OpiniWARGA

IPM NTB Tumbuh di Atas Rata-Rata Nasional: Saatnya Berhenti Menertawai Diri, Mari Menguatkan Ikhtiar

Oleh: Dr. H. Ahsanul Khalik – Staf Ahli Gubernur NTB Bidang Sosial dan Kemasyarakatan

Kabar baik itu datang pelan, tapi pasti. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Nusa Tenggara Barat (NTB) tahun 2025 mencapai 73,97, naik 0,87 poin dibandingkan 2024 yang sebesar 73,10.

Angka ini menempatkan NTB sebagai provinsi dengan kategori IPM tinggi, dengan laju pertumbuhan 1,19 persen, lebih cepat dari rata-rata nasional yang berada di 1,17 persen. Dalam daftar provinsi se-Indonesia, NTB kini berada di peringkat ke-7 untuk pertumbuhan IPM tercepat.

Di balik angka itu, tersimpan pesan sederhana namun dalam, NTB sedang berjalan di jalur yang benar.
Maka, sebelum jari-jari kita mengetik cemooh dan tawa sinis di media sosial, mari berhenti sejenak, menunduk, dan mengucap syukur.

Sebab, di tengah banyak keterbatasan, masyarakat NTB telah membuktikan bahwa kinerja dan kolaborasi yang jujur mampu menumbuhkan harapan.

Mari kita turunkan data ini ke tanah, ke kehidupan sehari-hari. Umur Harapan Hidup (UHH) di NTB kini mencapai 72,60 tahun, naik 0,35 tahun dibanding 2024. Ini berarti anak-anak yang lahir hari ini punya peluang hidup lebih panjang, sehat, dan terlindungi dibanding generasi sebelumnya.

Kota Mataram masih menjadi bintang terang dengan IPM 82,37, masuk kategori sangat tinggi. Sementara Lombok Utara dengan IPM 69,63 memang masih berada pada kategori sedang, namun peningkatannya stabil, tanda bahwa pembangunan mulai merata meski langkahnya belum serempak.

Secara nasional, NTB memang belum di papan atas (sekitar peringkat 27 dari 38 provinsi), tetapi arah pergerakannya menanjak dengan keyakinan yang jelas.

Bagi yang lupa, IPM bukan sekedar angka statistik. Ia adalah cermin tiga dimensi mendasar dari kehidupan manusia: sehat dan panjang umur, berilmu dan terdidik, serta hidup layak.

Kenaikan IPM 0,87 poin berarti ada Puskesmas yang lebih siaga, Posyandu yang lebih aktif, guru-guru yang bertahan di pelosok, dan keluarga yang sedikit lebih lega saat anaknya bisa melanjutkan sekolah.

Kenaikan ini adalah bentuk lain dari perjuangan tanpa suara dari para bidan di desa, petani yang menjaga pangan, dan masyarakat yang menolak menyerah meski penghasilan tak selalu pasti.

Namun, di tengah kabar baik ini, masih sering terdengar suara sumbang yang gemar menertawai capaian sendiri. Kita begitu cepat mengolok diri, seolah prestasi kecil tidak layak dirayakan. Padahal pembangunan adalah maraton panjang, bukan lomba cepat semusim.

Kita tidak sedang berkompetisi dengan provinsi lain, tetapi dengan keterbelakangan dan rasa rendah diri kita sendiri. Kritik tentu penting, tapi kritik yang menumbuhkan, bukan tertawaan yang mematahkan.
Sebab, kritik adalah vitamin, sementara cemooh adalah racun yang perlahan melumpuhkan.

Mari kita lihat akar dari kemajuan ini. Kesehatan masyarakat membaik karena program penurunan stunting dan pelayanan ibu-anak berjalan lebih luas dan konsisten.

Kualitas pendidikan tumbuh karena akses sekolah dan PAUD meningkat, serta semakin banyak program literasi dan vokasi yang dijalankan bersama perguruan tinggi dan komunitas lokal.

Sementara itu, ekonomi keluarga menguat, UMKM Naik Kelas, dan berbagai inisiatif koperasi serta pelatihan pascapanen yang mengubah pola lama menjadi ekonomi bernilai tambah.

Inilah pilar-pilar yang menopang kenaikan IPM NTB dan tentu bukan hasil instan, melainkan buah dari kerja bersama dan kebijakan yang mulai berpihak kepada masyarakat bawah.

