
Mataram (NTBSatu) – Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) NTB menilai, penyusunan APBD Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) Tahun 2025 dengan kecepatan luar biasa. Jika tahun-tahun sebelumnya, pembahasannya pada November, tahun ini lebih cepat dari biasanya.
Namun, alih-alih mencerminkan perencanaan yang lebih matang, percepatan ini justru menyisakan banyak tanda tanya. Apakah ini untuk kepentingan rakyat atau hanya akal-akalan elit politik menjelang pergantian pemerintahan.
Direktur FITRA NTB, Ramli Ernanda menilai, percepatan pembahasan APBD 2025 bukan karena komitmen terhadap tata kelola yang lebih baik. Melainkan karena dorongan kepentingan politik anggota DPRD periode 2019-2024 yang ingin merampungkan anggaran sebelum masa jabatan mereka berakhir.
Yang lebih mengkhawatirkan, percepatan ini justru beriringan dengan minimnya transparansi dan nihilnya partisipasi publik.
“Cepat saja tidak cukup. Tanpa transparansi dan partisipasi, APBD bisa menjadi alat transaksi politik. Bukan instrumen pembangunan yang berpihak pada rakyat,” tegas Ramli Ernanda.
Ruang Gelap APBD
FITRA NTB mencatat, apabila perbandingannya tahun-tahun sebelumnya, transparansi penyusunan APBD 2025 justru semakin buruk.
Informasi anggaran sengaja mereka tutup, dan membiarkan masyarakat buta terhadap bagaimana daerah mengelola keuangan.
Satu-satunya dokumen yang bisa publik akses, adalah Rancangan APBD (RAPBD). Itu pun baru dipublikasikan oleh Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) NTB pada 2 Januari 2025 atau empat bulan setelah pembahasan selesai.
Sementara itu, dokumen KUA-PPAS dan RKPD, yang menjadi landasan utama perencanaan anggaran, tidak pernah dipublikasikan.
“Ini bukan sekadar kelalaian, tapi indikasi kuat bahwa pemerintah sengaja menghilangkan kontrol publik terhadap proses anggaran. Bagaimana mungkin masyarakat bisa mengawasi jika informasi dasar saja tidak tersedia ?,” kritik Ramli.
Hak Istimewa Elite, Rakyat Dikesampingkan
Tidak hanya soal transparansi, proses penyusunan APBD NTB 2025 juga sepenuhnya eksklusif.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, masyarakat tidak mendapat ruang sedikit pun untuk berpartisipasi dalam penyusunan anggaran.
Ramli menilai, pola ini menunjukkan anggaran masih dianggap sebagai “dokumen rahasia” yang hanya boleh dibahas oleh eksekutif dan legislatif, tanpa keterlibatan rakyat.
Pembahasan APBD hanya menjadi hak eksklusif TAPD dan Badan Anggaran, beserta seluruh anggota DPRD.
“Di banyak daerah lain, melibatkan masyarakat dan akademisi dalam diskusi anggaran. Tapi di NTB, APBD masih menjadi ‘mainan eksklusif’ pemerintah dan DPRD,” tukasnya.
APBD Tidak Berbasis Data Akurat?
Lebih jauh, FITRA NTB menemukan indikasi percepatan pembahasan APBD 2025 dilakukan secara serampangan. Tanpa memperhitungkan data terbaru dari pemerintah pusat.
“penyusunan APBD ini tanpa mengacu pada Permendagri Nomor 15 Tahun 2024. Serta tidak mempertimbangkan Transfer ke Daerah (TKD) dari Kementerian Keuangan yang baru diumumkan pada 19 September 2024,” jelas Ramli.
Artinya, mereka menyusun anggaran dengan asumsi yang tidak lengkap. Kekacauan ini semakin terlihat dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 10 Tahun 2024 tentang APBD 2025.
Perda ini masih menggunakan draf lama, tanpa menyesuaikan dengan hasil evaluasi Kementerian Dalam Negeri. Salah satu contoh mencolok adalah perbedaan angka dalam dokumen resmi.
Dalam batang tubuh Perda, APBD Provinsin NTB sebesar Rp5,8 triliun, padahal angka yang benar seharusnya Rp6,5 triliun.
“Ini menunjukkan ada masalah besar dalam penyusunan APBD. Jika angka dasar saja tidak akurat, bagaimana bisa kita harapkan anggaran ini benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat?” kritik Ramli.
Urgensi Analisis APBD: Rakyat Harus Mengawasi
Dengan berbagai kejanggalan ini, FITRA NTB menegaskan, agar segera melakukan analisis mendalam terhadap APBD 2025.
Ini bukan hanya soal menguji kualitas anggaran, tetapi juga memastikan APBD tidak menjadi alat kepentingan politik pasca-Pemilu dan Pilkada 2024.
“Apakah APBD ini mencerminkan kebutuhan rakyat atau hanya mengakomodasi kepentingan elite politik? Tanpa transparansi dan pengawasan ketat, sangat mungkin penyusunan anggaran ini bukan untuk rakyat, tapi untuk mereka yang berkuasa,” pungkas Ramli.
FITRA NTB mendesak DPRD NTB dan Pemerintah Provinsi segera membuka seluruh dokumen anggaran dan memberikan akses seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mengawasi implementasi APBD 2025.
Jika tidak, maka APBD ini hanya akan menjadi instrumen bagi elite. Sementara rakyat tetap menjadi korban kebijakan anggaran yang tidak berpihak pada kepentingan publik. (*)