OpiniWARGA

Maulid Nabi, Jalan Cinta dan Hikmah

Oleh: Dr. H. Ahsanul Khalik

Maulid bukan peringatan hari lahir. Karena maulid berarti waktu kelahiran, sedangkan maulud berarti bayi yang dilahirkan. Dalam konteks Baginda Rasulullah SAW, maulid adalah momentum suci ketika cahaya kenabian hadir ke dunia, sementara maulud adalah beliau yang menjadi rahmat bagi semesta.

Maka, setiap kali umat Islam mengenang maulid, sejatinya kita sedang menapaktilasi detik-detik hadirnya cahaya itu, lahirnya manusia agung yang membawa risalah penyejuk hati, pemecah kegelapan, dan pengikat cinta antara hamba dengan Allah SWT.

Dalam perjalanan Islam, peringatan Maulid Nabi menjadi salah satu tradisi yang mengundang beragam pandangan. Ada yang menerimanya sebagai sarana menguatkan cinta kepada Rasul, ada pula yang menolaknya karena khawatir menjurus pada bid‘ah.

Perbedaan ini adalah warna dalam khazanah umat Islam. Yang perlu kita jaga adalah adab dalam menyikapi, bahwa perbedaan tidak semestinya melahirkan kebencian, melainkan ruang untuk saling memahami.

IKLAN

Nahdlatul Ulama, misalnya, menekankan Maulid sebagai media syiar, dakwah, dan pendidikan spiritual. Dalam setiap lantunan shalawat dan pembacaan barzanji, umat diajak menumbuhkan cinta kepada Nabi, lalu meneladani akhlaknya.

Muhammadiyah, meski tidak menjadikan Maulid sebagai amalan khusus yang diwajibkan, tetap menekankan pentingnya meneladani Nabi dalam keseharian. Dengan demikian, hakikat peringatan bukanlah sekedar seremonial, melainkan bagaimana jejak Rasulullah SAW, terpatri dalam laku hidup.

Ulama dunia juga telah banyak memberi pandangan. Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitab Husn al-Maqshid fi ‘Amal al-Maulid menyebut peringatan Maulid yang diisi dengan tilawah, shalawat, dan sedekah termasuk amal baik. Ibn Hajar al-‘Asqalani pun melihat sisi positif Maulid selama diisi dengan kebaikan, bukan kemungkaran.

Di sisi lain, ulama seperti Ibn Taymiyyah dengan tegas mengingatkan agar umat tidak terjebak dalam bentuk-bentuk yang berlebihan. Di sinilah letak keseimbangan, yang dipersoalkan bukan maulid sebagai kelahiran Nabi, tetapi tata cara dan isi perayaannya.

Seorang orientalis besar, Annemarie Schimmel, dalam karyanya Cahaya Purnama Kekasih Tuhan, Muhammad Utusan Allah, menyebut betapa kuatnya cinta umat Islam kepada Rasulullah SAW, tercermin dalam tradisi Maulid. Baginya, Maulid bukan sekedar ritual, melainkan ekspresi kasih yang menyatukan hati jutaan Muslim di seluruh dunia. Melalui Maulid, umat meneguhkan kembali identitas spiritualnya, menemukan penghiburan, sekaligus menyalakan harapan.

IKLAN

Jika demikian, maka jelaslah bahwa persoalan utamanya bukan pada maulid atau maulud itu sendiri, melainkan pada bagaimana kita memaknainya. Bila Maulid dijadikan sarana untuk menebar cinta kepada Nabi, menghidupkan sunnah beliau, dan mempererat persaudaraan, maka ia menjadi jalan penuh hikmah. Namun bila hanya menjadi ritual kosong tanpa nilai, maka ia kehilangan ruhnya.

Cinta kepada Rasulullah SAW, adalah cinta yang menuntun. Ia bukan cinta yang berhenti pada seremonial, melainkan cinta yang menumbuhkan akhlak, menebarkan rahmat, dan menghidupkan sunnah. Peringatan Maulid menjadi titik temu, antara ingatan akan lahirnya Sang Nabi dengan tekad untuk meneladani hidupnya.

Maka, siapa pun kita, yang memperingati ataupun yang tidak, marilah kita bertemu dalam satu tujuan, yaitu menjaga cinta kepada Rasulullah SAW, agar tetap hidup dalam dada kita. Karena mencintai Baginda Rasul SAW, berarti meneladani, meneladani berarti menjalankan Islam dengan penuh rahmat.

Ya Allah, jadikanlah Maulid Nabi-Mu Muhammad SAW, sebagai sebab bertambahnya cinta kami kepadanya, mendekatnya hati kami kepadanya, dan tetapkanlah kami di atas sunnahnya hingga kami berjumpa dengan-Mu dalam Ridha-Mu.

Aamiin, yaa Rabbal ‘aalamiin

Berita Terkait

Back to top button