Merkuri dan Teror Baru dari Tambang Rakyat
Tambang rakyat bisa menghadirkan dua sisi. Kesejahteraan yang bisa dirasakan langsung para pekerjanya, sekaligus ancaman serius pencemaran lingkungan dari pengelola tambang tanpa izin lingkungan. Lipsus ini memotret bagaimana dampak kelahiran cacat di wilayah tercemar merkuri dan potensi bencana baru dari tambang rakyat.
———————-
Lemer bukan nama asing bagi penambang ilegal. Terletak di Desa Buwun Mas, Kecamatan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat. Apalagi baru-baru ini Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB menerbitkan izin Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) untuk sejumlah koperasi yang akan mengelola kegiatan tambang rakyat di kawasan ini.
Perubahan wajah alam menjadi catatan lain yang tak bisa diabaikan. Dari perjalanan sekitar 1,5 jam berkendara motor dari Kota Mataram menuju Sekotong, terlihat sejumlah titik hutan gundul dan bukit yang sudah ‘botak’. Hanya sebagian yang nampak hijau.
Bukit-bukit yang dulu tertutup pepohonan kini menyisakan “luka” menganga permukaan tanah akibat aktivitas eksploitasi ilegal. Tanah bebatuan dan berdebu menjadi “konsumsi” masyarakat ketika menuju lokasi pertambangan.
Aktivitas tambang ilegal jadi denyut nadi ekonomi sebagian warga Sekotong. Anak-anak dan istri terjun ke lokasi, mengikuti rutinitas pekerjaan tulang punggung keluarga.
Sejumlah bukit yang kini botak, dulunya menjadi blok yang digarap warga dari Pulau Jawa. Mereka datang mengeruk, kemudian meninggalkan jejak lahan kering.
“Dulu orang Jawa di sana (menambang). Tapi karena tidak ada hasilnya dan sempat ada masalah, mereka pergi,” kata salah satu penambang sembari menunjuk ke bukit yang kini bergelombang bekas galian.
Sekotong yang kini terbebas dari investor, penambangnya sedang menikmati panen sendiri dan hasilnya dirasakan sendiri. Mereka sedang masuk dalam rancangan skema tambang rakyat yang dikelola oleh koperasi.
Dokumen diperoleh NTBSatu, koperasi yang menerima izin pada blok ini, Koperasi Beriuk Maju Bersama, Gema Sarlina Buana, Maju Sejahtera, Mulya Jaya Mandiri, Maju Damai Sejahtera, dan Mega Surya Kusuma.
Blok lainnya dinamakan Simba. Nama Dusun di Desa Pelangan. Izin serupa diberikan kepada Koperasi Pelangi Maju Bersama, Taro Karya Sejahtera, Kayu Putih Bangkit, dan Tong Keramat Sejahtera.
Namun disadari atau tidak, ancaman kesehatan dan daya rusak lingkungan itu mulai nampak. Setidaknya, sejumlah hasil riset peneliti dan akademisi patut jadi pertimbangan pemerintah daerah mengambil sikap sebelum tragedi Merkuri Minamata menimpa masyarakat yang berpendidikan kurang.
Sekotong Terapapar Merkuri

Pada 2010, tim peneliti dari Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM) bekerja sama dengan Fakultas MIPA Universitas Mataram (Unram) mempublikasikan hasil studi kandungan merkuri di Sekotong.
Secara umum hasilnya didapatkan, kandungan merkuri dari pertambangan di beberapa titik di Sekotong, Lombok Barat, melebihi standar yang ditetapkan.
Misalnya, kadar merkuri dalam air sungai mencapai Nilai Ambang Batas (NAB) yang disyaratkan WHO, yaitu 0,001 ppm. Pada Sungai Tembowong Gawah-Pudak, Selodong dan Pelangan masih 1xNAB, Sungai Pelangan-Selindungan 3xNAB, dan Sungai Blongas 6xNAB.
