Oleh : Dr. H. Ahsanul Khalik
Setelah Presiden Prabowo Subianto secara resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Sultan Muhammad Salahuddin XIV melalui Keputusan Presiden Nomor 116/TK Tahun 2025, kebanggaan dan haru menyelimuti masyarakat Nusa Tenggara Barat.
Namun di balik rasa syukur itu, tak banyak yang tahu bahwa sang Sultan, penguasa agung Kesultanan Bima, pemimpin alim dan berjiwa negarawan itu menutup hayatnya jauh dari istana Dana Mbojo, dan bersujud terakhir dalam pengabdian di TPU Karet Bivak, Jakarta, di tengah kesederhanaan dan do’a yang tak pernah berhenti.
Kisah ini bukan sekedar lembar sejarah yang dibuka kembali, melainkan perjalanan batin tentang makna kesetiaan yang melampaui zaman.
Sultan Muhammad Salahuddin XIV adalah simbol bagaimana kekuasaan dapat tunduk pada moral, dan bagaimana pengabdian sejati tak selalu disertai sorak-sorai, melainkan dijalani dengan keteguhan dan kerendahan hati.
Pemimpin Alim di Tengah Badai Zaman
Sultan Muhammad Salahuddin XIV memerintah Kesultanan Bima sejak tahun 1915 hingga wafat pada 1951, di masa yang menyeberangi tiga babak besar sejarah: kolonialisme Belanda, pendudukan Jepang, dan lahirnya kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam kurun panjang itu, beliau dikenal bukan sekedar sebagai penguasa, tetapi juga sebagai ulama, pendidik, dan pelindung rakyat.
Sultan Salahuddin menegakkan kepemimpinan berbasis ilmu dan akhlak. Ia mendirikan madrasah, memperkuat pendidikan Islam, dan menanamkan nilai-nilai keadilan sosial di seluruh wilayah Kesultanan. Di istana, beliau kerap mengajarkan kitab Ta’limul Muta’allim dan Ihya’ Ulumuddin kepada bangsawan muda, menanamkan kesadaran bahwa kekuasaan tanpa moral hanyalah kehampaan.
Berbeda dengan penguasa lain yang memilih perlawanan bersenjata, Sultan memilih jalan diplomasi dan perlawanan kultural. Ia memperkuat ekonomi rakyat, membangun jaringan dagang, dan menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan Islam di timur Nusantara. Arsip kolonial menggambarkannya sebagai pemimpin “yang bersahabat namun tidak tunduk,” pernyataan yang mencerminkan kecerdikan diplomasi dan keteguhan pendirian.
“Tidak semua diam itu tunduk, dan tidak semua melawan itu merdeka,” tulis beliau dalam sebuah surat pribadi.
“Kadang, diam adalah cara menjaga marwah negeri.”
Kesetiaan yang Teruji oleh Zaman
Ketika proklamasi kemerdekaan dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, Sultan Muhammad Salahuddin XIV segera menyatakan dukungan kepada Republik Indonesia. Surat resmi yang dikirimkan ke Pemerintah Pusat menegaskan bahwa Kesultanan Bima berdiri di bawah panji merah putih dan siap mendukung pemerintahan Republik.
Namun, masa transisi pasca kemerdekaan penuh ketegangan. Belanda masih berusaha menanamkan pengaruhnya di timur Indonesia, sementara sebagian elite lokal masih terbelah antara pro-federalis dan pro-republik. Dalam situasi rumit itu, Sultan tetap memilih kesetiaan kepada Republik, meski langkahnya dibatasi dan geraknya diawasi.
Beliau tak pernah menyerah pada kekuasaan asing, namun juga tidak membiarkan rakyatnya terjerumus dalam konflik bersaudara. Dalam diamnya, beliau menjaga keseimbangan melindungi rakyat, memelihara stabilitas, dan memastikan Bima tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pengasingannya ke Batavia pada tahun-tahun akhir hayatnya bukanlah bentuk hukuman, tetapi upaya pemerintah pusat untuk menjaga kestabilan di daerah. Sultan menerimanya dengan lapang dada. Di kota yang jauh dari Dana Mbojo, beliau memilih menyepi dalam do’a, tetap mengajarkan ilmu, dan mengirim surat-surat kepada pejabat republik sebagai bentuk nasihat dan harapan untuk bangsa yang baru lahir.
