Oleh: Muthiya Nurhaqul Iman – Sekjen BEM FHISIP Unram 2023
Kasus kekerasan seksual meningkat secara signifikan, utamanya di era digital dimana konten seksual dapat direproduksi dan didistribusi secara masif. Kita biasa menyebut kejahatan ini sebagai cybercrime. Data dari Komnas Perempuan mencatat jumlah kasus kekerasan seksual pada Mei 2022 hingga Desember 2023 mencapai 4.179 kasus. Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE) mendominasi laporan tersebut. Salah satu bentuk tindak kekerasan seksual berbasis gender melalui jagad digital adalah Sextortion. Meskipun jumlah kasusnya meningkat secara signifikan, sextortion atau pemerasan seksual masih belum memperoleh diskursus publik yang serius.
Berdasarkan data yang dilansir dari saluran bantuan Revenge Porn, sepanjang tahun 2023 sendiri, kasus pemerasan seksual (sextortion) mencapai hampir 19.000 kadus. Data tersebut meningkat sebesar 106% dibandingkan tahun sebelumnya. Itu baru kasus yang nampak di permukaan. Kekerasan seksual kerap jadi fenomena gunung es, ada jauh lebih banyak kasus yang terkubur dan tidak nampak dibanding yang tercatat.
Modus Operandi Sextortion
Siapa pun dapat menjadi korban pemerasan seks, namun mereka yang paling rentan menjadi korban ialah kaum muda berusia 15 hingga 17 tahun dan orang dewasa muda di bawah usia 30 tahun. Demikian pula sebaliknya, siapa pun dapat menjadi pelaku pemerasan seks. Meskipun pemerasan seksual umumnya dilakukan oleh pelaku kriminal, namun tidak menutup kemungkinan juga dilakukan oleh orang-orang terdekat korban. Berlakulah tesis Thomas Hobbes, semua orang adalah korban sekaligus pelaku potensial kejahatan.
Lalu bagaimana cara pelaku melakukan aksi pemerasan seksual? Pemerasan seks biasanya dimulai secara online melalui aplikasi media sosial atau sarana digital lainnya. Dalam hal ini, pelaku dapat menargetkan anak-anak dan remaja tanpa sepengetahuan orang lain. Mereka biasanya menggunakan identitas palsu dan berteman bahkan terlibat dalam hubungan dengan korban. Pada saat melancarkan aksinya, pelaku kerap memaksa korban melakukan percakapan seksual atau berbagi gambar intim.
Dengan bekal gambar atau rekaman bermuatan seksual tersebut, pelaku mengancam korban untuk membagikan gambar, video, atau informasi intim mengenai korban. Tindakan pelaku ini pun biasanya menjerat korban dengan cara meminta sejumlah uang, atau hal-hal lainnya kepada pelaku untuk mencegah mereka membagikan konten seksual. Namun yang kerap kali terjadi pelaku meminta korban tersebut untuk melakukan hal lain yang tidak wajar, seperti mengirimkan lebih banyak konten seksual atau melakukan hubungan seksual.
Urgensi Perlindungan Hukum Sextortion
Secara umum (lex generali), tindak pemerasan di Indonesia diatur dalam KUHP. Sementara, pemerasan yang dilakukan dengan menggunakan teknologi atau informasi elektronik, secara khusus (lex specialis) diatur dalam UU ITE.
Jadi aturan hukum yang mengatur terkait sextation tersebut diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), maupun Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Bila mencermati ketentuan normatif beberapa aturan yang mengatur tersebut, tampak bahwa belum memuat secara eksplisit mengenai penjelasan apa saja yang digolongkan sebagai informasi elektronik dan dokumen elektronik yang bermuatan seksual. Begitu juga dengan UU TPKS tidak menjelaskan apakah pemerasan atau pengancaman merujuk pada pengertian di KUHP sebagai ketentuan lex generali atau bukan.
