Opini

Basmi Judi Online: Do Something, Stop Joking

Oleh: Jannus TH Siahaan

Kejadian sungguh menyedihkan akibat judi online terjadi pada Sabtu, 8 Juni 2024, pasca Briptu berinisial FN, seorang Polwan yang mendapati uang gaji ke-13 suaminya tinggal Rp800 ribu dari seharusnya Rp2,8 juta. Selisihnya sebesar Rp. 2 juta ternyata telah berpindah ke kantong bandar judi online.

Hal itu sontak membuat ibu Polwan tersebut naik pitam. Walhasil, sang suami, yang juga anggota Polri, akhirnya harus merenggang nyawa karena dibakar oleh tersangka Briptu FN.

Sebagaimana diungkap oleh Kepolisian Daerah Jawa Timur, motif Polwan berinisial Briptu FN yang diduga membakar suaminya Briptu Rian Dwi Wicaksono (RDW) disebabkan karena kesal setelah mengetahui uang gaji suaminya dipakai untuk berjudi online.

Kasus pembakaran suami ini hanya satu ekses negatif-destruktif diantara jutaan penjudi online yang ada di negeri ini. Kasus ini mengandung sejumlah imbas destruktif, mulai dari peralihan pendapatan resmi penggunanya ke operator judi online di mana sebelumnya pendapatan tersebut semestinya digunakan untuk kepentingan rumah tangga, sampai pada imbas ekstrim destruktif lainnya di mana akhirnya terjadi kekerasan di dalam rumah tangga yang merenggut nyawa penjudi online itu sendiri.

Imbasnya akan jauh lebih buruk lagi secara ekonomi jika pelakunya ternyata bukan seorang aparat, politisi atau pejabat yang memilki pendapatan tetap. Nah, apa yang akan terjadi jika judi online dilakukan oleh para pekerja ojek online, pekerja freelance, mahasiswa dan pelajar yang masih bergantung secara ekonomi dan banyak hal kepada orang tuanya, atau oleh pekerja di sektor non formal lainnya yang penghasilannya jauh di bawah pendapatan minimal pekerja normal.

Imbasnya tentu akan bisa menjadi sangat destruktif lagi. Pendapatan mereka akan terkuras, lalu kemudian sangat berpotensi ‘memenjarakan’ mereka ke dalam jebakan baru, yakni pinjaman online, yang akhirnya semakin memangkas pendapatan keluarga di satu sisi, bahkan bisa berakibat gagalnya sekolah anak-anak mereka, menurunnya tingkat nutrisi makanan yang dikonsumsi keluarga, dan mendorong mereka jatuh ke bawah garis kemiskinan, di sisi lain.

Bagi mahasiswa dan pelajar, jeratan judi online bisa membuat proses perkuliahan dan sekolah terhenti, karena terjebak ke dalam siklus kebohongan yang akut di mana dana untuk biaya kuliah dan sekolah dipakai untuk berjudi online. Atau terjebak ke dalam jeratan pinjaman online (pinjol) yang membuat mahasiswa dan pelajar kuatir lalu tidak bersedia lagi datang ke sekolah karena takut menemui debt collector dari perusahaan pinjaman online yang datang dengan aneka teror untuk menagih.

Lebih dari itu, mahasiswa dan pelajar juga akan berpotensi terlibat ke dalam rentetan kebohongan baru kepada keluarganya dengan lahirnya mata anggaran baru dan fiktif yang mereka tagihkan kepada orang tua mereka atas nama proses perkuliahan dan sekolah. Padahal anggaran baru tersebut akan dipakai untuk berjudi online atau untuk membayar cicilan pinjaman online yang sudah melilit sebagai akibat dari berjudi online.

Mengapa judi online begitu marak? Dari sisi ekonomi, tentu hal itu bisa terjadi karena adanya penawaran. Judi online bisa ada karena adanya bandar dan adanya teknologi yang mengantarkannya ke ponsel penjudi online. Jadi dalam hal judi online ini, menurut hemat saya, kesalahan harus diletakkan di pundak penyedia jasa judi online, bukan kepada permintaan yang datang dari masyarakat. Jika tak ada penawaran yang masuk ke ponsel mereka, meskipun ada potensi permintaan, maka tidak akan ada transaksi. Sesederhana itu saja masalahnya secara makro.