Guru Besar Fakultas MIPA Unram, Prof. Dedy Suhendra mengatakan, pencemaran lingkungan akibat limbah bahan kimia bekas aktivitas pertambangan emas secara tradisional masih menjadi persoalan serius. Limbah tersebut diduga mencemari sungai dan sumber air yang digunakan masyarakat sehari-hari. Imbasnya, mempengaruhi kondisi kesehatan.
Aktivitas pemurnian emas secara tradisional, biasanya masih banyak menggunakan merkuri. Sisa bahan kimia berbahaya itu kerap dibuang langsung ke sungai tanpa pengolahan terlebih dahulu, sehingga berpotensi merusak kualitas lingkungan dan mengancam kesehatan warga.
“Kalau aktivitas pertambangan tradisional, jarang menggunakan teknologi memadai untuk mengolah limbah bahan kimia. Biasanya langsung dibuang ke sungai dan ini sangat berbahaya,” kata Prof. Dedy kepada NTBSatu, Selasa, 23 Desember 2025.
Dinas Kesehatan (Dikes) Kabupaten Lombok Barat mencatat, angka kematian bayi yang cukup signifikan di Kecamatan Sekotong dalam kurun waktu tiga tahun terakhir.
Berdasarkan data yang dihimpun dari dua fasilitas layanan kesehatan setempat, yakni Puskesmas Pelangan dan Puskesmas Sekotong, tercatat 42 kasus kematian bayi terjadi sejak tahun 2022 hingga 2024.
Jumlah tersebut merupakan bagian dari total sekitar 277 kasus kematian bayi di seluruh Kecamatan Sekotong pada periode yang sama. Secara persentase, kasus kematian bayi di wilayah kerja dua Puskesmas di Kecamatan Sekotong mencapai sekitar 6,59 persen, angka yang dinilai cukup tinggi untuk satu kecamatan.
Kepala Puskesmas Pelangan, dr. I Nyoman Teguh Apriana mengakui dalam beberapa kasus, pihak Puskesmas menemukan bayi yang lahir dengan kelainan bawaan. Di antaranya seperti cacat fisik, termasuk kekurangan anggota tubuh dan gangguan pada organ tertentu.
“Memang ada temuan bayi dengan kelainan bawaan. Tapi kami tidak bisa serta-merta menyimpulkan penyebabnya,” ujar Teguh Apriana ketika diwawancarai NTBSatu pada Senin, 29 Desember 2025.
Merkuri Sebagai Penyebab?
Terkait dugaan paparan merkuri dari aktivitas tambang emas, Teguh Apriana menegaskan itu masih dugaan. Hingga saat ini, belum ada hasil laboratorium yang secara ilmiah dapat memastikan merkuri sebagai penyebab langsung kematian atau kecacatan bayi di wilayah tersebut.
“Kami tidak boleh mendahului kesimpulan. Secara saintifik, buktinya belum valid untuk mengatakan bahwa kematian atau kecacatan bayi ini disebabkan oleh merkuri,” tegasnya.
Namun studi lain menyebutkan, merkuri dan logam berat hasil tambang Sekotong dapat terakumulasi hingga kedalaman 75 sentimeter di bawah tanah. Kemudian terbawa ke sungai, mengendap di sedimen, dan masuk ke jaringan tubuh ikan.
Dalam jangka panjang, paparan ini mengancam kesehatan masyarakat yang bergantung pada air dan sumber pangan lokal.
Penelitian tahun 2015 mengenai pencemaran merkuri di wilayah Sekotong, Kabupaten Lombok Barat, menunjukkan adanya hubungan yang sangat kuat antara aktivitas Pertambangan Emas Skala Kecil (PESK) dengan kondisi kesehatan masyarakat setempat.
Penelitian yang dilakukan oleh Yayasan BaliFokus bekerja sama dengan Medicuss Foundation, serta didukung oleh jaringan internasional seperti International POPs Elimination Network (IPEN), mengidentifikasi Sekotong sebagai salah satu hotspot pencemaran merkuri di Indonesia.
Aktivitas pengolahan emas yang menggunakan merkuri, khususnya proses pembakaran amalgam, banyak dilakukan di sekitar dan di dalam kawasan permukiman, sehingga uap merkuri dilepaskan langsung ke udara yang dihirup oleh masyarakat setiap hari.
