Opini

Ketika Relasi Kuasa Predator Seksual Perdaya Perempuan

Oleh: Rian Arsyat – Staf Community Organizer, Yayasan Gemilang Sehat Indonesia (YGSI)

Kasus kekerasan seksual kembali menjadi sorotan di dunia akademik Nusa Tenggara Barat (NTB). Baru-baru ini, seorang dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram berinisial WJ diduga melakukan pelecehan seksual terhadap tujuh mahasiswinya. Sebagian besar korban adalah penerima beasiswa Bidikmisi yang sangat bergantung pada bantuan tersebut untuk melanjutkan pendidikan.

Pelaku memanfaatkan posisinya sebagai pengelola asrama dan pengampu mata kuliah untuk mendekati korban. Ia diduga melakukan tindakan tidak senonoh seperti meraba tubuh, hingga memaksa korban untuk tidur bersamanya. Kasus ini membuktikan bahwa kekerasan seksual bukan sekadar kesalahan perilaku individu, tetapi juga merupakan hasil dari struktur sosial yang memungkinkan terjadinya penyalahgunaan kuasa.

Relasi Kuasa Bungkam Perempuan

Dalam konteks kekerasan seksual, relasi kuasa merupakan hal yang sangat penting untuk dipahami. Filsuf Prancis Michel Foucault menjelaskan bahwa kekuasaan tidak hanya hadir dalam lembaga formal, tetapi juga tersebar dalam relasi sosial sehari-hari. Ketika seseorang memiliki otoritas atau status sosial yang lebih tinggi seperti dosen terhadap mahasiswa, kekuasaan tersebut berpotensi besar untuk disalahgunakan.

IKLAN

Sosiolog Pierre Bourdieu menambahkan melalui konsep kuasa simbolik, bahwa kekuasaan bisa bekerja secara halus dan tidak terlihat, diterima sebagai sesuatu yang “wajar” dalam masyarakat. Ini yang membuat pelaku merasa kebal dari hukuman, dan korban merasa tidak berdaya, takut, bahkan malu untuk melapor.

Hal inilah yang tercermin dalam kasus dosen UIN Mataram. Ia menyusup ke dalam kehidupan pribadi korban dengan kedok sebagai figur ayah bagi para mahasiswi asrama. Sebagai dosen dan pembina, relasi kuasanya begitu dominan hingga korban merasa tak punya pilihan selain patuh. Mereka takut jika melawan, beasiswa bisa dicabut, masa depan akademiknya terancam. Ancaman ini mungkin tak disampaikan secara eksplisit, namun hadir kuat dalam benak penyintas. Ini adalah bentuk nyata dari kuasa tak kasat mata yang bekerja secara sistemik.

Norma sosial patriarki yang kuat di masyarakat turut memperparah keadaan. Perempuan kerap dianggap lemah, emosional, dan tidak mampu mengendalikan diri. Akibatnya, korban pelecehan sering disalahkan. Dituduh tidak menjaga diri, atau memancing pelaku yang pada akhirnya makin mendorong mereka untuk bungkam.

IKLAN

Pentingnya Gender Transformative Approach (GTA)

Kasus pelecehan seksual di UIN Mataram membuktikan bahwa penyelesaian kekerasan seksual tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan hukum. Perlu upaya yang menyasar akar ketidakadilan sosial dan budaya yang selama ini melanggengkan dominasi dan ketimpangan gender.

Gender Transformative Approach (GTA) adalah pendekatan yang bertujuan untuk mengubah norma, struktur sosial, nilai, dan pola kekuasaan yang selama ini menimbulkan ketidaksetaraan gender. Pendekatan ini tidak hanya menargetkan perubahan formal dalam kebijakan atau hukum, tetapi juga menyasar perubahan paradigma masyarakat secara menyeluruh.

Menurut para ahli seperti Raewyn Connell dan Joan Scott, perubahan harus melibatkan seluruh lapisan masyarakat dan bersifat sistemik agar pola pikir diskriminatif dapat dikoreksi dari akarnya. GTA bekerja melalui enam elemen utama:

IKLAN

1. Pendekatan Hak Asasi Manusia dan Model Sosio-Ekologis

GTA mengakui bahwa kesetaraan gender adalah hak dasar semua orang. Model sosio-ekologis dalam GTA menekankan bahwa perubahan harus terjadi di berbagai tingkat dari individu, komunitas, institusi, hingga kebijakan negara.

