OpiniWARGA

Desa Berdaya, Alat Uji Konsistensi Iqbal-Dinda Menghapus Kemiskinan Ekstrem di NTB

Oleh: Iwan Harsono – Associate Professor Ekonomi, Alumni University of New England

Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menempatkan program Desa Berdaya sebagai motor penghapusan kemiskinan ekstrem pada 2025–2026. Ambisi ini patut diapresiasi, bukan karena besar targetnya, tetapi karena relevansi pendekatannya: pemberdayaan dari tingkat keluarga dan desa sebagai pusat keputusan ekonomi.

Kebijakan ini menegaskan bahwa pengentasan kemiskinan tidak lagi bergantung pada pusat, tetapi bertumpu pada kekuatan lokal NTB sendiri.

Pertanyaan penting muncul bukan untuk meragukan program ini, melainkan untuk memperkuat arah pelaksanaannya: mampukah desa menjalankan pendampingan keluarga miskin secara konsisten agar pengentasan tidak berhenti pada slogan? Penghapusan kemiskinan ekstrem tidak bergantung pada banyaknya program yang diumumkan, tetapi pada kemampuan desa memutus lingkar kemiskinan di lingkup keluarga.

Di sanalah Desa Berdaya akan dinilai—bukan melalui publikasi, melainkan melalui praktik ekonomi yang benar-benar menguatkan pendapatan rumah tangga miskin. Bila dijalankan konsisten sebagaimana arah kebijakan pemerintah saat ini, pendekatan ini memiliki peluang besar untuk berhasil—justru karena bekerja diam-diam tetapi mengubah keseharian keluarga miskin.

Desa dan Ketahanan Ekonomi Keluarga

Menurut BPS, angka kemiskinan NTB pada Maret 2025 berada di 11,78 persen atau 654.570 jiwa. Desa mencatat penurunan kemiskinan, sementara kota justru meningkat. Ini menunjukkan bahwa desa masih menjadi ruang bertahan melalui produksi pangan dan usaha keluarga.

Sekitar tiga perempat pengeluaran keluarga miskin habis untuk makanan, sehingga persoalan utama kemiskinan di NTB bukan sekadar rendahnya pendapatan, tetapi gagalnya mempertahankan konsumsi dasar secara berkelanjutan.

Karena itu, peningkatan pendapatan nominal belum cukup; stabilitas pangan dan tata niaga lokal harus diprioritaskan. Program Desa Berdaya akan efektif bila memastikan desa memperoleh kendali atas proses produksi, pemasaran, dan nilai tambah yang kembali kepada warga.

Pendampingan Rumah Tangga, Bukan Program yang Seragam

Kemiskinan ekstrem NTB masih menyentuh sekitar 120 ribu jiwa. Mereka mengalami deprivasi ganda: sanitasi, hunian tidak layak, kesehatan, pendidikan anak, dan gizi. Untuk kelompok ini, pendekatan satu model untuk semua desa tidak memadai. Intervensi hanya efektif bila menjawab kebutuhan setiap keluarga, bukan berdasarkan daftar kegiatan yang seragam.

Pada tahap awal, Desa Berdaya diterapkan di 40 desa, dengan alokasi Rp 300–500 juta per desa. Namun anggaran bukan penentu keberhasilan. Yang menentukan adalah apakah dana tersebut membangun aset produktif keluarga miskin, memperkuat pemasaran produk lokal, serta menempatkan desa sebagai pemilik keputusan ekonomi, bukan sekadar penerima program.

Koperasi Merah Putih: Ekonomi Gotong Royong yang Terukur

Dalam pernyataannya di media daring, Jumat, 21 November 2025, Gubernur Iqbal menegaskan peran Koperasi Merah Putih (KMP) sebagai tulang punggung ekonomi desa. Koperasi tidak lagi sekadar wadah usaha, tetapi sistem yang menjamin warga mendapat ruang adil untuk memasarkan produk secara kolektif, memperoleh posisi tawar, dan menikmati nilai tambah ekonomi.