Hasil pengukuran lapangan menggunakan alat Lumex RA-915+ menunjukkan, konsentrasi merkuri di udara ambien di Sekotong berada pada tingkat yang sangat tinggi.
Konsentrasi tertinggi tercatat mencapai sekitar 54.931,84 ng/m³ di area toko emas, sementara konsentrasi terendah di wilayah permukiman tercatat sekitar 121,77 ng/m³.
Di sekitar rumah warga yang berdekatan dengan unit pengolahan emas aktif, kadar merkuri di udara mencapai sekitar 20.891,93 ng/m³.
Nilai-nilai ini jauh melampaui ambang batas aman kualitas udara menurut pedoman kesehatan internasional, yang menunjukkan bahwa masyarakat Sekotong mengalami paparan merkuri secara kronis dan terus-menerus.
Paparan merkuri yang tinggi tersebut berkorelasi dengan berbagai masalah kesehatan yang ditemukan pada masyarakat Sekotong, terutama pada kelompok rentan seperti bayi dan anak-anak.
Penelitian BaliFokus dan Medicuss mencatat adanya kasus gangguan saraf, kejang, keterlambatan perkembangan, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, serta cacat bawaan pada anak-anak di wilayah Sekotong.
Kondisi ini sejalan dengan karakteristik merkuri sebagai zat neurotoksik yang sangat berbahaya bagi sistem saraf, khususnya pada individu dengan sistem organ yang masih berkembang.
Selain itu, paparan pada ibu hamil berpotensi memengaruhi perkembangan janin dan meningkatkan risiko gangguan neurologis pada anak.
Dengan demikian, penelitian ini menegaskan, permasalahan PESK di Sekotong tidak hanya merupakan isu lingkungan atau ekonomi, tetapi telah berkembang menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius.
Merkuri Mengintai Lang Iler
Danau Lebo jadi sumber mata pencaharian nelayan dan kebutuhan irigasi di Kecamatan Taliwang, Kabupaten Sumbawa Barat (KSB). Sayangnya, hamparan danau ini dikelilingi aktivitas tambang ilegal di sejumlah desa. .
Desa Lamunga, Kelurahan Sampir dan Desa Selonong, tiga wilayah di dalam Kecamatan Taliwang yang jadi konsentrasi tambang ilegal. Belum termasuk desa lain di kawasan perbukitan. Muara air dari desa desa ini terakumulasi di Danau Lebo.
Danau ini berdasarkan hasil penelitian, sudah tercemar limbah merkuri melebihi ambang batas.
Ini adalah dampak dari 2.353 mesin gelondong penambang emas tradisional di tiga desa yang mengitari Danau Lebo. Danau ini selain sebagai sumber irigasi, juga berstatus Taman Wisata Alam (TWA), diapit Kecamatan Taliwang dan Kecamatan Seteluk.
Penelitian Universitas Gajah Mada (UGM) Tahun 2016 berdasarkan sampel air, kandungan logam berat Merkuri Danau Lebo tertinggi, 14,44 ug/Kg. Berdampak pada ikan ikan di dalam danau tak layak konsumsi.
Balai POM juga melakukan penelitian yang sama tahun 2022 lalu. Merkuri sudah mencemari kawasan persawahan, dibuktikan dengan penelitian Keong Sawah mencapai 0,96 – 1,91 ppm.
Berdasarkan Keputusan Balai POM nomor 09 tahun 2022, ambang batas kandungan merkuri pada air dan tanah hanya 0,3 ppm.
Penelitian terbaru Universitas Mataram, Oktober 2024, dilakukan uji kadar merkuri (Hg) pada daging
ikan nila di Laboratorium Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi NTB. Hasilnya menunjukkan bahwa sampel ikan nila dari Danau Rawa Taliwang mengandung merkuri (Hg).
Konsentrasi kadmium pada ikan nila ditemukan rata-rata 0,11 mg/kg di stasiun 1 dan 0,09 mg/kg
di stasiun 2. Sejak tahun 2011, di sekitar danau.
