HEADLINE NEWSLiputan Khusus

LIPSUS – Kolam Maut Brigadir Nurhadi

Hari ini, seharusnya Muhammad Nurhadi menjadi ayah yang sedang bahagia. Menimang bayinya yang lahir belum genap sebulan. Tapi takdir Polisi muda berpangkat Brigadir ini harus berakhir di kolam privat sebuah vila di Gili Trawangan, Lombok Utara. Kematiannya misterius dan memicu sejumlah spekulasi. Setidaknya 7 kejanggalan membuat Kelompok masyarakat sipil mendesak Polda NTB mengusut secara transparan kasus ini.


Bocah polos usia 4 tahun itu menatap sesosok tubuh yang terbujur kaku, dikelilingi sejumlah orang. Tak ada tangis meratap.

Ia hanya heran, melihat tubuh ayahnya dibolak balik dibalur air. Sesekali ia bertanya kepada orang sekitar yang sedang sibuk memandikan jenazah.

“Itu bapak saya mau diapain?,” tanya bocah itu dari atas gendongan pamannya, Kamis 17 April 2025.

Taufiq Mardanu, salah satu pemandi jenazah menjawab dengan nada berat menahan sedih.

“Mau dimandiin nak,” jawab Taufiq.

“Terus mau diapain?,” bocah itu kembali mencecar.

“Mau dikubur,” jawab Taufiq sekenanya. Tapi si bocah bertanya lagi.

“Kapan ayah bangun?”

Mendengar pertanyaan lanjutan ini, air mata Taufiq Mardanu nyaris tumpah.

“Saya langsung sedih dengar dia tanya begitu,” lanjut Taufiq, Kamis 24 April 2025, menceritakan suasana batinnya ketika memandikan jenazah Nurhadi.  

Kehilangan Sosok Sederhana

Almarhum Nurhadi foto bersama istrinya, beserta anaknya yang saat ini menginjak usia 4 tahun. Foto: FB Nurhadi

Bocah itu adalah anak pertama Nurhadi, dari pernikahannya dengan Elma Agustina. Anak keduanya baru lahir, belum genap sebulan. Usianya masih 45 hari. Mereka sehari hari tinggal di gang kecil perkampungan Dusun Lendang Re, Desa Sembung, Kecamatan Narmada Lombok Barat.

Nurhadi hidup sederhana bersama mertuanya. Orang orang kampung mengenal Nurhadi sebagai sosok pendiam. Hanya bicara seperlunya. “Dia tidak merokok, apalagi minum minuman keras,” kata Rahim yang rumahnya selemparan batu dari kediaman korban.

Warga di perkampungan bertanya tanya setelah mendapat kabar mengejutkan kematian Nurhadi. Apalagi, kabar kematiannya karena tenggelam di kolam dangkal dengan tinggi permukaan 1,2 meter. “Mustahil almarhum ndak bisa renang, kan dia lulus Polisi. Syarat wajib kan bisa renang,” sambung Rahim heran.

Kesaksian Pemandi Jenazah

Keheranan juga menggelanyut di benak warga yang mengurus jenazah. Sekitar 7 orang yang memandikan jenazah, bertanya-tanya dengan kondisi tubuh almarhum. Tidak normal untuk ukuran kematian yang wajar.

Taufiq Mardanu mengungkap kejanggalan itu saat ikut memandikan jenazah.  Ada sejumlah memar di alas mata sebelah kanan korban. Luka tersebut masih mengeluarkan darah, bahkan setelah ia mandikan.

“Mata sebelah kanan luka pas di bawah alis mata. Kayak memar, tapi terus keluar darah. Sampai habis memandikan keluar darah,” ujar Taufiq.

Selain itu, terdapat lebam di tengkuk atau belakang leher jenazah. “Kayak memar gitu,” sebutnya.

Prosesi upacara pemakaman penghormatan terakhir kepada Brigadir Nurhadi. Foto: Istimewa

Taufiq tak sempat menghitung. Tapi luka memar itu cukup banyak. Padahal jenazah belum proses bedah untuk autopsi.

“Pinggang juga memar, sama jari-jari kakinya, punggung kaki luka sobek. Lututnya juga memar,” lanjut Taufiq.

