
Oleh: Ahyar Arsyid
Sejarah Singkat (Bima Sebagai Kerajaan Berdaulat)
Selain sebagai nama kelompok suku dan nama daerah, Bima juga merupakan nama sebuah ikatan dan identitas politik. Dalam salah satu naskah kuno di Kesultanan Bima yang disebut Bo’ ditemukan kalimat yang berbunyi “sa watipu londo na sia sangaji, na wa’ura dou labo dana na” (sebelum turunya dia sang Raja, telah ada orang dan wilayahnya). Ungkapan ini menunjukan bahwa, sebelum datangnya sang Raja yang memerintah tanah Bima, daerah ini telah dihuni oleh masyarakat dengan wilayah kekuasaan tertentu yaitu “Ncuhi”.
Menurut cerita rakyat, bahwa yang dimaksud dengan Ncuhi adalah (1) edaru domo dou, yakni Ncuhi adalah orang yang menjadi sumber kelahiran bagi keturunan secara turun temurun (2) ina mpu’u naba weki ma rimpa, yakni manusia pertama yang menjadi cikal bakal kelompok masyarakat (3) di siri wea nggawo na, yakni ia akan menjadi pihak yang bertanggung jawab memberi perlindungan bagi seluruh masyarakat (4) di batu wea walena, yakni untuk menjadi sumber panutan dari segi tutur dan perintahnya harus ditaati.
Setelah ditaklukkan oleh kerajaan Majapahit, kerajaan-kerajaan yang dipimpin oleh Ncuhi disatukan menjadi satu kerajaan, selain itu selain ekspansi militer untuk memperluas wilayah kekuasaanya, Majapahit juga menyerbarkan agama Hindu. Dengan demikian kerjaan Bima awal bercorak Hindu yang berlangsung selama kurang lebih tiga abad. Demikian pula setelah agama Islam masuk, maka Kerajaan Bima ditransformasi dan diganti menjadi kerajaan bercorak Islam sehingga namanya diganti menjadi Kesultanan Bima.
Seperti suku-suku lain, masyarakat suku Bima juga terdapat lapisan sosial (social stratification). Menurut Ahmad Amin, lapisan sosial pada masyarakat suku Bima antara lain (1) Golongan Raja, adalah golongan yang menduduki tingkat teratas dalam masyarakat yaitu kekuasaan diberlakukan secara turun temurun sebagai golongan yang menjadi “londo sang Bima” (mempunyai garis keturunan sang Bima ) (2) Golongan Bangsawan, yaitu terbagi dalam subgolongan yakni bangsawan tinggi, bangsawan menengah dan bangsawan rendah. Secara umum golongan ini adalah pemangku jabatan di lingkungan istana (3) Golongan rakyat biasa, yaitu golongan yang pada umumnya melakukan kegiatan sehari-hari sebagai petani, pedagang bahkan sebagai pesuruh hukum raja atau bangsawan.
Kesultanan Bima,berdiri sebagai negara berdaulat hingga tahun 1957 dan merupakan Kesultanan terakhir yang bergabung kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yaitu setelah Kesultanan Sumbawa dan Kesultanan Bone. Hal ini adalah salah satu konsekuensi dari berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pemerintahan di Daerah.
Potret Masalah dan Langkah Solutif
Beragam kegiatan untuk menyambut dan memeriahkan hari jadi Bima tahun ini mengangkat tema “Bima Bermartabat, Rakyat Berdaulat”, dengan sub tema “Dana Mbojo Menyapa, Dari Bima untuk Indonesia. Kegiatan ini akan menonjolkan kekayaan budaya, kearifan lokal serta diharapkan dapat membentuk semangat partisipasi masyarakat. Hari ini adalah bagian terpenting untuk menentukan masa depan sebuah daerah”, slogan ini seakan memberikan sebuah gambaran secara objektif tentang bagaimana sebenarnya Bima Bermartabat yang dicita-citakan?