Melawan Tambang dari Desa

Foto: Haris Al Kindi
Keresahan aktivitas tambang ilegal ini diungkapkan Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Seloto, Hendra Gunawan. Kepada NTBSatu ia bercerita, pernah angkat megaphone yang berujung penutupan tambang rakyat di desa setempat.
Sejak Peti ditutup, isu tambang sudah bertahun tahun terkubur itu, bangkit kembali setelah kabar munculnya koperasi sebagai operator utama. Dua koperasi yang mendapat jatah di Desa Seloto, Koperasi Gunung Emas Sukses dan Koperasi Bumi Taruna Membangun.
Ia adalah aktivis desa yang pernah memimpin gerakan perlawanan tambang liar di Blok Jorok Liang, desa setempat tahun 2021 lalu.
Tambang yang menggunakan alat berat itu, sudah membuka kolam pengolahan material, melibatkan Tenaga Kerja Asing (TKA) asal China.
Konsistensi gerakannya, berhasil membubarkan paksa tambang rakyat skala besar itu, bermodalkan keputusan Dinas LHK NTB yang menghentikan aktivitas Peti itu tanggal 15 Juli 2021.
Gerakan dan demonstrasi itu dilabeli “Penyelamatan Danau Lebo”, yang terletak di bagian hilir dan sudah tercemar dampak tambang emas tradisional. Dikhawatirkan semakin akut, jika tambang di atas bukit setinggi sekitar 300 Meter di atas Permukaan Laut (Mdpl) itu akan beroperasi.
Belum Penuhi Syarat Lingkungan
Sekotong dan Taliwang masuk dalam radar tambang rakyat setelah Kementerian ESDM menerbitkan 16 blok Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). Dua kecamatan yang punya karakteristik berbeda, namun sama sama punya tekstur tanah dengan sumber emas potensial.
Adapun 16 blok WPR ini tersebar 5 blok di Sekotong, Lombok Barat sebanyak 5 blok. Kemudian, 3 blok di Sumbawa Barat, dan 5 blok lainnya di Bima dan Dompu.
Berkaca dari syarat umum dan khusus, Izin Pertambangan Rakyat tergolong panjang karena rentetan dokumen yang wajib dipenuhi. Ini berdasarkan Lampiran II Kepmen ESDM 174/2024.
Setelah dokumen Pengelolaan WPR disetujui, selanjutnya mendapat persetujuan lingkungan dari Dinas LHK NTB. Persetujuan ini akan menentukan kepatuhan tambang rakyat dalam pengelolaan limbah dan penggunaan zat tertentu pada proses ekstraksi.
Tak cukup sampai di sana, harus didukung rekomendasi tambahan dari instansi berwenang jika lokasi berada di sungai, laut, atau kawasan hutan.
Sementara syarat khusus, khusus berdasarkan jenis pemohon koperasi, Nomor Induk Berusaha (NIB) dari DPMPTSP, kemudian syarat pengurus. Wajib terpenuhi, surat pernyataan mematuhi Undang Undangan lingkungan dan keselamatan tambang.
Begitu juga pemohon perorangan, surat pernyataan mematuhi peraturan lingkungan dan keselamatan, dokumen lingkungan.
Berdasarkan Lampiran V Kepmen ESDM 174/2024, pemegang IPR wajib tidak menggunakan bahan peledak atau zat berbahaya, tidak menggunakan metode tambang bawah tanah.
“Menerapkan kaidah teknik pertambangan yang baik, khususnya aspek lingkungan dan keselamatan,” demikian bunyi regulasi tersebut.
Sementara berdasarkan data Dinas LHK NTB, hanya lima dari 16 koperasi yang mengajukan persetujuan lingkungan melalui aplikasi Amdalnet.
Koperasi Selonong Bukit Lestari, Desa Ai Mual, Kecamatan Lantung, Kabupaten Sumbawa; Koperasi Rengge Diwu Kengka Desa Pesa, Kecamatan Wawo, Kabupaten Bima. Koperasi Lantung Mandiri Bersatu Dusun Uma Dea, Kecamatan Lantung, Kabupaten Sumbawa. Koperasi Bhara Satonda Prima Desa Lepadi, Kecamatan Pajo, Kabupaten Dompu; dan Koperasi Usaha Puncak Bersatu Desa Pesa, Kecamatan Wawo, Kabupaten Bima.
