Kala Ikan Semakin Jauh, Perempuan Pesisir Lombok Tetap Teguh Hadapi Krisis Iklim
Namun sayang, dikala sudah mulai bisa memperbaiki perekonomiannya, ujian pun datang.
Sejak beberapa tahun silam, Dusun Kuranji selalu terendam air. Banjir rob ini membawa berbagai penyakit tatkala air laut surut, seperti demam berdarah dan malaria.
Dusun yang hanya memiliki luas pemukiman empat kali lapangan sepak bola tersebut harus menghadapi rusaknya ekosistem laut yang berdampak terhadap merosotnya hasil tangkapan nelayan. Akibatnya tak sedikit nelayan di dusun tersebut yang beralih profesi menjadi buruh migran.
Mengenai kondisi tersebut, Akademisi sekaligus Pengajar di Program Magister Ilmu Lingkungan, Universitas Muhammadiyah Mataram, Sukuryadi mengatakan, anomali cuaca yang terjadi membuat nelayan sulit memprediksi arah angin dan lokasi tangkap.
Peningkatan suhu air laut merusak ekosistem laut dalam bentuk coral bleaching yang menjadi habitat dan sumber makanan ikan. Sehingga ikan semakin menjauh ke tengah, mencari lokasi yang sesuai habitatnya.
Berita Terkini:
- Rute Baru Penerbangan Lombok – Malang Resmi Beroperasi
- DPRD Kota Mataram Pastikan tak Ada Program “Siluman” di APBD 2026
- Mataram Darurat Sampah, DLH Akui Kewalahan Hadapi Tumpukan 150 Ton Tiap Hari
- Sampaikan Keberatan ke Dewan, Hasil Seleksi Komisi Informasi NTB Diminta Dibatalkan
“Perubahan iklim ini, menyebabkan air semakin dekat, namun ikan semakin menjauh,” ungkap Sukur.
Alasan itu, banyak pemuda dan orang di Desa Paremas, yang semulanya berprofesi sebagai nelayan, kini memilih menjadi buruh migran.
Menurut Sukur, fenomena banyaknya nelayan beralih menjadi buruh migran tersebut tidak hanya terjadi di Dusun Kuranji. Hampir semua daerah pesisir mengalami hal serupa.
Dari pengalamannya selama mendampingi beberapa masyarakat pesisir, menjadi buruh migran merupakan pilihan terakhir para nelayan di tengah ketidakpastian dan kesulitan yang mereka alami.
“Ini hanya satu masalah dari banyak masalah yang dihadapi masyarakat pesisir selain gizi buruk, stunting, pernikahan dini dan lain-lain. Semua itu, menurut data yang saya miliki banyak terjadi di masyarakat pesisir,” ungkap Sukur.
Dikatakannya, pilihan menjadi buruh migran bukan hanya karena hasil tangkapan merosot. Tapi utang, kebutuhan yang semakin meningkat dan tidak adanya skill lain selain melaut, mendorong nelayan untuk memilih sebagai buruh migran.
Masalah tersebut, lanjutnya, tidak bisa didiamkan begitu saja. Pemerintah perlu turun tangan untuk mengatasi hal tersebut. Perubahan iklim ini menurut Sukur tidak bisa dihentikan, tetapi bisa dimitigasi dampaknya.
“Semisal merosotnya hasil tangkap para nelayan, solusinya bukan berusaha menambah hasil tangkap, itu hal mustahil. Tetapi dengan melakukan diversifikasi produk hasil laut, supaya ada nilai tambah terhadap hasil laut itu sendiri,” terangnya.
Apa yang dilakukan Harniati dan kawan-kawannya, kata Sukur, sudah tepat. Ia berharap pemerintah memberikan perhatian penuh dan bantuan terhadap inovasi-inovasi serupa.
Ia juga menambahkan perlunya intervensi pemerintah untuk memberikan jaminan dan kepastian pasar terhadap produk-produk inovatif semacam itu.
“Percuma juga ada produk olahan hasil laut, kalau pemerintah tidak intervensi pasar melalui regulasi yang berpihak kepada nelayan. Semua harus terintegrasi,” bebernya.
Sementara itu, Kepala Desa Paremas, Sahman menceritakan, sejak sepuluh tahun yang lalu, laki-laki di Dusun Kuranji, Desa Paremas berangsur-angsur meninggalkan kampungnya untuk mengadu nasib menjadi buruh migran di negeri jiran.
Mereka pergi, kata Sahman, lantaran penghasilan menjadi nelayan tidak mampu lagi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Ditambah dengan cuaca kondisi laut yang seperti itu.
“Mulai banyak yang ke Malaysia, ketika tahun pertama saya menjabat sebagai kepala desa,” ungkap Sahman.
Salah seorang warga, Sudirman juga menceritakan hal yang sama.
Dikatakannya, untuk mendapatkan ikan mereka harus berlayar jauh ke tengah laut. Tidak seperti dahulu, yang hanya berjarak 300 hingga 700 meter dari bibir pantai.
“Beberapa tahun belakangan memang sangat terasa, terkadang hasil yang kami dapatkan tidak sesuai dengan modal yang kami keluarkan,” kata Sudirman.
Pun, ketika masyarakat ingin beralih pekerjaan menjadi petani, bukan pilihan yang tepat di Desa Paremas. Hal itu karena terbatasnya lahan dan tak ada irigasi.
“Jangankan untuk mengairi sawah, untuk kebutuhan sehari-hari saja sudah kesulitan. Walhasil, menjadi buruh migran merupakan pilihan paling realistis yang mereka ambil,” tambah Sudirman. (MYM)