Paling mengherankan, darah terus mengalir dari hidung korban. Padahal usia jenazah sudah lebih dari 1 x 24 jam.

Kapan Papa Pulang?

Tembakan Salvo memecah suasana hening di pemakaman Dusun Jelojok Desa Sembung, Kecamatan Narmada, Kamis 17 April 2025. Letusan dari senjata laras panjang sekitar lima personel Polisi, menandai penghormatan terakhir kepada Brigadir Nurhadi.   

Anak pertama almarhum hadir di sekitar pemakaman. Dalam gendongan pamannya, Ramli, bocah ini memperlihatkan sisi polosnya. Melihat suasana sekitarnya tanpa ekspresi.   

Dan sejak pemakaman itu, setiap malam si bocah bertanya, kenapa ayahnya belum pulang.

“Kapan papa pulang?. Kapan papa pulang?,” kata Wati menirukan tanya keponakannya itu. Setiap yang  mendengar, air matanya tak terbendung. Termasuk Wati.   

Wati juga merasakan aura haru saat prosesi pemakaman. Sejumlah personel polisi yang satu angkatan almarhum tak mampu membendung sedih. Wati heran, karena baru kali ini melihat polisi menetaskan air mata.

Tangkapan layar unggahan keluarga Brigadir Nurhadi. Sumber: Ist

Tradisi masyarakat biasanya membicarakan kenangan kenangan baik mayit yang baru saja melalui proses pemakaman.

Tapi untuk peristiwa ini, justeru yang ramai adalah kecurigaan tabir kematian Nurhadi. Apakah mendapat luka kekerasan? Lalu apa motifnya pembunuhan? Jika tenggelam, apakah semudah itu kematiannya? Jika over dosis, almarhum tak punya riwayat bersentuhan dengan narkotika.

Terbongkar di Sosmed

Tak tahan, akhirnya salah seorang kerabat almarhum mengunggah di media sosial. Akun Instagram @ikhaiskandar6 menulis protesnya.   

Pokok usut smpe tuntas Ndek terimak ntan mate ndekn wajar lamun mule tenggelem
Ndek arak dengn tenggelem selapuk apakn bakat memar,  kami sekeluarga masih tidak nerima bhkan jenazahnya langsung d bungkus cepet2 seperti ada sesuatu pokokn
Sai taok maeh kronologin

Tulisan dalam Bahasa Suku Sasak Lombok yang artinya:

Pokoknya usut sampai tuntas, tidak terima bagaimana meninggalnya dengan cara tidak wajar. Kalau memang tenggelam, tidak mungkin semua apa-apanya luka memar. Kami sekeluarga masih tidak menerima bahkan jenazahnya langsung dibungkus cepat-cepat seperti ada sesuatu. Pokoknya, siapa yang tahu kronologinya, mari sini.

Unggahan yang sontak viral di media sosial. Namun hanya sekitar 10 jam bertahan. Posting-an tersebut di-take down pemilik akun. NTBSatu mencoba menanyakan langsung alasan take down postingan, namun tak direspons.

Misteri Dua Perempuan

Tiga orang pria bertubuh tegap tiba di Teluk Kodek, Desa Pemenang Barat, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara sekitar Pukul 17.00 Wita. Mereka adalah Kompol YPU, Ipda HC dan almarhum Brigadir Nurhadi.

Bersama mereka dua orang perempuan. Penuturan warga lokal yang melihat mereka, dua perempuan ramping berparas cantik itu berasal dari luar NTB. “Kalau dengar waktu ngobrol, bahasanya ‘lo gue’, ‘lo gue’ gitu,” tutur salah satu sopir speedboat kepada NTBSatu di sekitar Teluk Nara. 

Warga yang merahasiakan identitasnya ini menambahkan, tiga pria tegap dan dua perempuan itu naik speedboat dengan nama lambung Princes. Kasmir, sopir Speedboat kelahiran Sumbawa yang lama menetap di Pemenang, bersiap membawa rombongan ke tujuan.   