Walhi NTB: ini Bom Waktu
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) NTB juga punya temuan yang hampir sama. Kelemahan mendasar dari rencana IPR adalah kesiapan SDM yang belum memadai.
Koperasi tambang rakyat belum memiliki kemampuan teknis, pengetahuan lingkungan, maupun manajemen pasca tambang yang memadai.
“Kalau SDM tidak siap, izin ini hanya akan jadi bencana baru. Jangan sampai IPR cuma kedok investasi besar yang menyamar jadi ‘tambang rakyat’,” kata Amri.
Walhi juga mengungkap pola penyalahgunaan izin tambang yang kerap terjadi. Di dokumen resmi, luas lahan yang diizinkan tampak wajar, tapi hasil pantauan lapangan sering menemukan aktivitas penambangan melebihi batas izin.
“Begitu izin keluar, pengawasan lemah, dan tambang melebar ke mana-mana. Ini bukan asumsi, ini temuan lapangan,” ungkap Amri.
NTB sendiri telah mengantongi 355 izin tambang yang membentang di 219 ribu hektare. Pertumbuhan ekonomi NTB kuartal 1 2025, 1,4 persen dan anjlok pada kuartal 2 menjadi 0,8 persen.
Meski menjadi penyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) tertinggi, NTB tetap berada di jajaran provinsi miskin.
“Kalau PAD tinggi tapi rakyat miskin, itu bukti tata kelola kita kurang baik. Yang kenyang bukan rakyat, tapi segelintir pemilik modal,” sindir Amri.
Sementara terkait rencana IPR di NTB mencakup 60 titik tambang terbuka atau open pit, dinilai bukan angka kecil.
Keran Izin Tambang NTB
Keran izin tambang rakyat di NTB bermula Tahun 2021. Pemerintah Pusat mengidentifikasi ada 2.741 titik Pertambangan Tanpa Izin (Peti) se-Indonesia. Pemerintah ingin mengubah lanskap kawasan ilegal menjadi legal.
Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia lantas mengeluarkan Kepmen ESDM Nomor 89 Tahun 2024 tentang Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). Disusul tahun sama, Kepmen Nomor 174 tentang penetapan pedoman penyelenggaraan Izin Pertambangan Rakyat (IPR).
Hasilnya, keluar 60 blok Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) di NTB. Hal ini sudah ditetapkan melalui keputusan Menteri ESDM Nomor 174 mengatur tentang Pedoman Penyelenggaraan IPR.
Gubernur NTB, Lalu Muhamad Iqbal akhirnya mengeluarkan izin prinsip terhadap 12 koperasi yang akan mengelola tambang rakyat. Namun izin ini bukan berarti langsung beroperasi, melainkan membutuhkan kelengkapan dokumen.
Izin prinsip itu tertuang dalam surat dengan nomor: 800/673/DESDM/2025. Langsung dengan tanda tangan Gubernur Iqbal. Tembusannya kepada Menteri ESDM, Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Koperasi, dan Menteri Investasi dan Hilirisasi.
Dalam surat tersebut menyebutkan, pada prinsipnya, Gubernur Iqbal menyetujui permohonan IPR untuk 12 koperasi. Hal ini sebagai bentuk tindaklanjut surat permohonan dari pihak koperasi.
Terkait persetujuan izin tersebut, ada beberapa hal yang harus koperasi perhatikan dalam mengelola pertambangan. Koperasi harus melaksanakan kegiatan itu dalam wilayah yang sudah menjadi WPR. Kemudian, meminta koperasi menindaklanjuti secara berjenjang dokumen perizinan.
Akhirnya, dari 12 pengajuan koperasi itu, hanya koperasi Selonong Bukit Lestari yang sudah terbit izin operasionalnya. Sebelumnya, mendapat persetujuan prinsip yang dikeluarkan pada saat hari koperasi di Polda NTB, Sabtu, 12 Juli 2025 lalu.