Oleh sebab itu, mengutamakan pencegahan ketimbang penindakan adalah logika yang sungguh keliru. Dengan akutnya kasus judi online dalam beberapa tahun ke belakang, penindakan atas penyedia jasa judi online harus menjadi strategi utama yang harus diambil oleh pemerintah. Menihilnya penawaran atau supply harus menjadi target utama, karena berjudi di Indonesia toh memang dilarang alias ilegal. Artinya, pencegahan dalam bentuk edukasi publik untuk membatasi dan mengurangi permintaan atas judi online seharusnya dilakukan sebagai pelengkap strategi pertama, bukan sebagai strategi utama itu sendiri.

Pasalnya, membasmi segala hal yang ilegal adalah kewajiban bagi aparat, sebagai bagian dari tugas konstitusi. Maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah membasmi sisi suplai atau sisi penawaran agar tidak ada bandar dan sistem judi online yang beroperasi menawarkan layanan untuk berjudi online. Sementara dengan besarnya kapitalisasi judi online sebagai tanda keras maraknya penawaran judi online, maka kesimpulan mudah pertamanya adalah bahwa dari sisi penawaran, judi online ditawarkan secara masif, bahkan secara bebas oleh supplier atau provider-nya.

Kesimpulan kedua adalah bahwa dengan maraknya penawaran judi online, maka penegakan hukum selama ini atas praktek judi online, terutama dari sisi penawaran, sama sekali tidak berjalan. Boleh jadi karena memang penegak hukum kekurangan alat untuk menegakkan hukum di arena perjudian online, atau penegak hukum sama sekali ketinggalan “teknologi” untuk menihilkan pergerakan penyedia layanan judi online, atau pula penegak hukum justru ikut ‘bermain’ di balik maraknya penawaran judi online di ruang publik maya kita dan mendapatkan “feed back financial” yang besar atas tindakan pembiaran dan sikap suportif yang keliru tersebut?

Nah, dengan dua kesimpulan awal tersebut bisa disimpulkan bahwa prioritas pencegahan yang ditekankan oleh Kapolri dan Kementerian terkait adalah penekanan kebijakan yang keliru. Lihat saja datanya. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan total perputaran uang dari judi online sepanjang 2023 mencapai Rp 327 triliun.

Total perputaran uang tersebut tercatat dari 168 juta transaksi yang dilakukan oleh 3,29 juta masyarakat Indonesia. Jika dirata-rata, perkepala pelaku judi online telah dikurang uang Rp. 1 jutaan perkepala selama tahun 2023. Angkanya terdengar tidak terlalu besar, tapi secara akumulatif judi online telah mencuri dan merampas pendapatan masyarakat yang semestinya digunakan untuk konsumsi atau investasi yang akan membantu menggerakkan perekonomian bangsa Indonesia.

Akumulasi perputaran uang selama 2023 terkait judi online itu pun secara persentase tercatat sebesar 63% dari total perputaran uang yang dicatat oleh PPATK sejak 2017 hingga 2023, yakni sebesar Rp 517 triliun. Dan pada kuartal pertama tahun ini; masih menurut PPATK, angkanya pun sudah mencapai 100 T. Jika tren kuartalan tersebut berlanjut seperti itu, maka di tahun 2024 nilai transaksi judi online akan mencapai 400 T. Wow!

Dari data tersebut jelas terlihat bahwa Kapolri dan Kementerian terkait sudah tak relevan lagi berbicara soal pencegahan. Angka-angka tersebut menandakan bahwa sisi supply judi online sangatlah besar dan angkanya jumbo sekali. Artinya, bandar judi dan penyedia jasa teknologi judi online sudah beroperasi layaknya toko online yang legal secara hukum di satu sisi dan dengan jumlah pelaku yang juga tidak sedikit di sisi lain. Persis karena itulah penindakan harus segera dilakukan, bukan lagi pencegahan semata.

Jika sisi penawarannya bisa ditekan, bahkan dihabisi, maka permintaan akan otomatis berhenti. Jika sisi penawarannya bisa diputus, maka tak perlu lagi ada pencegahan. Karena judi online tidak berbeda dengan judi lainnya, sama-sama ilegal di mata hukum. Sekali lagi, aktifitas yang sangat merusak tersebut harus ditindak, dibasmi, dihukum berat, dan tidak diberi ruang lagi sama sekali untuk beroperasi di sini.