Salah satu bagian yang paling penting dalam melihat perkembangan suatu daerah adalah dengan dilakukanya perencanaan secara konsisten dalam mengembangkan Sumber Daya Manusia (SDM) dan Sumber Daya Alam (SDA). Hal ini sangat penting untuk dijadikan bahan refleksi bagi semua elemen yang merasa berkepentingan dalam membangun daerah.
Sebagai sebuah perbandingan, Kabupaten Bima dalam perkembanganya memiliki masalah struktural yang menghambat terciptanya masyarakat adil makmur mencakup berbagai aspek yaitu, (1) Struktur Ekonomi, Kabupaten Bima masih bergantung pada sektor pertanian (primer) dan perdagangan (tersier) serta ketimpangan pembangunan antar daerah. (2) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) (3) Lemah dan Buruknya Penegakan Hukum, didalamnya termasuk diskriminasi terhadap gerakan mahasiswa dan masyarakat (4) Konflik Sosial dan Ketidakadilan Distribusi (5) Potensi Kerusakan Hutan, munculnya aktifitas Tambak dan Tambak yang tidak memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Aktifitas Pertanian (6) Kemiskinan dan Indeks Pembangunan Manusia Rendah.
Masalah di atas mengambarkan bahwa slogan “Bima Bermartabat” dalam perayaan hari jadi Bima adalah waktu yang tepat untuk merefleksikan masalah yang sedang terjadi dan menentukan langkah solutif kedepan seperti memperkuat pengawasan anggaran melalui lembaga independen dan partisipasi publik, hadirkan reformasi birokrasi, tingkatkan kualitas dan kuantitas layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan dan infrastruktur untuk menaikkan IPM dan menurunkan angka kemiskinan, diperlukan membangu fleksibelitas dalam manajemen konflik dengan melibatkan tokoh adat, pemuda, tokoh agama dan masyarakat secara konsisten.
Wacana Heterarki Sosial Masyarakat Bima
Dalam pandangan Stratifikasi Masyarakat Sosial, Max Weber mengungkap ada tiga dimensi utama hiterarki masyarakat yaitu kelas ekonomi (berdasarkan akses terhadap sumber daya ekonomi), status sosial (berdasarkan kehormatan atau prestise), kekuasaan dan politik (kemampuan mempengaruhi keputusan dalam masyarakat).
Sebagai pembanding, muncul Teori Fungsionalisme Talcott Parsons & Emile Durkheim, menurut teori ini, hierarki dibutuhkan agar masyarakat bisa berjalan secara teratur dan stabil. Posisi tinggi diisi oleh orang-orang yang memiliki keterampilan atau tanggung jawab besar. Kesenjangan dianggap sebagai akibat dari perbedaan fungsi sosial. Banyak kritik atas teori ini, yang paling mutakhir mengatakan bahwa teori ini dianggap membenarkan ketimpangan sosial.
Pada kenyataanya, kaum minoratis (elit) telah memiliki kekuasaan dalam mempengaruhi struktur sosial, ekonomi dan kesejahteraan sejak lama. Maka Karl Mark mengahadirkan teori konflik sosial yang muncul akibat dominasi kelas atas terhadap kelas bawah yaitu antara pemilik modal dan kelas pekerja. Dengan demikian, Teori hierarki masyarakat penting untuk memahami bagaimana kekuasaan, status, dan sumber daya didistribusikan dalam kehidupan sosial. Namun, seiring berkembangnya zaman, banyak masyarakat mulai mencari alternatif seperti heterarki.
Istilah heterarki dalam tulisan ini berfokus pada suatu bentuk struktur sosial atau organisasi dimana kekuasaan, otoritas atau fungsi tidak disusun secara hirarkis (atas dan bawah) semata-mata, melainkan tersebar secara sejajar dan saling bergantung. Dalam heterarki tidak satu entitas yang secara mutlak lebih tinggi daripada yang lain, dengan kata lain semua elemen bisa saling mempengaruhi dan mengambil peran sesuai konteks.