“IPR-nya sudah keluar, baru satu koperasi,” kata Sekdis ESDM NTB, Niken Arumdati, Rabu, 24 September 2025.
Pemprov NTB memang terkesan hati-hati dalam memproses penerbitan IPR. Tidak bisa terburu-buru karena perlu memperhatikan persyaratannya secara komprehensif. Apalagi ini merupakan barang baru di NTB.
“Memang ini barang baru. Perlu sosialisasi, perlu pemberian informasi yang lebih detail, karena NTB sebagai salah satu lokasi pilot project (proyek percontohan, red) untuk IPR di Indonesia,” ujar Kepala Dinas ESDM NTB, Samsudin.
Ia mengaku, Pemprov NTB menginginkan percepatan penerbitan IPR ini. Namun, kenyataannya di lapangan banyak kendala. Pun, jika menginginkan percepatan, semua persyaratan harus terpenuhi.
“Semua menginginkan percepatan, cuman masih ada kendala di Kehutanan, DPMPTSP, terus di ESDM sendiri juga. Karena pengajuan dokumen ini berbasis aplikasi, dan itu juga tidak mudah,” jelasnya.
Pemprov NTB belum bisa memastikan kapan IPR yang lain akan terbit izinnya. Namun, tetap diupayakan.
“Karena kalau kita paksakan nanti ada yang tertinggal syaratnya, itu yang kita optimalkan jangan sampai ada yang tertinggal, karena berisiko,” ungkapnya.
Sementara persyaratan lain yang harus dipenuhi Pemprov NTB, seperti Peraturan Daerah (Perda) tentang Reklamasi Pasca-Tambang dan Perda tentang Retribusi, juga masih berproses. Drafnya sudah masuk ke DPRD NTB untuk dibahas.
“Kalau Perda yang kami susun di 2025 ini, pertama mungkin revisi Perda tentang pajak dan retribusi daerah. Kami sudah berproses dengan teman-teman Bappenda,” pungkasnya.
Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi NTB, belum menerbitkan izin lingkungan terhadap 16 koperasi untuk mengelola blok Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) di NTB.
Izin lingkungan tidak bisa ditawar atau bukan syarat opsional untuk operasional tambang rakyat. Tapi jadi kewajiban utama bagi koperasi atau perorangan pengelola tambang yang tak bisa diwakilkan oleh hasil konsultan perusahaan lain. Istilah masyarakat NTB yang dikenal religi, syarat ini menjadi fardu ain.
Adapun 16 blok WPR ini tersebar 5 blok di Sekotong, Lombok Barat sebanyak 5 blok. Kemudian, 3 blok di Sumbawa Barat, dan 5 blok lainnya di Bima dan Dompu.
Pelaksana Harian (Plh) Dinas LHK NTB, Ahmadi mengatakan, meski belum mengeluarkan izin lingkungan, namun 16 koperasi ini sudah mengajukan izin Upaya Pengelolaan Lingkungan (UPL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL) ke Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).
“UPL dan UKL ini menjadi patokan kita setelah koperasi ini beroperasi,” kata Ahmadi.
Dalam dokumen UKP dan UPL yang diajukan oleh 16 koperasi harus melibatkan multi sektor dalam upaya pengawasan. Seperti Dinas ESDM, Aparat Penegak Hukum (APH), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Termasuk juga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Hal itu dilakukan untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan di area tambang.
Ahmadi mengaku sejauh ini Pemprov NTB belum melakukan kajian lingkungan terkait pengelolaan 16 blok WPR. Sebab, sebelum dibahas dokumen kajian harus dikeluarkan Kementerian kepada koperasi
Demikian kapan koperasi ini akan beroperasi, Ahmadi juga belum bisa memastikan. Sebab, pengelolaan baru bisa dilaksanakan jika semua dokumen telah dilengkapi oleh pengelola. Termasuk izin lingkungan.
Bolanya kini ada di koperasi. Kesungguhan mereka mengelola lingkungan dengan baik, ditentukan oleh kesiapan dokumen-dokumennya. (*)