Karena itu, KMP diawasi oleh Satgas 13 instansi, termasuk lembaga pengawasan keuangan negara, untuk memastikan tata kelola yang profesional dan berintegritas. Dengan pendekatan ini, koperasi tidak hanya menjadi alat ekonomi, tetapi wujud kedaulatan ekonomi desa. Gotong royong bukan nostalgia, melainkan strategi modern bagi desa yang ingin berdiri di atas kekuatannya sendiri.

TAG-P3K: Mendorong Perubahan, Bukan Sekadar Mengawal

Pembentukan Tenaga Ahli Gubernur untuk Percepatan Pembangunan dan Penguatan Koordinasi (TAG-P3K) yang beranggotakan 15 orang bertujuan mendukung eksekusi program prioritas, mempercepat pembangunan, dan memperkuat koordinasi lintas sektor. Model seperti ini penting untuk memastikan bahwa desain kebijakan tidak terjebak dalam birokrasi, tetapi terwujud dalam aksi yang terukur.

TAG-P3K diharapkan tidak hanya mengawal program, tetapi mempercepat pembelajaran kebijakan di desa—agar keberhasilan tidak terjadi secara kebetulan, tetapi melalui perencanaan yang matang. Keberadaan tim ini semestinya dinilai bukan dari banyaknya rapat, tetapi dari persoalan riil yang berhasil dipecahkan bersama desa. Saya meyakini harapan itu realistis. TAG-P3K diisi oleh orang-orang yang kredibel, dan selama ruang kerja mereka difokuskan pada persoalan konkret di desa, tim ini memiliki peluang besar menghadirkan perubahan yang dapat dirasakan masyarakat.

Efektivitas Desain Kebijakan Desa Berdaya

Desa Berdaya dan Koperasi Merah Putih memberikan kerangka kebijakan yang tepat untuk pengentasan kemiskinan ekstrem di NTB. Relevansi kebijakan ini tampak dari cara intervensi diarahkan langsung pada keluarga miskin sebagai unit analisis, prioritas pada konsumsi dasar dan aset produktif, serta penataan ulang tata niaga desa melalui koperasi. Di sisi lain, koordinasi lintas sektor diintegrasikan melalui TAG-P3K sebagai unit eksekusi kebijakan. Pendekatan ini menjadikan program anti-kemiskinan bukan sekadar kegiatan di desa, tetapi pembentukan ekosistem ekonomi lokal yang terukur.

Strategi ini memenuhi prinsip efektivitas kebijakan publik karena memadukan pemetaan sasaran yang presisi, integrasi sistem ekonomi desa, serta kontrol implementasi yang dapat diaudit secara publik. Bila pendampingan keluarga miskin dan penguatan tata niaga desa dijalankan secara konsisten, maka pengentasan kemiskinan tidak hanya tampak pada statistik penurunan angka, tetapi juga pada peningkatan pendapatan bersih rumah tangga, terjaminnya konsumsi dasar, dan kemampuan desa menghasilkan nilai tambah ekonomi secara mandiri.

Peluang Keberhasilan dan Optimisme Implementasi

Dalam konfigurasi kebijakan saat ini, peluang keberhasilan sangat besar. Desa Berdaya menyediakan lokus intervensi, Koperasi Merah Putih menjadi instrumen pasar, dan TAG-P3K bertindak sebagai mesin koordinasi percepatan pembangunan. Bila ketiganya dikelola dengan disiplin implementasi dan evaluasi berbasis data, program ini memiliki potensi menjadi model nasional dalam penanggulangan kemiskinan ekstrem berbasis desa.

Dari perspektif kebijakan publik, arah yang ditempuh Pemerintah Provinsi NTB sudah tepat secara desain, realistis secara fiskal, dan memiliki probabilitas tinggi mencapai target. Keberhasilan sangat bergantung pada konsistensi pelaksanaan, integritas kelembagaan, dan akuntabilitas pada hasil nyata di tingkat rumah tangga. Dengan komitmen pelaksanaan yang telah diletakkan Gubernur Iqbal, saya optimistis NTB bukan hanya mampu menurunkan kemiskinan ekstrem, tetapi dapat mengakhirinya secara bermartabat melalui desa yang memegang kendali atas ekonominya sendiri. (*)

Berita Terkait

Back to top button