Mataram (NTBSatu) – Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB kembali memeriksa Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Gili Trawangan, Meno, dan Air (Tramena), Mawardi Khairi.
Pemeriksaan tersebut pada Jumat, 23 Mei 2025. Berkaitan dengan dugaan korupsi eks lahan PT Gili Trawangan Indah (GTI) di kawasan Gili Trawangan, Lombok Utara.
Mawardi membenarkan terkait pemeriksaan tersebut. “Iya mas,” katanya singkat kepada NTBSatu.
Ia memilih tak menjelaskan lebih jauh terkait materi pemeriksaan penyidik. Termasuk dengan siapa saja ia dimintai keterangan.
Kepala Kejati NTB, Enen Saribanon sebelumnya mengatakan kasusnya naik ke tahap penyidikan. Di tahap perkara ini, Adhyaksa telah memeriksa sejumlah saksi. Termasuk para pejabat maupun pihak swasta lokal dan dari warga negara asing (WNA).
“Kami periksa yang menguasai tanah di Gili Trawangan,” jelas Enen, beberapa waktu lalu.
Kejaksaan telah membidik calon tersangka. Penyidik bakal menetapkan dalam waktu dekat. “Dalam proses menunggu penetapan tersangka, dan kami sudah melakukan penghitungan kerugian negara,” tegas Kepala Kejati.
Para saksi yang masuk dalam agenda dan sudah menjalani pemeriksaan dari berbagai kalangan. Mereka itu lah yang membuka lapak usaha di kawasan 65 hektare tersebut.
Kejati NTB melakukan penyidikan kasus dugaan korupsi lahan eks GTI berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejati NTB Nomor: PRINT-08/N.2/Fd.1/09/2024, tanggal 10 September 2024 juncto Nomor: PRINT-08a/N.2/Fd.1/01/2025, tanggal 06 Januari 2025.
Riwayat Kasus
Sebagai informasi, persoalan penempatan lahan eks pengelolaan GTI ini terjadi pasca-Pemprov NTB memutus kontrak kerja sama pemanfaatan lahan dengan perusahaan pada September 2021.
Sejak putus kontrak, lahan seluas 65 hektare kembali menjadi milik Pemprov NTB. Statusnya hak pengelolaan (HPL).
Pemprov selanjutnya membuka ruang kepada masyarakat maupun investor untuk mendapatkan legalitas berupa hak guna bangunan (HGB) dalam berusaha.
Ada sejumlah syarat yang ditetapkan pemerintah agar masyarakat maupun investor bisa mendapat HGB. Salah satunya, bersedia menyetorkan iuran pajak ke pemerintah dengan nominal Rp15 juta per tahun.
Seiring berjalannya kebijakan, timbul gejolak di tengah lahan 65 hektare eks PT GTI. Antara masyarakat yang sebelumnya membuat kesepakatan kerja sama dengan para investor.
Gejolak itu berkaitan dengan kesadaran investor yang kini telah beralih membangun kerja sama pengelolaan lahan dengan pemprov. Mereka mendapatkan HGB untuk membangun usaha di lahan eks PT GTI.
Namun di lapangan, banyak investor tidak berusaha dengan mulus meskipun mengantongi HGB dari pemprov. Mereka berhadapan dengan masyarakat setempat yang berpatokan dengan kesepakatan kerja sama sebelum pemutusan kontrak Pemprov NTB dengan PT GTI.
Menurut hasil kajian dengan BPKP Perwakilan NTB, ada kesepakatan dengan objek berupa lahan yang kini telah kembali menjadi HPL Pemprov NTB, masuk ke ranah pidana. (*)