Teluk Kodek bukan dermaga resmi dan tanpa fasilitas dermaga. Tapi sering jadi alternatif penyeberangan ke wisata tiga Gili: Gili Trawangan, Gili Meno, Gili Air. Teluk Kodek sejajar dengan Teluk Nara, dermaga resmi dengan 4 pintu masuk.  

Rombongan itu kemudian tancap gas ke arah Gili Trawangan, pulau eksotik objek wisata yang ramai wisatawan asing, berjarak sekitar 9,4 kilometer dengan waktu tempuh sekitar 30 menit.

Tekuk Kodek tempat Almarhum Nurhadi bersama dua atasannya menaiki speeboat. Foto: Haris Al Kindi

Mereka tiba di Beach House Hotel, Gili Trawangan. Hotel ini memiliki kompleks vila yang terdiri dari lima kamar.

Maut di Kamar 207

Brigadir Nurhadi dan Kompol YPU mereservasi kamar nomor 207. Kamar dengan fasilitas kolam privat (private pool).  

Sementara Ipda HC dan dua perempuan lain menginap di hotel yang berada di dekat The Beach House. Ini dibenarkan oleh General Manager The Beach House, Made Dewa Wija yang ditemui di Gili Trawangan.

“Yang menginap di sini dua orang (Kompol YPU dan Brigadir Nurhadi). Kemarin ada teman-temannya juga di sebelah (hotel sebelah),” kata Dewa, Selasa 29 April 2025.

Meskipun nginap berbeda hotel, sesekali mereka berkumpul di kamar The Beach House.

Jelang tengah malam, Dewa Wija dikagetkan dengan dering telepon. Ia diberitahukan salah satu penghuni kamar ditemukan meninggal di dasar kolam. Ternyata tubuh yang tenggelam itu, Brigadir Nurhadi.

“Kami langsung hubungi Klinik Warna karena dekat dari sini,” ujar Dewa.

Penuturan Dewa Wija ini selaras dengan kronologi yang diperoleh NTBSatu dari kepolisian.

Tenaga medis Klinik Warna Gili Trawangan tiba Pukul 21.20 Wita untuk melakukan tindakan medis.

Petugas medis tiba di lokasi kejadian Pukul 21.24 Wita, selanjutnya melakukan tindakan pertolongan pertama berupa RJP (Resusitasi Jantung Paru) selama 20-30 menit. Namun tidak ada respons.  

Sempat dilakukan pemasangan infus dan pemberian injeksi jenis epinephrin. Tak sampai di sana, dilakukan RJP ulang selama 10 menit lebih, namun pasien tidak ada respon. Langkah terakhir, diberikan AED (Automatic External Defibrillator) namun tidak ada respons samasekali.

Tubuh Bripda Nurhadi kemudian dievakuasi menggunakan Benhur menuju Klinik Warna Medica, ditangani langsung dr. Lingga Krisna F. Diberikan tindakan medis menggunakan pengecekan EKG (Elektrokardiogram).

Hasil pengecekan EKG flat, tidak terdeteksi detak jantung dari pasien. Pada 22.14 Wita Brigadir Muhammad Nurhadi dinyatakan meninggal oleh dokter klinik.

Klinik Menutup Diri

dr Lingga tak ada di ruang kerjanya saat didatangi media, Selasa 29 April lalu. Hari yang sama ia sedang off, menunggu jadwal shift pekan berikutnya. Melalui salah seorang stafnya, Lingga tertutup dan enggan memberi komentar.

“Semua keterangan sudah ada di Polisi,” ujar dokter yang kabarnya sedang sibuk mempersiapkan even balap motor ini.  Ia juga tak izinkan nomor kontaknya diakses wartawan. 

Tapi petugas itu membenarkan, malam itu almarhum dievakuasi ke klinik yang letaknya paling ujung di antara empat klinik berdekatan dengan hotel itu. Saat di klinik, tubuh korban sudah tak ada tanda tanda kehidupan.

Klinik Warna di jalan lintas Gili Trawangan, Desa Gili Indah, Lombok Utara. Foto: Haris Al Kindi

Dua hari setelah kejadian, polisi terus berdatangan ke klinik dan hotel ini untuk mendapatkan keterangan. Penyidik dari Polres Lombok Utara dan Ditreskrimum Polda NTB bahkan sudah melakukan olah TKP di sekitar kolam.