Berita Terkini:
- Haji Mo Salurkan Bantuan kepada Korban Kebakaran di Desa Banda
- Tangis Zigi Pecah, Penantian Panjang Medali Emas Akhirnya Terwujud di PON Aceh-Sumut 2024
- Tiga ASN Pemkab Bima Diduga Ikut Deklarasi Iqbal- Dinda
- Komitmen Tingkatkan Kualitas Pendidikan, Ummat Lepas Mahasiswa Kampus Mengajar Angkatan 8
- Zigi Zaresta Raih Medali Emas Nomor Kata Perorangan PON XXI Aceh-Sumut 2024
Berdasarkan Pasal 368 ayat (1) tentang pemerasan dengan kekerasan dan Pasal 369 ayat (1) KUHP tentang tindak pidana pengancaman pencemaran nama baik yang termasuk ke dalam delik aduan. Pasal-pasal tersebut belum menjangkau unsur dari tindak pidana sextortion. Karena definisi pemerasan lebih mengacu pada pemerasan dalam konteks yang lebih umum. Sedangkan untuk unsur kejahatan sextortion melibatkan pemerasan dengan materi bermuatan seksual dan seringkali melibatkan aspek teknologi dan internet.
Kemudian begitu juga yang termuat dalam UU Pornografi pada Ketentuan Pasal 4 ayat (1) tidak tidak adanya penjelasan terkait unsur pemerasan seksual itu sendiri jadi belum tepat mengatur terkait kejahatan sextortion. Dalam hal ini juga ketentuan dalam UU Pornografi hanya menekankan pada aspek penyebarluasan konten pornografi pada umumnya, tanpa memperhatikan aspek mendapatkan konten pornografi dan tujuan menyebarluaskan konten pornografi tersebut.
Begitu pula dalam UU ITE yang termuat pada Pasal 27 ayat (1), ayat (4) dan Pasal juga belum tepat digunakan dalam kejahatan sextortion,belum termuat secara terperinci. Kejahatan sextortion yang dilakukan melalui dunia maya dalam UU ITE belum terdapat unsur penyalahgunaan kekuasaan dan kekerasan seksual sebagai imbalannya serta adanya ketidakjelasan mengenai apa saja dokumen elektronik dan informasi elektronik.
Salah satu prioritas utama yang hendaknya dilakukan ialah memastikan kasus pelaporan sextortion bisa ditangani dengan serius, dan pelaku mendapatkan konsekuensi hukum yang sesuai dengan perbuatannya. Hadirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual bersifat khusus, dapat menjadi alternatif dalam menangani kasus sextortion di Indonesia.
Rumusan tindak pidana sextortion dalam ketentuan Pasal 14 ayat (1) UU TPKS lebih baik jika dibandingkan dengan pengaturan tindak pidana sextortion dalam KUHP, UU Ponografi, dan UU ITE. UU TPKS dianggap memiliki banyak kelebihan dari segi aspek penegakan hukum.
Namun demikian, Pasal 14 ayat (1) UU TPKS yang mengatur Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE), masih memiliki kelemahan, yakni, tidak adanya kejelasan mengenai unsur pemerasan, apakah merujuk pada KUHP atau bukan. Hal ini tentu saja dimaksudkan guna melindungi semaksimal mungkin terhadap korban kekerasan seksual.
Menurut hemat penulis, untuk mengatasi celah hukum kejahatan sextortion, perlu dilakukan perbaikan terhadap Pasal 14 ayat (1) UU TPKS. Dengan adanya perbaikan pada Pasal 14 ayat (1) UU TPKS, diharapkan dapat memberikan kepastian hukum terhadap kasus sextortion di Indonesia serta memberikan perlindungan yang lebih baik bagi korban sextortion dan menjerat pelaku kejahatan ini dengan lebih efektif.
Tindak kejahatan Sextortion yang terjadi sudah sewajarnya mendapatkan atensi khusus, lebih-lebih segera mengaturnya dalam hukum positif. Dengan mengatur itu secara positif dalam peraturan perundang-undangan, kepastian, kemanfaatan dan keadilan bagi penyintas sextortion tidak akan tersumbat.
Hans Kelsen dalam teori positivisme hukumnya memisahkan aspek moral dan hukum. Indonesia sebagai sebuah negara hukum tidak cukup sekedar mengandalkan moralitas, melainkan perlu penegakan aturan-aturan yang termuat dalam undang-undang, demi independensi, kehormatan dan kepastian hukum.