OpiniWARGA

Isu Lingkungan dan Perspektif Pembangunan

Oleh: Ria Sukandi

TAK dinyana bahwa isu seputar masyarakat, lingkungan dan pembangunan adalah tiga isu global yang strategis dan tidak pernah ada usainya. Selain itu, isu terkait pesisir pulau-pulau kecil yang ada saat ini bahkan tidak dapat diprediksi ada pula pada masa mendatang.

Isu-isu yang menarik bahkan menantang untuk dibahas dan didalami keberadaannya, mengingat negara kita tersohor disebut “archipelago” dengan sumberdaya pesisir menempati posisi paling besar di dunia.

Disayangkan, saat ini masyarakat ilmiah masih saja terjebak dalam paradigma ilmu pengetahuan modern yang sifatnya mekanistik dan cenderung deterministik. Sudut pandang yang menganggap modal alam hanya sebagai alat untuk kehidupan manusia.

Dalam konteks ini, ilmu pengetahuan modern dengan lokus logika Cartesian kerapkali berasumsi bahwa sesuatu yang bersifat lokal atau tradisional acap diasumsikan sebagai sesuatu yang tidak logis, irasional, statis, bahkan bertendensi konservatif dikarenakan lemah inovasi. Dalam istilah ilmu pengetahuan klasik, sudut pandang demikian dianggap tidak berfilosofis.

Faktanya, konsep pembangunan yang berpijak pada perspektif ilmu pengetahuan modern ala Cartesian justru telah menjauhkan manusia dari alam. Betapa tidak, masyarakat ilmiah era saat ini cenderung menyederhanakan sistem ekologi yang kenyataannya sangat kompleks.

Akibat yang ditimbulkannya kemudian yaitu serangkaian persoalan dalam pemanfaan sumberdaya alam di samping pula bala kerusakan lingkungan. Efek domino lainnya menyebabkan terjadinya tindakan eksploitasi dikarenakan menempatkan faktor ekonomi sebagai sumber kemajuan dalam kehidupan manusia tanpa memedulikan siklus alam.

Bahkan sejarah telah membuktikan bahwa fakta empiris nilai sumberdaya alam dengan perhitungan kuantifikasi (angka-angka) ekonomi ternyata hasilnya absurd. Suatu realitas paradoksal, sebab dengan segala retorika kekuasaannya, ilmu pengetahuan modern nyatanya tidak mampu menghentikan penurunan kuantitas sumberdaya alam selain menekan kerusakan lingkungan, sebaliknya justru melebarkan dan memperparah kerusakan ekologi.

Sudaryono (2006) berpandangan letak kegagalan yang paling menonjol tampak pada pendekatan deterministik-rasionalistik dengan konsepnya yang universal, tidak mampu juga mengakomodir nilai-nilai pluralisme dan kepentingan-kepentingan masyarakat pada skala komunitas dan lokal.

Dalam kaitan ini, kita mendapatkan kesimpulan sementara bahwa  akar dari pengelolaan sumberdaya alam ada pada aspek ontologi kita (bagaimana paradigma) suatu komunitas masyarakat dalam memandang alam. Masyarakat modern yang telah terjebak sekian lama dalam cara berpikir yang Cartesian sudah pasti memiliki ontologi yang berbeda dengan masyarakat adat yang tradisionalis.

Pandangan Cartesian memposisikan alam hanya sebagai objek (modal alam) telah membawa efek ketidakseimbangan atau kerusakan terhadap alam dan lingkungan kita.

Bahwa pemahaman mengenai hakikat modal alam dalam perspektif yang tercermin dalam karakteristik potensi lokal dengan segala pesona keanekaragaman hayati disamping keunikan nilai-nilai lokal yang hadir di pesisir Paer Daya (wilayah) Kabupaten Lombok Utara mengingatkan kita supaya kembali melihat alam sebagai “leben sraum” yang emik dari suatu komunitas etis yang sejatinya holistik antara alam-manusia.

Seyogianya, alam tidak hanya dijadikan sebagai objek (material) tanpa memosisikannya sebagai subjek moral. Namun manusia dan alam dengan seluruh isinya (biotik maupun abiotik), nyata maupun abstrak, memiliki posisi dan tanggung jawab yang sama dalam melestarikan tatanan ekologis yang saling mendefinisikan dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya.

