Penerapan Pasal Tiga Tersangka Kematian Brigadir Nurhadi Dinilai Keliru

Mataram (NTBSatu) – Pakar hukum Universitas Mataram (Unram) Prof. Amiruddin menyoroti penanganan kasus kematian Brigadir Nurhadi oleh Polda NTB.
Menurutnya, penerapan pidana dalam Pasal 351 ayat (3) KUHP dan/atau Pasal 359 KUHP untuk tiga tersangka terhadap ketiga tersangka, tidak tepat atau keliru.
“Pada penanganan kasus pidana harus memenuhi minimal dua alat bukti. Berkaitan dengan barang bukti itu sudah ada dalam Pasal 184 KUHAP,” kata Guru Besar Ahli Hukum Pidana Unram tersebut.
Menurutnya, penilaian tersebut dengan menguraikan dari proses pemenuhan alat bukti yang harus memenuhi unsur pidana. Maksudnya, alat bukti harus terdiri dari lima unsur. Yaitu, keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa atau tersangka.
“Pada keterangan saksi itu adalah orang yang melihat, mendengar, atau mengalami peristiwa pidana,” bebernya.
Sementara keterangan ahli, sambung Amiruddin, merupakan pendapat seseorang yang memiliki keahlian khusus di bidang tertentu. Relevan dengan kasusnya.
Kemudian bukti surat memuat informasi yang berkaitan dengan peristiwa pidana atau dokumen lain yang relevan.
Sedangkan keterangan petunjuk dapat menjadi sebagai bukti atas suatu peristiwa pidana. Namun itu hanya sebatas memberikan petunjuk atau gambaran peristiwa.
“Terakhir, keterangan terdakwa atau tersangka. Itu penyataan dari orang yang terduga melakukan tindak pidana yang terjadi,” ucapnya.
Amiruddin Beri Ilustrasi
Amiruddin mengilustrasikan kematian kasus Brigadir Nurhadi dengan menggambarkan suatu lokus dan tempus terdapat lima orang sedang berkumpul. Kemudian, salah seorang di antara mereka ada yang meninggal di tempat.
Empat orang yang berada di lokasi sudah berstatus sebagai saksi. Karena mereka melihat dan mengetahui peristiwa rekannya yang meninggal.
“Terus, apakah semua teman yang sedang duduk bersamanya itu harus jadi tersangka? Ya, jelas tidaklah,” tegasnya.
Polisi pun harus mendalami keterangan empat saksi tersebut. Mereka harus membuktikan alat bukti yang mengarah pada perbuatan penganiayaan hingga mengakibatkan orang meninggal dunia.
“Kalau ada ahli forensik, itu keterangan ahli, untuk hasil autopsi atau visum itu bukti surat. Perlu ingat bahwa keterangan ahli forensik sebagai ahli itu tidak bisa menentukan siapa yang membunuh, hanya menjelaskan apa penyebab kematian,” beber Amiruddin.
Guru Besar Fakultas Hukum Unram itu juga menyinggung Pasal 351 ayat (3) KUHP tentang penganiayaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain.
Menurutnya, penyidik harus memperkuatnya dengan alat bukti yang memenuhi syarat materiil. Bukan syarat formil.
Syarat materiil itu berkaitan dengan keterangan saksi yang melihat, mendengar, merasakan secara langsung peristiwa. Tujuannya, agar bisa menggambarkan peristiwa pidana.
“Satu alat bukti dengan yang lainnya tu harus saling berkaitan. Di situlah penguatan unsur materiil dalam penanganan tindak pidana,” katanya.
Sementara, Pasal 359 KUHP ia menilai kurang tepat. Karena itu hanya berlaku pada kasus kecelakaan lalu lintas.
“Kalau dalam kasus kecelakaan, itu baru bisa, kelalaian yang nengakibatkan hilangnya nyawa orang,” tutupnya. (*)