Oleh: Furkan – Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Mataram (UMMAT)
Gaung program NTB Zero Waste (bebas sampah) yang di-launching tahun 2019 lalu cukup memberikan harapan akan terbangunannya kesadaran masyarakat untuk berprilaku hidup bersih terutama kesadaran akan pengelolaan sampah.
Bahkan lewat program unggulan tersebut Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) menilai bahwa program penanganan sampah mulai meningkat yaitu dari posisi sebesar 20 persen penangan sampah tahun 2018 menjadi meningkat 43 persen tahun 2020.
Namun ada hal yang cukup mencengangkan bagi kita semua, tanpa disadari bahwa masyarakat NTB telah menyumbang kerusakan di bumi ini. Ungkapan ini mungkin agak membuat sebagian orang kaget dan bertanya, kenapa menyumbang kerusakan di bumi? padahal kita tidak melakukan aksi kerusakan seperti pembalakaran liar, illegal logging dan sederet aksi lainya?, atau ini hanya tudingan tanpa dasar saja?.
Pertanya-pertannyaan tersebut alamiah akan muncul, sebab kita merasa menjalani kehidupan normal dan sangat antusias serta peduli terhadap lingkungan. Tapi apa pernah kita berpikir, bahwa kita telah menyumbang kerusakan di muka bumi ini lewat meja makan. Mari kita bedah lebih dalam, The Economicst Intelegence Unit lewat infografisnya tentang food waste bahwa satu orang Indonesia bisa membuang sampah makanan sebanyak 300 kg dalam setahun.
Kemudian berdasarkan data system informasi sampah KLHK tercatat volume timbulan sampah Indonesia tahun 2022 mencapai 19,45 ton dan angka timbulan sampah terbesar yaitu sisa makanan dengan angka 41,55 persen.
Sedangkan provinsi dengan timbulan sampah makanan terbanyak yaitu Jateng 4.25 persen, DKI 3,11 jutan ton, Jatim 1.63 ton, Jabar 1,11 jutan ton, Riau 1,05 ton, Sumsel 886,63 ribun ton, Sumut 882,03 ribu ton, Kalsel 726,56 ribu ton, Sumbar 668,5 ribu ton, Sulsel 588,35 ribu ton. Kemudian Papua Barat, Kalimantan Utara, dan NTB berada di posisi sebagai provinsi yang paling sedikit timbulan sampah yaitu diangka 20,75 ribun ton dan 37,44 ton (Databoks 2022).
Meski volume sampah dari sisa makanan di NTB termasuk paling sedikit di banding daerah lainnnya yaitu diproyeksikan di angka 1.129,81 ton dari total 2.567,74 ton sampah yang dihasilkan dalam sehari. Tentunya ini menjadi kritikan bersama bagi semua pihak, bahwa tanpa disadari kita termasuk penyumbang kerusakan di bumi ini lewat meja makan atau makanan sisa kita. Belum lagi kesadaran akan pentingnya mengendalikan hawa nafsu terutama prilaku boros dalam makanan tidak tercermin pada saat Ramadhan. Buktinya DLHK Kota Mataram dikutip dari Republika online menyebutkan bahwa terjadi peningkatkan volume sampah dari sisa makanan sebanyak 2 ton perhari selama Ramdhan.
Padahal bulan Ramadhan seharusnya menjadi bulan untuk melatih menahan segala hawa nafsu jutru berbanding terbalik dengan sampah makanan yang dihasilkan. Meski Fenomena ini sangat umum terjadi di daerah lainnya pada saat Ramadhan, namun ini menandakan bahwa kita tidak menyadari bahwa prilaku pemborosan kita dengan membuang sisa makanan ternyata berefek panjang terhadap kerusakan lingkungan atau bumi yang kita tempati ini. Karena efek timbulan sampah yang dihasilkan dari sisa makanan telah merusak Bumi.
Menurut data dari World Resources Intitute emisi gas rumah kaca dari sampah makanan menyumbang 8 persen dari emisi global. Emisi gas rumah kaca dari 20 tahun terakhir ini di Indonesia mencapai 1.702,9 Megaton CO2 ekuivalen atau setara dengan 7,29 persen rata-rata emsisi gas rumah kaca pertahun (Unnes.ac.id).
Jika diibaratkan sebuah negara, limbah sampah makanan akan menjadi penghasil gas rumah kaca terbesar, dan teorinya apabila gas rumah kaca mengalami peningkatan akan berdampak pada pemanasan global, mencairnya es di kutub, kerusakan ekosistem dan tingginya tingkat keasaman laut, menipisnya lapisan ozon. Selain itu dari penelitian Biology and Fertility of Soils dikutip dari nuansip.com, sisa makan akan menggangu microbiome di tanah karena adanya pertemuan pathogen (bakteri penyebab penyakit) dari sisa makan yang terbuang.
Sedangkan microbiome tanah adalah komponen kunci dari ekosistem alami dan ekosistem yang dikelola, jika microbiome rusak maka akan teganggu kesuburan tanah. Kemudian dampaknya lainya yaitu kesehatan dan kualitas air atau dalam istilahnya yaitu air lindih yaitu cairan yang terlarut dari tempat pembuangan sampah baik melalui limpasan hujan atau komponen organic dari timbunan sampah.
Dalam sebuah penelitian menunjukan bahwa 0,1 -04 persen dari seluruh air tanah tercemar oleh pembuangan sampah (Foodcyle). Padahal kita tahu bersama bahwa kebutuhan manusia akan air menurut WHO adalah 15 sampai 20 liter perhari.
Selanjutnya Provinsi NTB termasuk salah satu provinsi yang indeks kualitas lingkungannya paling rendah, dalam publikasinya BPS merilis 10 provinsi dengan Indeks Kualitas Lingkungan Hidup terdendah (IKLH) dan NTB berada di posisi ke sembilan dengan rentang 65,96 poin hingga 70,82 pon (Good Staat) dan IKLH sendiri dinilai dari 4 indikator yaitu kualitas air, udara, lahan, dan air laut. Kemudian di samping kerusakan alam yang ditimbulkan dari sampah makanan yang terbuang.
Juga ada sikap kita yang abai terhadap orang lain. Padahal Indonesia berada pada peringkat 70 dari 117 negara yang mengalami kelaparan, kemudian FAO 2019 merilis kurang lebih sepertiga dari seluruh pangan yang diproduksi untuk konsumsi manusia terbuang dan mencapai 1,3 miliar ton dan jumlah pangan tersebut cukup mengisi perut seperdelapan penduduk dunia yang menderita kelaparan.
Artinya fenomen yang terjadi seperti pada uraian di atas seyogyanya menjadi refleksi bersama semua pihak untuk mulai menyadari betapa pentingnya tindakan kita terutama dalam hal mengelola makanan di atas meja makan serta penggunaan plastik dalam keseharian kita.
M Faizin dalam bukunya merusak bumi lewat cara makan, manusia seakan susah lepas dari plastik. Dalam bukunya dia mengistilahkan dengan animal plasticum. Berbagai keperluan sehari-hari menggunakan plastik tanpa menyadari kalau itu merusak bumi. Untuk itu mari kita ingat pesan-pesan orang tua waktu masih kecil bahwa ketika hendak makan ada adabnya yaitu duduk dalam keadaan tenang, membaca doa, menggunakan tangan kanan, tidak bicara saat makan, tidak menyisakan walau hanya sedikit karena ada sumber keberkahan, juga tidak tergesa-gesa, dan tidak berlebihan ketika makan. (*)