2. Power atau Kekuasaan

GTA memahami kekuasaan tidak hanya sebagai kontrol formal, tetapi juga dalam bentuk relasi yang tersirat, simbolik, bahkan yang tidak disadari, sebagaimana tampak dalam relasi dosen dan mahasiswi korban di UIN.

3. Invisible Power (Kekuasaan Tak Kasat Mata)

Kekuasaan yang bekerja melalui norma, kebiasaan, dan nilai yang dianggap “alamiah” seperti anggapan bahwa dosen lebih berkuasa daripada mahasiswa harus dikritisi dan diubah agar tidak lagi membungkam korban.

4. Norma dan Nilai

GTA menantang norma patriarki dan nilai yang membatasi kebebasan perempuan, termasuk mitos bahwa perempuan “mengundang” kekerasan dengan penampilan atau sikapnya.

5. Gender dan Keberagaman

GTA mengakui bahwa gender adalah konstruksi sosial yang dinamis, mencakup keragaman identitas termasuk transgender dan non-biner, serta menolak pandangan biner tradisional.

6. Pelibatan Laki-laki

GTA mengajak laki-laki menjadi bagian dari solusi. Mereka diajak membongkar norma maskulinitas beracun dan membangun relasi yang sehat dan adil.

GTA Memberikan Power kepada Perempuan

Kasus di UIN Mataram adalah contoh nyata bagaimana perempuan bisa kehilangan kendali atas tubuh dan masa depannya ketika sistem sosial melanggengkan relasi kuasa yang timpang. Dalam situasi inilah GTA menjadi pendekatan strategis untuk memulihkan kendali perempuan atas hidupnya, dengan cara mengembangkan kesadaran kritis (critical consciousness) tentang struktur sosial yang menindas mereka.

GTA membantu perempuan memahami bahwa keterbungkaman bukanlah kelemahan, melainkan hasil dari budaya patriarki yang selama ini dilestarikan. Ia membuka mata bahwa pelaku kekerasan bukan semata “oknum,” melainkan bagian dari sistem yang membungkam, mengintimidasi, dan memperdaya. Pendekatan ini mendorong perempuan untuk tidak lagi merasa bersalah ketika bicara, dan tidak takut untuk menggugat otoritas yang menyalahgunakan kuasanya.

Namun, pemberdayaan dalam GTA tidak berhenti pada individu. GTA bekerja dalam kerangka sosio-ekologis, yang menuntut perubahan pada berbagai level. Mulai dari penyadaran individu, dukungan komunitas, reformasi institusi, hingga pembentukan regulasi yang adil dan berpihak pada penyintas.

Dalam konteks UIN Mataram, kampus harus bertanggung jawab menyediakan kanal pelaporan yang aman, serta menjamin beasiswa dan masa depan akademik korban tidak menjadi taruhan atas keberaniannya bersuara.

Sebagaimana ditegaskan oleh Joan Scott, gender adalah arena pertarungan kekuasaan. Maka GTA hadir untuk memindahkan kekuasaan dari sistem yang menindas, kepada perempuan sebagai subjek yang berdaya. GTA mengubah korban menjadi agen perubahan yang mampu menggugat ketimpangan, memperjuangkan hak, dan membentuk masyarakat yang lebih setara dan manusiawi.

Dengan demikian, GTA bukan hanya mencegah kekerasan seksual. Ia juga membangun struktur sosial dan institusi yang menghormati tubuh, suara, dan agensi perempuan agar tak ada lagi penyintas yang bungkam karena takut kehilangan masa depan.

YGSI merupakan lembaga non-profit atau NGO yang bekerja di Indonesia sejak 1997 untuk isu Hak kesehatan seksual dan Reproduksi (HKSR) serta pencegahan Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual (KBGS). YGSI menggunakan pendekatan Gender Transformatif Approach (GTA) dalam implementasi Program di wilayah intervensi. (*)

Berita Terkait

Back to top button