Dalam komunitas ekologis dimaksud, kekhasan dan keunikan nilai-nilai lokal baik eksotisme keanekaragaman hayatinya atau keunikan serta kekhasan nilai budayanya, seperti pengamatan empiris, bahwa memahami segala sesuatu yang terkandung di alam semesta ini niscaya sebagai sesuatu yang saling terkait dan tergantung satu dengan lainnya.

Perspektif kita memandang manusia sebagai bagian integral dari alam dengan perilaku penuh rasa tanggung jawab serta penuh sikap hormat termasuk pula kepada masyarakat lokal dalam lokus kepercayaan tradisional dan peduli terhadap keberlangsungan seluruh ladang kehidupan di alam semesta, guyub telah menjadi paradigma dan perilaku yang notabene kearifan lokal minded.

Komunitas lokal masyarakat pesisir pulau-pulau kecil Gumi Paer Daya, mesti kita yakini akan masih tetap bertahan di tengah hempasan arus pergeseran oleh adanya desakan pola pandang dan perilaku ilmu pengetahuan dan teknologi modern ala Cartesian.

Cara pandang masyarakat lokal yang lebih menganggap modal alam sebagai subjek moral (sesuatu yang sakral) dengan sikap penghormatan terhadap alam dalam kepercayaan tradisional serta eksistensi masyarakat supranatural (spritualisme), benar-benar mencerminkan karakteristik sosial budaya yang terpelihara dalam keunikan nilai-nilai budaya lokal.

Keterpaduan keduanya sesungguhnya sebagai substansi penting dalam perubahan paradigma dari Cartesian yang antroposentris ke paradigma yang holistik. Konsepsi pembangunan yang mengajak kita untuk kembali menapaktilasi kearifan komunitas masyarakat.

Bahkan integrasi konsepsi nilai potensi lokal, nilai budaya lokal dan konsepsi spiritualisme lingkungan dapat dijadikan model konseptual verbal dalam pengelolaan sumberdaya alam bagi para pengambil kebijakan untuk merumuskan perencanaan pembangunan melalui pendekatan-pendekatan yang berpihak kepada keberlangsungan atau keberlanjutan lingkungan terutama air bersih sebagai kunci hidup dasar dari kebutuhan gerak dan unsur penting dalam alam.

“Keberpihakan pembangunan sektor pariwisata ketersediaan air menjadi faktor utama, paling penting adalah sustainable”.

Solusi kebutuhan air dan lingkungan bersih konsep dasar pembangunan pariwisata berkelanjutan diangkat oleh Pemerintah Daerah Lombok Utara ke depan serta memadupadankan keunikan nilai-nilai potensi lokal, budaya lokal sebagai bentuk penghormatan tertinggi kepada alam.

Selebihnya dengan dorongan kesadaran yang tinggi dan keinsyafan manusia yang dapat menjaga keseimbangan sumberdaya alam (lingkungan) bagi generasi mendatang.

Vandana Shiva dalam Keraf (2005), mengingatkan kita semua bahwa “tanah bukan sekedar rahim bagi reproduksi kehidupan biologis, melainkan juga reproduksi kehidupan budaya dan spiritual”. Ini berarti penataan dan pengelolaan sumberdaya alam hendaknya tidak hanya memperhatikan faktor fisik dan ekonomi semata, tapi aspek sosial dan budaya terutama keunikan dan kekhasan nilai-nilai kearifan lokal menjadi faktor yang tidak boleh sama sekali dikesampingkan.

Dalam konteks perencanaan spasial pembangunan sektor kepariwisataan kita harus pula mengatensj keberlanjutan sumberdaya lokal.

Sebagaimana pendapat Sudaryono dalam Herman (2009), bahwa ada lima konsep sangat penting dan mendasar bagi perencanaan spasial dalam framing keberlanjutan sumberdaya lokal, yaitu radius keunikan, eksistensi spasial, ketahanan spasial, penguatan komunitas lokal, dan solusi lokal. Semoga (*)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button