Wacana heterarki muncul sebagai tanggapan yang mengasumsikan bahwa kekuasaan selalu terpusat pada satu puncak, masyarakat selalu tersusun atas dan bawah dan struktur sosial bersifat tetap dan linear. Menurut Gramsci, diperlukan kesadaran manusia dalam membentuk dan mengontrol sejarahnya sendiri melalui tindakan-tindakan politik konkret untuk mencapai perubahan-perubahan yang diinginkan. Oleh karena itu, masyarakat perlu mengetahui sejauh mana kesejahteraan yang didapatkanya melalui intervensi negara.
Dalam membentuk kesadaran ini, masyarakat perlu membangun pemahaman dan sikap kolektif yang membentuk struktur sosial yang setara, kolaboratif dan tidak sepenuhnya hirarkis. Adapun tujuan membentuk kesadaran heterarki adalah mendorong partisipasi aktif masyarakat, mengurangi dominasi kelompok elit, meningkatkan kolaborasi lintas kelompok sosial.
Kesadaran masyarakat untuk membentuk heterarki bukanlah sesuatu yang instan. Ia memerlukan proses jangka panjang yang melibatkan pendidikan, keteladanan, serta pembiasaan dalam praktik kehidupan sehari-hari. Dalam dunia yang semakin kompleks dan saling terhubung, membangun heterarki adalah langkah untuk memastikan bahwa suara semua pihak dihargai dan keputusan diambil secara bersama.
Masyarakat Bima dalam perjalananya tidak pernah tunduk pada kekuasaan yang dzolim dan khianat. Perlawanan terhadap kolonial Belanda di awal abad 20-an, di mana Belanda mulai mengintervensi dalam negeri Kesultanan Bima, pajak yang tinggi dan kerja paksa. Perlawanan ini dilakukan oleh masyarakat desa pedalaman. Peristiwa Donggo 1972 juga menjadi refleksi penting dimana tokoh Adat, tokoh Agama dan masyarakat secara umum mempunyai solidaritas untuk melawan ketimpangan sosial. Peristiwa ini tidak sepopuler konflik agraria atau politik besar, secara khusus masyarakat Donggo menjadi contoh dari masyarakat adat yang berdaulat secara kultural dan secara umum untuk masyarakat Bima.
Perlawanan petani Wawo 1990-an adalah bukti. Konflik agrarian antara petani dan pemerintah/korporasi terkait kepemilikan lahan, hal ini diakibatkan oleh anggapan masyarakat bahwa tanah adat mereka diambil alih. Petani melakukan aksi blokade jalan dan protes massal, terjadi kriminalisasi terhadap beberapa petani, kasus ini memperkuat gerakan masyarakat sipil di Bima. Selanjutnya peristiwa Pelabuhan Sape 2011-2012, yaitu rakyat Bima, terutama nelayan dan petani, menolak kehadiran tambang emas PT Sumber Mineral Nusantara (SMN), mereka menganggap tambang tersebut akan merusak lingkungan dan sumber penghidupan mereka.
Peristiwa-peristiwa di atas dimunculkan agar masyakat sadar bahwa Bima bukan hanya wilayah dengan sejarah kesultanan yang kaya, tetapi juga wilayah dengan tradisi perlawanan rakyat yang kuat terhadap ketidakadilan. Dari masa kolonial hingga modern, perlawanan ini menunjukkan keberanian dan kesadaran politik rakyat kecil dalam memperjuangkan hak dan kedaulatan mereka.
Masyarakat Bima harus mampu melihat dan mengkritik perilakunya sendiri, baik dari Pemerintah, tokoh Adat, Tokoh Agama, Pemuda, Perempua dan masyarakat secara umum. Wacana heterarki masyarakat Bima adalah pembahasan kritis dan strategis mengenai perlunya menggeser struktur sosial yang kaku, hierarkis, dan sentralistik menuju model yang lebih fleksibel, setara, dan kolaboratif. Wacana ini muncul sebagai respons terhadap berbagai bentuk ketimpangan kekuasaan, eksklusi sosial, dan kegagalan struktur top-down dalam menjawab kebutuhan riil masyarakat. (*)