“Kami juga sudah serahkan CCTV sebagai barang buktinya. Jadi CCTV sudah disita,” ujar Dewa. Ditanya letak penempatan CCTV tersebut, menurut Dewa, tak ada yang mengarah ke kolam, karena sifatnya privat. CCTV hanya terpasang di bagian pintu depan kamar, koridor dan beberapa ruangan beranda hotel.

Dir Reskrimum Polda NTB, Kombes Pol. Syarif Hidayat memimpin tim khusus untuk menyelidiki kasus ini. Serangkaian olah TKP, melakukan permintaan barang bukti dan keterangan saksi.

“Dalam proses penyelidikan, tahapan tahapannya sudah, termasuk saksi dan olah TKP,” kata Syarif kepada wartawan, Kamis 1 Mei 2025.  

Terhadap Kompol YPU dan Ipda HC, penyidik sudah melakukan pemeriksaan. “Sudah dua duanya,” sebut dia. Bagaimana dengan dua perempuan misterius yang satu rombongan dengan Almarhum Nurhadi, HC dan YPU? “Mereka juga sudah kita periksa,” jawabnya.

Apakah ada kemungkinan Nurhadi adalah korban kekerasan atau terkait kasus narkoba?. Syarif tak terpancing. Karena kelengkapan penyelidikan untuk menemukan fakta masih butuh hasil autopsi. “Hasil autopsi saja belum selesai,” tegasnya.

Warga Kurang Yakin Kekerasan

Suasana siang, Selasa 29 April 2025 di Gili Trawangan tak ada yang berbeda dari hari hari sebelumnya. Wisatawan asing lalu lalang melalui jalan lintas gili. Berjalan kaki, gowes, menggunakan sepeda listrik. Wisatawan lainnya menikmati perjalanan dengan naik Cidomo.

Suasana bagian depan The Beach House hotel Gili Trawangan. Foto: Haris Al Kindi

Warga lokal juga sibuk menjadi pemandu wisata. Beberapa orang duduk di trotoar menjajakan jasa sewa sepeda. Pekerja hotel sibuk membereskan kamar, menyiapkan sarapan tamu wisatawan yang dominan dari mancanegara.

Warga dan wisatawan samasekali tak terpengaruh dengan kejadian kejadian serupa sebelumnya. Termasuk kasus kematian Anggota Propam Polda NTB Brigadir Nurhadi. Wisatawan maupun warga menyimpulkan beberapa kemungkinan kejadian kematian di sana. Nyaris tak ada peristiwa kekerasan.

“Biasanya, karena wisatawan tenggelam, ada juga yang over dosis. Kalau kekerasan sih ndak ada. Karena di sini daerah wisatawan, jadi sangat aman,” kata Agus, warga lokal yang bekerja sejak 2018 di salah satu hotel.

Itulah yang membuat mereka cepat melupakan kejadian tragis kematian wisatawan atau pengunjung. “Karena kalau ributin terus, kan kasihan bisa berdampak ke pariwisata di sini,” sambungnya.

Kesibukan para barista juga terlihat di mini bar The Beach House. Bagian beranda depan hotel terdapat kolam renang. Wisatawan asyik bercengkrama di pinggir kolam dalam suasana teduh, karena matahari sore tertutup ketinggian hotel.

Hotel yang kabarnya milik pensiunan Jendral Polisi bintang tiga ini menjadi saksi bisu kejadian tewasnya Nurhadi di dasar kolam dengan kedalaman 1,2 meter.

Gambar sejumlah benda di atas meja dekat kolam privat, diperkirakan diambil sesaat setelah kejadian tewasnya Nurhadi. Foto: Istimewa

Hubungan Atasan Bawahan

NTBSatu mendapatkan gambar TKP sesaat setelah kejadian. Beranda belakang vila terdapat meja bundar mini. Isinya pizza yang baru dua potong disantap.

Sisanya rokok, asbak, botol mineral. Ada dua gelas kaca berisi air. Satu gelas airnya berwarna beining, satu lagi kekuning kuningan.