Akhir Hayat dan Makam di Karet Bivak
Tahun-tahun terakhir kehidupannya dijalani dengan ketenangan seorang bijak. Di Jakarta, Sultan hidup dalam kesederhanaan, jauh dari gemerlap kekuasaan. Beliau menghabiskan waktunya membaca kitab, menulis renungan, dan menasihati keluarga agar tetap setia kepada negara dan agama.
Namun penyakit jantung dan diabetes yang lama dideritanya akhirnya melemahkan tubuhnya. Pada 11 Juli 1951, Sultan Muhammad Salahuddin XIV wafat dengan tenang di Rumah Sakit Cikini. Pemerintah Republik Indonesia memutuskan untuk memakamkannya di TPU Karet Bivak, dengan pertimbangan situasi politik di daerah yang belum stabil.
Keputusan itu menjadi simbol sejarah: Sultan dimakamkan di jantung republik yang ia bela, bukan di istananya sendiri.
Negara memberi penghormatan dengan menetapkan makamnya sebagai situs bebas pajak selamanya. Pusara itu kini berdiri sederhana dengan nisan putih tanpa kemegahan, namun penuh wibawa dan do’a.
Setiap tahun, masyarakat Bima, Sumbawa, dan diaspora NTB datang berziarah. Mereka datang bukan untuk menangis, melainkan untuk meneguhkan kembali makna pengabdian. Di bawah rimbun pohon Karet Bivak, mereka mengenang Sultan yang mengajarkan bahwa kesetiaan bukan soal tempat berpijak, melainkan nilai yang dijaga hingga akhir hayat.
Cahaya dari Timur
Tujuh dekade setelah beliau berpulang, cahaya dari Timur itu kembali bersinar terang. Penetapan Sultan Muhammad Salahuddin XIV sebagai Pahlawan Nasional Republik Indonesia adalah bentuk keadilan sejarah sekaligus pengakuan negara terhadap integritas moral seorang pemimpin yang memilih jalan kebijaksanaan di tengah badai politik.
“Cahaya dari Timur” bukan sekedar metafora bagi sosok Sultan, tetapi gambaran tentang makna kesetiaan yang lahir dari keimanan dan akal sehat. Ia menunjukkan bahwa loyalitas kepada negara bukan berarti tunduk pada kekuasaan, melainkan kesetiaan pada nilai-nilai luhur kemanusiaan dan keadilan.
Sultan mengajarkan bahwa kepemimpinan bukan tentang menguasai rakyat, tetapi tentang menjadi pelindung bagi mereka. Bahwa dalam setiap zaman, seorang pemimpin harus berani menempuh jalan sunyi demi menjaga keutuhan bangsanya.
Ia tidak mengangkat senjata, tetapi menegakkan pena dan do’a, tidak menaklukkan wilayah, tetapi menaklukkan keserakahan dan kebodohan.
Dan di situlah letak kemuliaannya: Sultan Muhammad Salahuddin XIV tidak berperang dengan pedang, tetapi dengan kesabaran. Tidak meninggalkan monumen besar, tetapi meninggalkan warisan moral dan intelektual yang abadi.
Kini, di bawah langit Jakarta yang sibuk, makam beliau di Karet Bivak berdiri sebagai prasasti kesetiaan, bukan sekedar tanda peristirahatan.
Dari sana, cahaya Dana Mbojo seolah memancar ke seluruh penjuru Nusantara, mengingatkan bangsa ini bahwa pengabdian yang tulus tidak memerlukan panggung, sebab sejarah akan selalu berpihak kepada mereka yang jujur dan ikhlas dalam berjuang.
“Berkuasalah dengan ilmu, pimpinlah dengan kasih, dan cintailah tanah air dengan segenap keikhlasan.”
Dari Dana Mbojo hingga Karet Bivak,
dari istana yang sunyi hingga pusara yang sederhana,
jejak kesetiaan Sultan Muhammad Salahuddin XIV akan tetap menyala,
menjadi cahaya bagi bangsa yang terus mencari arti kemuliaan dalam pengabdian. (*)



