Kala Ikan Semakin Jauh, Perempuan Pesisir Lombok Tetap Teguh Hadapi Krisis Iklim
Bermodalkan uang hasil penjualan kapal dan mesin yang ia miliki saat itu, Sya’ban berangkat meninggalkan istri dan anaknya.
Ditinggal sang suami dengan bekal uang tunai yang hanya cukup untuk satu bulan, membuat Harniati berpikir keras bagaimana akan bertahan hidup.
Berbagai cara ia lakukan, mulai dari menjadi buruh harian sampai dengan jualan keliling.
Empat bulan pergi, suaminya berkabar kalau pohon sawit tempat ia akan bekerja belum siap panen. Ia pun harus menunggu beberapa bulan lagi.
Kondisi ini bikin Harniati semakin sulit. Anaknya butuh biaya sekolah. Belum lagi kebutuhan sehari-hari untuk makan dan minum.
Berita Terkini:
- Rute Baru Penerbangan Lombok – Malang Resmi Beroperasi
- DPRD Kota Mataram Pastikan tak Ada Program “Siluman” di APBD 2026
- Mataram Darurat Sampah, DLH Akui Kewalahan Hadapi Tumpukan 150 Ton Tiap Hari
- Sampaikan Keberatan ke Dewan, Hasil Seleksi Komisi Informasi NTB Diminta Dibatalkan
Akhirnya ia memilih jalan pintas, dengan mengambil utang di rentenir berkedok “koperasi.”
Di beberapa tempat di Pulau Lombok, menjamur pendirian koperasi simpan pinjam. Namun tak seperti namanya, koperasi itu dimodali satu orang saja dan tidak punya anggota.
Uang yang ia pinjam sebesar Rp4 juta, dalam sembilan bulan bertambah hampir setengah dari nominal pinjaman.
Untuk membayar utang dan bunganya, Harniati berutang lagi dari satu keluarga ke keluarga lainnya. Kondisi tersebut tak hanya dialami Harniati. Tapi hampir seluruh ibu-ibu yang ada di Dusun Kuranji mengalami hal yang sama.
“Di sini hampir semua ibu-ibu pasti berutang di mereka (koperasi),” ungkapnya.
Tak ingin terus-terusan berada dalam cengkraman kemiskinan. Tepat pada tahun 2017 silam, Harniati mencoba menghadiri pelatihan pemanfaatan sumber daya pesisir, yang diselenggarakan oleh mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) Universitas Mataram (Unram).
Seusai acara, seorang dosen yang hadir dalam kegiatan itu, berkunjung ke rumah Harniati. Tidak sengaja ia melihat cangkang kepiting bakau terbuang dan menyarankan Harniati untuk mengolahnya menjadi olahan yang bernilai ekonomi.
“Seharusnya ini bisa diolah jadi kerupuk Ibu,” ujar Harniati menirukan sang dosen tersebut.
Diakuinya, pertemuannya dengan dosen tersebut menjadi awal mula dirinya memulai usaha pengolahan cangkang kepiting.
Berawal dari modal seadanya, ia memulai usaha pembuatan kerupuk cangkang kepiting dengan satu varian rasa.
Ia pun mulai memasarkan kerupuknya tersebut dari satu kios ke kios lainnya, juga ke pasar-pasar yang ada di Kecamatan Jerowaru.
Dengan bantuan anaknya, ia juga merambah pasar online melalui Facebook. Ia pun mulai membuat berbagai macam varian rasa.
“Alhamdulillah setahun berjalan, permintaan semakin banyak,” katanya.
Belajar dari kondisi yang ia alami, Harniati tergerak untuk membantu ibu-ibu yang memiliki masalah yang sama dengannya, seperti suaminya merantau, anak putus sekolah, menikah dini dan bercerai.
Satu per satu tetangganya ia ajak dan libatkan dalam kelompok yang mereka namai Mele Maju.
Hingga kini, setidaknya sudah 30 orang perempuan Dusun Kuranji tergabung dalam komunitas tersebut.
“Saya prihatin melihat kondisi kami di sini, semua akar masalahnya sebenarnya sama. Ekonomi,” ucapnya.
Di “Mele Maju”, lanjut Harniati, para ibu-ibu tersebut bisa berbagi masalah masing-masing. Saling membantu satu sama lain dan mencari solusi bersama.
“Hampir setiap hari kami bertemu, karena harus membuat kerupuk. Sambil membuat kerupuk itu, biasanya kami bercerita kondisi masing-masing. Sambil saling memberikan masukan,” terangnya.



