Perampingan OPD Pemprov NTB Resmi Disetujui Dewan, Puluhan Eselon III dan IV Terancam Kehilangan Jabatan

Mataram (NTBSatu) – DPRD NTB menyetujui Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2016 mengenai Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah, menjadi Peraturan Daerah (Perda).
Persetujuan itu disampaikan dalam rapat paripurna DPRD NTB, Senin, 30 Juni 2025.
Dalam pandangan akhir Pansus IV DPRD NTB disepakati, sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) lingkup Pemprov NTB dilakukan perampingan. Di antaranya, jumlah biro menjadi tujuh, semula terdapat sembilan biro.
Kemudian dinas-dinas menjadi 18 dari sebelumnya 24 dinas. Selanjutnya, badan-badan tidak ada perubahan, tetap berjumlah sembilang.
Hanya saja ada perubahan nama pada beberapa badan, missal Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), menjadi Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD). Sedangkan, Staf Ahli Gubernur dari tiga menjadi dua.
Imbas perampingan OPD ini, sejumlah pejabat akan kehilangan jabatannya. Bahkan, terancam diberhentikan. Terutama pejabat eselon III dan IV.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Biro Organisasi Setda NTB, Tri Budiprayitno mencatat, sebanyak tujuh jabatan eselon II yang berkurang akibat perampingan OPD ini. Namun secara hitungannya, posisi mereka relatif masih aman.
“Jadi meskipun ada pemangkasan jenjang eselon II masih relatif aman. Kalau semuanya masih mendapatkan amanah menjabat sebagai eselon II,” kata Yiyit, sapaan Kepala BKD NTB kepada NTBSatu, Kamis, 3 Juli 2025.
Kenapa demikian, Yiyit menjelaskan, meski tujuh jabatan berkurang dengan komposisi saat ini, tapi jumlah pejabat eselon II sekarang yang masih kosong atau diisi Plt ada 11.
Kemudian belum lagi pada tahun ini terdapat empat orang yang akan memasuki masa pensiun pada tahun ini. Ditambah empat jabatan Wakil Direktur (Wadir) RSUD Provinsi NTB yang masih lowong. Jabatan ini setara dengan eselon II b.
“Sehingga, total 19 jabatan yang kosong. Terpangkas tujuh. Sehingga tersisa 12. Untuk yang 12 ini kita akan mencari pejabat baru untuk mengisi jabatan tersebut entah melalui seleksi terbuka atau sebagainya,” jelasnya.
Data Pejabat Eselon III dan IV
Namun menjadi catatan adalah keberadaan pejabat eselon III dan IV. Data sementara Badan Kepegawaian Daerah (BKD) NTB, sekitar 70 pejabat eselon III terpangkas akibat perampingan OPD.
Tapi dari data yang ada tahun ini, masih ada puluhan pejabat eselon III yang lowong. Serta, masih ada juga pejabat yang pensiun. Misalnya, di bulan Juli ini di Dinas PUPR ada dua pejabat eselon III yang pensiun. Namun, tidak meng-cover keseluruhan 70 orang tersebut.
Sementara itu, untuk jabatan eselon IV, sekitar 122 jabatan yang berkurang akibat perampingan ini. Tapi lagi-lagi masih ada sejumlah jabatan yang kosong yang belum terisi saat ini.
“Termasuk juga ada juga beberapa yang pensiun. Untuk data pastinya nanti akan kita hitung dalam kurun waktu dua minggu ke depan,” ujarnya.
Meski masih banyak jabatan lowong, ujar Yiyit, namun belum mampu meng-cover semua pejabat yang terpangkas akibat perampingan OPD ini.
Sarankan Alih Status ke Jabatan Fungsional
Sehingga alternatifnya, Gubernur NTB, Lalu Muhamad Iqbal menyarankan untuk beralih status dari jabatan struktural ke jabatan fungsional. Namun menjadi catatan juga, jumlahnya relatif terbatas.
“Kita akan fasilitasi beberapa teman yang akan pindah ke fungsional, bahkan sudah ada yang mengontak kami dengan pilihannya akan mendaftar memilih jalur fungsional,” jelasnya.
Mantan Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi NTB ini menjelaskan, pejabat eselon III dan IV yang terpangkas kemudian tidak terakomodir untuk mengisi jabatan lowong dan tidak memenuhi untuk beralih ke jabatan fungsional, sangat berpotensi untuk diberhentikan.
“Mungkin kita akan kehilangan 20 sampai 30 jabatan eselon III, demikian pada eselon IV. Ini yang kemudian memang akan ada pengurangan posisi jabatan,” tuturnya.
Pemberhentian inj, lanjut Yiyit, memang sudah menjadi seleksi alam ini. Berdasarkan regulasinya, seorang PNS itu bisa diberhentikan atau dibebaskan dalam jabatannya atas beberapa hal.
Pertama, kalau meninggal dunia. Kedua, jika yang bersangkutan mengundurkan diri. Ketiga terseret masalah hukum. Serta, ketika ada kebijakan atau program rasionalisasi dari pimpinan.
“Kalau jadi pegawai memang seperti itu. Seperti itulah konsekuensinya atas perubahan,” ungkapnya. (*)