Apakah sudah sempurna? Tentu belum. Tapi yang terpenting, NTB kini punya arah dan keyakinan.

Untuk menjaga laju ini, ada beberapa hal yang perlu terus dipelihara. Pertama, perkuat layanan dasar kesehatan dan gizi keluarga.

Naiknya umur harapan hidup adalah sinyal baik. Jangan sampai padam. Posyandu harus hidup, Puskesmas lengkap, dan tenaga kesehatan perlu terus dimotivasi agar menjangkau dusun-dusun terpencil. Air bersih, sanitasi, dan edukasi gizi adalah investasi yang tidak boleh berhenti.

Kedua, tingkatkan mutu pendidikan, bukan sekedar jumlah sekolah. Anak-anak NTB berhak bukan hanya belajar, tetapi juga paham.

Kelas literasi, numerasi, dan pelatihan guru harus menjadi denyut harian pendidikan kita. Teknologi digital dan laboratorium sederhana perlu diperluas agar pembelajaran lebih hidup dan relevan.

Ketiga, kembangkan ekonomi rakyat yang produktif. Ketika keluarga punya pekerjaan yang layak, IPM naik dengan sendirinya. Karena itu, pengembangan pertanian olahan, perikanan, dan ekonomi kreatif harus menjadi tulang punggung baru NTB.

Program Desa Berdaya harus dilihat bukan sekedar proyek, tetapi gerakan kemandirian. Kita ingin masyarakat tidak hanya menjadi pekerja, tetapi juga pencipta nilai.

Keempat, bangun tata kelola dan ketahanan sosial yang kuat. Data yang transparan dan kebijakan berbasis bukti harus menjadi kebiasaan.

Kampus-kampus di NTB dapat berperan lebih aktif dalam riset kebijakan publik, mengkaji model intervensi gizi, pendidikan, dan kemiskinan. Ilmu harus kembali ke masyarakat, bukan berhenti di seminar.

Kelima, kurangi kesenjangan antarwilayah. Kota Mataram tidak boleh berlari sendiri. Lombok Utara, Dompu, Sumbawa, dan pulau-pulau kecil harus dipacu dengan kebijakan afirmatif: insentif guru, tenaga medis, dan investasi sosial. Ketika wilayah terlemah dikuatkan, IPM provinsi akan melonjak bersama.

Semua hal itu bukan teori di atas kertas. Ia bisa diterjemahkan ke langkah nyata: audit cepat layanan gizi dan kesehatan ibu-anak, program literasi desa berbasis masjid dan komunitas, pelatihan UMKM Naik Kelas, dan publikasi data terbuka yang membuat rakyat ikut mengawasi.

Pemerintah, akademisi, dan masyarakat harus menjadi satu barisan ikhtiar, bukan barisan saling sindir.

Maka, di titik ini, izinkan melalui tulisan ini penulis menyampaikan satu pesan singkat:
Berhentilah menertawai diri sendiri.
Kita terlalu lama hidup di bawah bayang-bayang narasi yang melemahkan.
Kita terlalu pandai mengolok, tapi kurang sabar mengapresiasi.
Padahal, tidak ada cercaan paling pahit atas prestasi NTB, selain yang datang dari lidah kita sendiri.

Seburuk-buruk musibah adalah yang membuat kita tertawa, karena di balik tawa itu sering tersembunyi keputusasaan yang belum kita akui.

Sekarang waktunya kita membangun alam bawah sadar baru: yang penuh optimisme, keyakinan, dan rasa percaya diri. NTB telah tumbuh; kini tugas kita memastikan pertumbuhan itu berbuah kesejahteraan.

Kritik boleh tetap ada, sebab ia cermin agar kita tidak sombong. Tapi kritik yang sejati adalah yang mendorong kita bekerja lebih baik, bukan menenggelamkan semangat.

Cerdik pandai, aktivis, pemimpin formal dan informal, masyarakat desa dan kota, semuanya punya peran. Kenaikan IPM ini bukan hadiah; ia adalah hasil dari tangan kita sendiri. Dan dari tangan-tangan yang sama, NTB akan terus naik, menembus langitnya sendiri.

Berhentilah menertawai diri. Saatnya menguatkan ikhtiar. Karena NTB tak sekedar mengejar angka, ia sedang menegakkan martabat manusia, pelan, pasti, dan bersama-sama.

Wallahu’alam Bisshawab. (*)

Berita Terkait

Back to top button