LIPSUS – Jejak Darah Pemburu Anak di Bawah Umur

Skandal “Walid Doraemon” dapat membuka tabir serangkaian dugaan kejahatan seksual terhadap anak. Salah satu korbannya yang duduk di kelas 6 SD hamil hingga melahirkan, mengantarkannya ke bui. Pemilik perusahaan bisnis peternakan ini, dalam kurun 2024, aktif memburu anak di bawah umur. Polisi diuji untuk mengungkap perannya sebagai predator seksual anak.
———————————
Anak perempuan bertubuh bongsor itu melangkah pelan ke sebuah kamar hotel bintang 4 di sekitar Cakranegara, Kota Mataram. Seorang pria bertubuh gempal, usia 52 tahun, tinggi sekitar 160 centimeter, sudah menunggu di dalam. Suhu pendingin ruangan menambah kaku perasaan si anak.
Di luar kamar, terik matahari sekitar pukul 12.00 Wita tak mampu menghangatkan suasana.
Pria gempal ini belakangan terungkap berinisial MAA.
“Kelas berapa ini?,” tanya MAA memecah keheningan.
“Masih SMP,” jawab perempuan yang menuntun anak perempuan tersebut masuk ke kamar.
“Ini adik misan saya,” lanjutnya memperjelas. MAA mengangguk.
Perempuan tersebut membalik punggungnya hendak beranjak keluar dari kamar. Namun ia langkahnya terhenti sejenak. Anak itu memanggilnya.
“Mau kemana kak?,” tanya si anak mulai khawatir.
“Mau beli minum sebentar,” jawabnya dan meminta anak tadi tetap di dalam kamar bersama pria tersebut.
Setelah itu tidak ada dialog. Perempuan yang kami samarkan dengan nama Juni, usia 22 tahun ini, menuju ke sebuah ritel modern. Di sana ia duduk menunggu sekitar satu jam lamanya. Ia memperkirakan, satu jam cukup untuk kembali ke kamar hotel tadi.
Juni kembali dan mengetuk pintu kamar. Tak menunggu lama, MAA membuka pintu, dalam posisi berpakaian lengkap.
“Sudah?,” tanya Juni ke MAA. Pertanyanyaan yang mereka sama sama paham maksudnya.
MAA menjawab dengan nada sedikit jengkel.
“Ndak jadi, adikmu nangis nangis terus,” jawabnya.
Tak langsung percaya dengan MAA, Juni mendekati adiknya dan bertanya.
“Kenapa nangis?”
“Sakit lasingan,” jawab adiknya sedikit meringis. Juni paham pemicu sakitnya. Pandangannya kemudian fokus ke atas seprai hotel warna putih. Ada bercak warna merah di beberapa titik.

Sebelum Hari Jahanam Itu…
Juni yang ditemui khusus NTBSatu di Panti Sosial Paramita Mataram, Sabtu, 21 Juni 2025, mengakui rangkaian peristiwa itu sebagai hari “jahanam”. Ia “menjual” adik sepupunya ke pria hidung belang.
Juni hanya bisa merunduk. Air matanya tak berhenti mengalir. Suaranya pelan, menggambarkan penuh luka. Keringatnya mulai bercucuran, ditambah ruangan tanpa pendingin karena tak berfungsi.
Ia bukan hanya perempuan yang kini jadi tersangka karena menjual adiknya sendiri, tapi juga korban dari sebuah rantai panjang kekerasan dan pengkhianatan sejak masa kecilnya.
“Saya tahu saya salah. Tapi sebelum saya jadi kakak yang buruk, saya cuma anak kecil yang nggak pernah dikasih pilihan,” ucapnya dengan suara bergetar.
Juni lahir dalam keluarga yang tercerai-berai. Ayah dan ibunya berpisah saat usianya baru tiga tahun. Sejak saat itu, hidupnya seperti bola liar yang terpelanting ke arah tak beraturan.
Sejak itu, ia hidup berpindah-pindah. Kadang ikut ibunya yang menikah lagi, kadang ikut sang ayah, dan terkadang diasuh oleh kakek-neneknya.
Namun di setiap tempat yang seharusnya menjadi pelindung, justru ia menemukan luka baru.
Di rumah ibu, ayah tirinya melakukan pelecehan. “Saya takut tiap malam. Tapi saya nggak berani cerita sama siapa-siapa,” ucapnya.
Ia pun kabur dan tinggal bersama kakek-nenek dari pihak ayah. Namun kekerasan kembali datang. Kali ini, pamannya sendiri memperkosanya.
“Saya bingung. Di mana-mana rasanya nggak ada yang benar-benar sayang atau lindungi saya,” kenangnya dengan mata kosong.
Ketika ibunya memutuskan merantau ke Malaysia demi mencari nafkah, Juni seperti kehilangan satu-satunya pelindung.
Dan di masa rawan itulah, salah satu kerabatnya tega menjual Juni ke pria dewasa. Ia masih kelas enam SD saat pertama kali dipaksa melakukan hal yang tak ia mengerti.
“Saya diajak makan. Lalu dikenalkan ke om-om. Saya pikir kami cuma makan. Tapi saya ditinggal sendirian sama dia, dan saya disuruh ikut ke hotel. Saya masih kecil, saya takut… saya ingat saya dipaksa.”
Itulah awal Juni mengenal sisi gelap dunia. Setelah kejadian itu, ia diberi uang dan sebuah ponsel Android. Sebuah barang mewah saat itu yang amat diimpikannya.
Awal Mula Kisah Kelam…
Memasuki masa remaja, Juni mulai terbiasa dengan dunia yang memperlakukannya bukan sebagai manusia, tapi sebagai objek. Ia mulai menjalani kehidupan ganda seorang siswi di sekolah, dan seorang remaja yang melayani pria-pria dewasa di luar jam belajar.
Ia mendapat uang banyak. Tiga ratus ribu, lima ratus ribu, bahkan jutaan dalam sehari. Ia mengaku pernah melayani dari pengusaha pejabat, polisi, pegawai BUMN hingga pemuka agama.
Uang itu ia pakai untuk membantu keluarga, membeli kebutuhan pribadi, dan mengisi kekosongan yang tak pernah bisa dihapus.
“Saya banyak bantu keluarga juga. Tetapi tidak ada yang tanya uang ini saya dapatkan dari mana,” ujar Juni.

Pertengahan April 2024, ponsel Juni berdering. Ada suara MAA di ujung Android-nya. Pesannya cukup jelas, “Carikan perempuan yang masih perawan,” kata Juni menirukan kalimat pria itu.
Juni punya hubungan lebih dari sekedar transaksi dengan MAA, pengusaha peternakan yang dikenal berpengaruh di Mataram.
Saat masih duduk di bangku SMP, Juni diperkenalkan oleh kakak misannya ke MAA. Namun sebelum perkenalan itu, ia adalah korban “dijual” kakak sepupunya itu ke seorang pria hidung belang. Keperawanannya terenggut saat itu, hanya diganti dengan ponsel Android seharga Rp8 juta.
MAA jadi petualangan seksual baru bagi Juni. “Kami sering berhubungan badan,” ungkapnya.
“Dia baik, perhatian. Pernah bilang mau nikahi saya, tapi saya waktu itu masih labil. Saya cuma ingin senang-senang,” ucapnya.
Namun semua yang indah itu semu. MAA punya sisi gelap, menyukai anak di bawah umur. Bahkan ia beberapa kali menjadi perantara menemukan mangsa baru untuk MAA. Ia lupa jumlahnya. “Tapi setiap saya dapat yang dia cari, saya dapat rata-rata Rp200 ribu,” ungkap Juni.