Menggambarkan ada aktivitas lebih dari satu orang. Gambar nampak gelap karena pengambilan malam hari setelah kejadian.

YPU dan Nurhadi menempati kamar sama. Malam jelang kejadian mereka ngobrol santai Pukul 16.40 Wita.   

Antara YPU dan Nurhadi, terjalin hubungan antara atasan dan bawahan. Bahkan Nurhadi yang penurut, beberapa kali jadi driver YPU.

Banyak juga yang mengenal YPU sebagai perwira polisi berprestasi. Sejak jadi Kasat Narkoba Polresta Mataram, ia mengungkap banyak sindikat besar. Ketika pindah jadi Kasat Reskrim, YPU tercatat berani mengungkap sejumlah kasus kriminal umum melibatkan geng motor dan kasus korupsi.

Namanya moncer setelah membongkar kasus dugaan korupsi Masker Covid-19 dan menaikkan status kasus menjadi penyidikan. Kasus ini akhirnya menetapkan enam pejabat dan rekanan sebagai tersangka.  

Berdasar lanjutan kronologi versi tim Propam, YPU dan Nurhadi ngobrol santai sejak Pukul 16.40 Wita. Nurhadi kemudian berenang.

Tiba tiba Pukul 17.00 Wita, YPU menemukan Nurhadi sudah berada di dasar kolam. YPU lantas menghubungi rekannya, HC untuk evakuasi ke pinggir kolam.

Sederet kejanggalan kematian Brigadir Nurhadi. Infografis: Jo

Alur Putus Kronologi

Namun ada alur yang terputus dalam kronologi tersebut. Jarak waktu antara kejadian tenggelamnya korban dengan proses penanganan medis cukup jauh. Sekitar lima jam. Tak ada penjelasan, apa yang terjadi dalam kurun waktu 5 jam 20 menit.

Menurut kronologi yang sama, setelah menemukan korban Pukul 17.00 Wita, HC kemudian menghubungi petugas hotel untuk meminta bantuan medis Pukul 21.20 Wita.

Melihat kronologi awal, ada perbedaan dengan keterangan dengan kesaksian kapten speetboat yang menyebut rombongan YPU Cs bersama dua perempuan itu, berangkat Pukul 17.00 Wita.   Artinya, seharusnya mereka sampai di hotel sekitar Pukul 17.30 Wita.

Namun keterangan General Manager Hotel, Made Dewa Wija, YPU Cs tiba siang untuk lakukan reservasi. Pola keterangan ini sama dengan rilis dari Propam Polda NTB.

Koalisi Masyarakat Sipil Bersikap

Tentusaja sederet kejanggalan ini memantik perhatian para pegiat hukum. Mereka merasa, teka teki ini harus mampu terjawab oleh internal polisi sendiri.  

Kejanggalan paling mencolok di benak Ahli Pidana dari Universitas Mataram, Syamsul Hidayat, terkait kolam maut tersebut.

Kedalaman 1,2 meter dan luas 3 x 7 meter. Khususnya untuk kedalaman kolam, mustahil korban dengan postur tinggi lebih dari 1,65 Meter bisa tenggelam. Terlepas dari penyebab lain yang membuatnya tak sadarkan diri.   

Dari analisis kriminologi, Syamsul menilai,  sangat janggal mengingat kondisi kolam cukup dangkal dan syarat utama menjadi seorang polisi adalah bisa renang.

“Sisi kriminologi dari TKP kolam privat. Kamar pribadi dengan fasilitas kolam pribadi, kemudian yang meninggal APH (aparat penegak hukum) yang melalui seleksi ketat baru bisa jadi polisi, terutama syarat bisa renang,” ujarnya kepada wartawan.

“Wajar kalau masyarakat ada tanda tanya, kok bisa polisi jago renang tapi meninggal di kolam renang dangkal?,” tanyanya.

Karena itu, dia mendesak Polda NTB lebih terbuka lagi mengabarkan sejauh mana hasil penyelidikan maupun penyidikan kasus tersebut kepada publik, sehingga tidak muncul kecurigaan yang lebih dalam lagi terkait kematian Brigadir Nurhadi.

