Hukrim

Hotman Paris Soroti Kasus Dugaan Pelecehan Seksual Penyandang Disabilitas di NTB

Mataram (NTBSatu) – Pengacara kondang, Hotman Paris Hutapea, menyoroti kasus dugaan pelecehan seksual oleh seorang penyandang disabilitas di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), baru-baru ini.

Mengutip laman akun instagram pribadinya, @hotmanparisofficial, ia menyampaikan rasa prihatin sekaligus tidak percaya dengan penetapan tersangka pemuda disabilitas tanpa lengan, Iwas alias Agus dalam dugaan kasus pemerkosaan terhadap mahasiswi tersebut.

Menurut Hotman, tidak masuk akal jika Agus ditetapkan sebagai tersangka pemerkosaan. Mengingat kondisi fisiknya sangat terbatas untuk melakukan aktivitas sehari-hari.

“Makanya, aneh banget ini. Aku lagi coba telusuri. Kasihan. Dia makan, mandi, buang air besar pun harus dengan bantuan. Bagaimana dia mau memperkosa mahasiswa? Gak masuk akal!,” tulis Hotman, Sabtu, 30 November 2024.

Postingan Hotman Paris sontak menuai banyak komentar netizen. Banyak yang mengarah simpatinya kepada Agus, yang notabenenya telah menjadi tersangka.

Mayoritas mereka turut mendorong pengacara kondang itu untuk mengusut tuntas kasus ini agar mendapatkan kebenaran dan keadilan.

“Aku juga dukung bang @hotmanparisofficial untuk memperdalam kasus ini, agar benar-benar jelas dan terang. Karena kalau kita pikir secara akal sehat, tetap tidak masuk akal,” tulis akun @dsgita_23.

Sebagai informasi, Subdit IV Dit Reskrimum Polda NTB menetapkan Iwas alias Agus, menjadi tersangka dugaan kekerasan seksual.

Pria berusia 21 tahun itu, ditetapkan sebagai tersangka setelah mengantongi alat bukti yang cukup.

Polisi pun menjeratnya dengan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

Kasubdit IV Dit Reskrimum Polda NTB, AKBP Ni Made Pujawati menyebut, pasal 6 UU TPKS tidak hanya berbicara menuntut unsur paksaan dan kekerasan.

Melainkan juga berkaitan dengan unsur tindakan yang menyebabkan seseorang tergerak untuk melakukan kekerasan seksual. Pihaknya juga memeriksa sejumlah saksi dan memeriksa ahli psikolog dari Himpunan Psikolog Indonesia (Himpsi).

“Jadi, sekali lagi UU TPKS itu tidak murni menyarankan adanya unsur paksaan,” kata Puja, pada NTBSatu, Jumat, 29 November 2024. (*)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button