Kemudian secara psikologis, dengan marak dan besarnya nilai kapital yang terlibat di dalam aktifitas ilegal judi online, tingkat rasionalitas masyarakat kita juga semakin menurun. Jika motif penjudi online adalah untuk memenangkan perjudian dan mendapatkan keuntungan, maka itu menandakan bahwa rasionalitas para penjudi online di sini sudah menurun.

Orang tua kita sedari dulu sering mengingatkan bahwa “tak ada orang yang kaya karena berjudi, justru yang bangkrut banyak”. Artinya, motivasi untuk mendapatkan uang banyak dan cepat melalui aktifitas perjudian adalah irasional dan nyaris tidak mungkin. Jika banyak yang beranggapan begitu, maka rasionalitas para pelakunya tentu harus dipertanyakan.

Berita Terkini:

Tapi jika bukan karena motif ekonomi, lantas apa? Dalam asumsi saya, jika mayoritas pelaku tidak bermotif ekonomi untuk mendapatkan banyak uang dalam waktu cepat dengan berjudi online, maka berarti ada unsur “addictedness” atau kecanduan di dalamnya, sehingga pelaku akhirnya menoleransi kerugian dalam jumlah tertentu setiap bulan, seperti halnya mengonsumsi rokok. Dan lagi-lagi, kecanduan adalah irasionalitas yang sulit dijelaskan.

Jika kecanduan adalah faktor utama lain selain faktor ekonomi tadi, maka lagi-lagi judi online sudah berada pada level yang sangat akut di negeri ini, yakni sudah merasuk ke dalam psikologi masyarakat pelakunya, yang kemudian menggeser rasionalitas jauh di belakang emosionalitas. Dan tentu saja itu adalah pertanda buruk bagi Indonesia karena masyarakat yang telah menerima hal ilegal dan merugikan sebagai sesuatu rutinitas dan kecanduan yang ditoleransi mengindikasikan level frustrasi dan stress masyarakat yang juga tinggi.

Dan tingkat frustrasi serta stress yang tinggi tentu disebabkan oleh sesuatu. Dalam hemat saya, sesuatu tersebut adalah situasi kehidupan dan penghidupan di negeri ini yang semakin berat dan sulit. Kesulitan utama tentu sangat terkait dengan kehidupan ekonomi.

Pendapatan yang pas-pasan, atau bahkan kurang, biaya hidup yang terus naik, kompleksitas persoalan sosial yang semakin tinggi, kemacetan yang kian memburuk, lapangan pekerjaan yang semakin sulit, beban pekerjaan yang semakin tak sebanding dengan pendapatan, kecemburuan sosial yang semakin meningkat akibat distribusi kue ekonomi nasional yang semakin tidak adil, kekuasaan yang semakin semena-mena, dan korupsi yang semakin merajalela, semuanya sangat bisa menjadi sebab frustrasi publik, yang akhirnya membawa mereka ke dalam keputusan-keputusan yang tidak lagi rasional.

Namun demikian, sekompleks apapun persoalan di balik keputusan 3, 2 juta orang Indonesia untuk ikut berjudi online, jika tak ada penawaran, jika tak ada bandar yang berinvestasi pada bisnis haram bernama judi online itu, jika tak ada teknologinya, jika tak ada pembiaran dan sikap suportif aparat terhadap judi online, maka semua kompleksitas potensi penyebab orang untuk berjudi online tak akan berubah menjadi keputusan nyata untuk berjudi online.

Persis pada logika inilah mengapa menindak tegas semua Bandar dan penyedia jasa judi online adalah langkah utama dan strategis, sebelum mengutamakan pencegahan. Mengapa? Karena judi online sudah sangat – sangat – sangat marak dan sangat – sangat – sangat masif. Angkanya sudah Rp. 327 T di tahun 2023 lalu dan Rp. 100 T di kuartal pertama tahun 2024 ini. Angka tersebut bukanlah sebuah candaan. Tapi fakta yang memprihatinkan.

Sudah tidak logis dan etis lagi membicarakan pencegahan jika melihat fakta-fakta itu. Akan berbeda halnya jika judi online di negeri ini baru berupa ancaman di dalam imaginasi kita semua. Jika baru berupa imaginasi ancaman, maka pencegahan adalah langkah utama. Tapi ini, lagi – lagi saya ulangi, angka transaksinya sudah ratusan triliun setiap tahun dalam beberapa tahun terakhir. Penindakan nyata adalah kebutuhan nyata dan urgen saat ini. Jadi, “Do something!” and “Stop joking!”.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button