rabwan Satriawan, M.Pd. – Dosen Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi STKIP Taman Siswa Bima
Skor besar bukan kejutan, ini hanya konsekuensi dari sistem yang salah kaprah. Kekalahan telak 6-0 Indonesia dari Jepang bukan sekadar hasil buruk. Ini adalah tamparan keras yang mengungkap rapuhnya fondasi sepak bola nasional dari hulu ke hilir.
Jepang tidak menang karena kebetulan. Mereka menang karena semua unsur pendukung berjalan sinergis: federasi yang profesional, sistem pembinaan usia dini yang merata, kompetisi internal yang ketat, dan yang paling penting adalah pendekatan sepak bola yang ilmiah dan modern. Sebaliknya, Indonesia masih bergantung pada narasi “fighting spirit” dan keberuntungan.
Apa yang salah dari kita?
1. Tidak ada kesinambungan filosofi bermain. Di Jepang, setiap level usia, dari akademi hingga timnas senior, memiliki satu pendekatan bermain yang konsisten. Indonesia?, setiap pelatih membawa “gaya sendiri”, tanpa blueprint jangka panjang.
2. Pembinaan usia muda lemah dan sporadis. Negara seperti Jepang, Korea, dan Vietnam bahkan sudah menerapkan long-term player development (LTPD) yang jelas dan sistematis. Kita?, turnamen usia muda tidak rutin, akademi tidak berstandar, dan scouting minim data.
3. Federasi belum menunjukkan kapabilitas teknis. PSSI lebih sering membuat headline karena drama organisasi ketimbang inovasi teknis. Hingga kini, belum ada roadmap pembinaan yang bisa dijadikan acuan nasional oleh akademi, sekolah sepak bola, maupun klub.
4. Kompetisi internal minim kualitas. Liga 1 lebih banyak memfokuskan perhatian pada sisi komersial dan drama, sementara aspek pengembangan pemain lokal, terutama U-23 masih jauh dari ideal. Pemain muda kerap jadi cadangan atau bahkan tidak masuk skuad karena slot diisi pemain asing.
5. Pelatih lokal tertinggal jauh. Negara-negara maju memperkuat pelatih lokalnya lewat lisensi, studi ke luar negeri, dan pembinaan ilmu olahraga terkini. Kita masih berdebat soal pelatih asing vs lokal, padahal keduanya tidak akan berfungsi tanpa ekosistem yang sehat.
Apa yang harus dilakukan?
Evaluasi total. Ini bukan soal mengganti pelatih, melainkan menyusun ulang road map sepak bola nasional. Dari PSSI hingga akar rumput. Libatkan para ahli teknis, bukan hanya politisi olahraga. Mulai dari audit pelatihan usia dini, reformasi kompetisi, peningkatan kapasitas pelatih, hingga membangun identitas bermain nasional.
Jepang membangun fondasi mereka sejak awal 1990-an setelah kegagalan lolos ke Piala Dunia 1994. Kini, mereka punya liga yang stabil, pemain di Eropa, dan timnas yang kompetitif secara global. Indonesia punya peluang untuk mengikuti jejak itu, asal punya kemauan politik dan keberanian untuk berbenah secara menyeluruh.
Kalau tidak, kekalahan dari Jepang bukan akan jadi yang terakhir. Tapi jadi pola yang terus berulang: dibantai, ribut di media, lalu lupa.
Sudah waktunya berhenti bersembunyi di balik semangat nasionalisme kosong. Yang dibutuhkan sepak bola Indonesia saat ini adalah sistem, bukan slogan, dan harus segera bertindak untuk persiapan Kualifikasi Piala Dunia putaran ke 4.
Menyambut Tantangan Putaran Keempat Kualifikasi Piala Dunia
Indonesia menapaki babak baru dalam sejarah sepak bolanya. Untuk pertama kalinya, Garuda berhasil menembus putaran keempat Kualifikasi Piala Dunia zona Asia. Ini adalah pencapaian yang membanggakan, tapi sekaligus tantangan yang harus dihadapi dengan strategi cermat dan langkah cepat. Dengan waktu hanya sekitar tiga bulan sebelum kompetisi kembali dimulai pada September 2025, Indonesia tak bisa bersantai. Persiapan jangka pendek menjadi penentu.
1. Prioritaskan Konsolidasi Tim Nasional
Langkah pertama adalah menjaga kestabilan skuad. Tidak ada ruang untuk eksperimen besar. Tim pelatih harus mulai menyusun 23–26 nama yang akan menjadi tulang punggung tim, berdasarkan performa aktual, bukan hanya nama besar. Konsistensi dalam pemilihan pemain akan membangun chemistry dan kepercayaan diri.
Patrick Kluivert sudah memiliki kerangka dasar tim, dan itu perlu dipertahankan. Penambahan pemain hanya dilakukan jika benar-benar dibutuhkan, terutama untuk menutupi kekurangan di posisi tertentu seperti striker murni atau bek tengah berpengalaman.
2. Pemusatan Latihan Intensif dan Fokus Fisik
Waktu terbatas harus dimanfaatkan secara maksimal lewat pemusatan latihan intensif. Idealnya, training camp dilakukan di luar negeri di negara dengan atmosfer dan lawan tanding yang lebih kompetitif atau bahkan di Eropa Timur. Ini bukan sekadar pelatihan, tetapi juga pembiasaan dengan intensitas dan tekanan tinggi.
Kondisi fisik menjadi krusial karena lawan di putaran keempat akan jauh lebih tangguh dan cepat. Tidak cukup hanya dengan semangat, pemain Indonesia harus bisa menandingi stamina dan kekuatan fisik lawan.
3. Perkuat Taktik Bola Mati dan Transisi Cepat
Di level ini, banyak pertandingan ditentukan lewat detail: tendangan bebas, sepak pojok, dan situasi transisi. Tim pelatih harus melatih pola tetap untuk skenario bola mati, baik menyerang maupun bertahan. Demikian pula transisi dari bertahan ke menyerang harus menjadi senjata utama, mengingat Indonesia lebih banyak akan bertahan melawan tim unggulan.
Putaran keempat adalah arena para raksasa Asia. Jika ingin menjadi bagian dari elite, Indonesia harus bergerak cepat dan tepat. Strategi jangka pendek tidak bisa bersifat reaktif; harus terencana, disiplin, dan fokus pada peningkatan kualitas tim, bukan hanya citra.
Bermimpi ke Piala Dunia bukan lagi mustahil. Tapi untuk sampai ke sana, langkah-langkah jangka pendek hari ini akan menjadi pondasi utama. Dan waktunya mulai sekarang.
Ayo Indonesia!. (*)