“Polda NTB harus transparan dan terbuka bagaimana hasil penyelidikan, penyidikan dibuka saja. Hasil autopsi dibuka saja karena bentuk akuntabilitas kepolisian,” kata dia.

Pengungkapan kasus harus dengan metode Scientific Crime Investigation (SCI) atau metode investigasi kejahatan yang menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi.

“Apakah dia meninggal karena kehabisan napas atau karena benda tumpul, kena cekik atau apa? itu semua dari hasil autopsi nantinya,” pungkasnya.

Kesan Tertutup Polisi

Kelompok masyarakat sipil lainnya, juga menaruh curiga ada yang tak wajar di balik kematian Almarhum Brigadir Nurhadi, Rabu 16 April 2025 lalu.

Beberapa kejanggalan mereka identifikasi membuat kasus ini terkesan tertutup rapat. Keluarga mendapat kabar kematian pada Kamis tengah malam, berjarak sehari setelah kejadian.

Kecurigaan berdasarkan keterangan awal keluarga korban, terdapat luka lebam di tengkuk leher, di bawah ketiak, termasuk lebam di beberapa bagian wajah.   

Kejanggalan lain, sikap tertutup Polda NTB sejak kejadian tersebut, dengan tidak muncul memberikan penjelasan resmi ke publik. Setelah gaduh akibat unggahan sosial media keluarga korban dan terungkap di media massa, akhirnya Polda NTB melakukan autopsi pada jenazah Anggota Bid Propam Polda NTB tersebut. 

Wiwik, kakak kandung Nurhadi. Foto: Haris Al Kindi

Joko mengapresiasi inisiatif Polda NTB melibatkan tim forensik dari Mabes Polri, namun dalam proses penanganan lanjutan, harus tetap melibatkan institusi lebih tinggi. 

“Kasus ini harus diungkap ke publik. Ada sesuatu yang luar biasa di balik kasus ini,”  kata Ketua Badan Konsultasi Bantuan Hukum (BKBH) Universitas Mataram, Joko Jumadi, Kamis 1 Mei 2025. 

Kecurigaan berikutnya, bahkan ia rasakan langsung. Awalnya pihak keluarga menggebu gebu mengungkap kasus ini di sosial media. Keluarga Nurhadi juga bersedia bertemu dengan Joko Jumadi untuk membahas pola advokasi. 

“Tapi belakangan keluarga korban mundur, kami gagal berdialog,” ujar Joko. Apakah ada intervensi atau tekanan dari pihak tertentu untuk membungkam keluarga korban?

“Kita patut mencurigai itu. Dan ini wajar. Karena sebelumnya keluarga menggebu gebu menuntut keadilan agar kasus ini terbongkar. Tapi belakangan sulit mendapat akses komunikasi langsung,” jelasnya. 

Gaduh Dahulu, Autopsi Kemudian

Pihak keluarga mengakui sempat berkomunikasi dengan tim Hukum Selasa 29  April 2025. Namun keesokan harinya berubah pikiran. Mereka membatalkan pertemuan dengan Joko Jumadi bersama tim. “Karena Polda semuanya yang tangani,” jawab Hambali, kakak tiri Nurhadi.

Begitu juga dengan Wiwik, kakak kandung Nurhadi. “Memang pernah ada komunikasi dengan pengacara. Tapi kita semua serahkan ke Polda,” ujar Wiwik.

Karena ada keanehan itu, Joko Jumadi mendesak Polda NTB terbuka dalam kasus ini, melibatkan pihak petinggi di Mabes Polri dalam proses penyelidikan dan penyidikan. Menurutnya, tidak cukup dari kepolisian saja. “Harus ada lembaga di atasnya, dalam hal ini Mabes Polri yang turun tangan,” ujar Joko.  

Kasus penyebab kematian almarhum Brigadir Nurhadi belum juga menemukan titik terang. Sampai akhirnya ada keputusan pembongkaran pada Kamis 1 Mei 2025 pagi.

Ekshumasi  atau proses penggalian jenazah yang telah masuk kubur, tujuannya untuk keperluan autopsi.

“Karena beredarnya isu di luar, hal ini harus kita pastikan ini bukan menjadi konsumsi keluarga lagi, tapi sudah menjadi konsumsi publik. Di Sosmed sudah menjadi konsumsi publik dan isu – isu yang liar dugaan terjadinya peristiwa pidana dan yang bisa mengungkap semua itu dengan cara kita harus melaksanakan ekshumasi,” demikian bunyi pengumuman yang beredar di internal Pejabat Utama (PJU) Polda NTB.

Ekshumasi terlaksana setelah keluarga korban menolak proses autopsi. Sehingga jenazah langsung proses pemakaman. Kini pihak keluarga berubah sikap dan mengizinkan aotopsi terhadap jenazah.

Disaksikan Pejabat Polda

Kabiddokes Polda NTB, Kombes PoI dr. Komang Tresna memimpin ekshumasi bersama PS. Kasubbiddokpol Kompol dr. Gede Herry Yudiskara. Sejumlah PJU hadir.

Yang memantik perhatian, hadir Direktur Reskrimum Polda NTB, Pol Syarif Hidayat yang kabarnya memimpin tim penyelidikan.

Hal menarik lainnya, kehadiran Dir Narkoba Kombes Pol. Roman Smaradhana Elhaj, Kabidkum Polda NTB Kombes Pol Abdul Azas Siagian. Termasuk Itwasda Polda NTB Kombes Pol. Sigit Hari Wibowo. Terlihat Kabid Propam, Kombes Pol Dedy Darmansyah Nawirputra, atasan langsung YPU, HC dan almarhum Nurhadi.   

Kabid Humas Polda NTB Kombes Pol Muhammad Kholid (Tengah) saat memberi keterangan pers usai ekshumasi jenazah Brigadir Nurhadi.
Foto: Haris Al Kindi

Tim forensik kepolisian membongkar makam Brigadir Muhammad Nurhadi di TPU Peresak, Dusun Jejelok, Desa Sembung, Kecamatan Narmada, Lombok Barat.

Proses ekshumasi berlangsung mulai pukul 08.00 Wita dan selesai sekitar pukul 11.30 Wita untuk mengungkap penyebab kematian janggal almarhum saat berada di Gili Trawangan.

Hanya saja, tim forensik yang datang langsung dari Jakarta melakukan autopsi tanpa pendampingan pengacara atau kuasa hukum korban. Ketidakhadiran pengacara memicu pertanyaan tentang objektivitas pemeriksaan.

Kabid Humas Polda NTB, Kombes Pol Muhammad Kholid mengatakan, tim hanya mendampingi keluarga korban. Meski begitu, ia menjamin proses pemeriksaan berjalan profesional dan sesuai etika kedokteran forensik.

Jaminan Hasil Objektif

“Pemeriksaan ini kami jamin profesional karena berkaitan dengan etik kami,” tegasnya di lokasi pembongkaran makam.

Kabid Dokkes menambahkan, hasil autopsi akan keluar dua pekan setelah ekshumasi tersebut, dan menggaransi hasilnya akan objektif. “Kami terikat dengan sumpah jabatan dan kode etik profesi. Apalagi kami melibatkan tim eksternal juga dari Unram,” ujar Kabiddokkes Komang Tresna.

Bagaimana dengan lebam pada sekujur tubuh Brigadir Nurhadi yang sebagaimana informasi keluarga korban?

“Sabarlah. Nantilah. Akan ada laporan pro justitia  hasil ekhsumasi  sekitar dua minggu lagi oleh ahli Forensik yang menanganinya, (diserahkan) kepada penyidik,” jawab Kabid Dokkes, Sabtu 3 Mei 2025.

Adakah kemungkinan lain seperti over dosis?. Kombes Pol Syarif Hidayat menjawab singkat. “Ini masih dalam penyelidikan,” sebutnya.

Suasana berkabung masih terasa di rumah duka. Istri Almarhum Nurhadi duduk mematung di teras rumah. Sejumlah sanak famili yang terus berusaha menghiburnya. Tatapannya kosong. “Selain masih syock, dia juga masih lemas, karena baru selesai melahirkan,” kata salah satu keluarga Nurhadi. Sementara anak pertama mereka, masih bertanya, kapan ayahnya pulang. (*)

Tim LIPSUS NTBSatu   

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button