Mataram (NTB Satu) – Tidak jarang, sawah-sawah di NTB mengalami kekeringan. Kemudian, muncul anggapan jika pemerintah tidak mampu mengelola serta mendistribusikan air yang tersedia dengan baik dan benar. Namun, perlu diketahui, proses penanaman dan jenis tanaman yang ditanam semestinya mengikuti jumlah ketersediaan air dalam setiap musim tanam.
Apabila tidak mengikuti imbauan tersebut, maka petani berpotensi mengalami gagal panen. Penanaman tanaman yang tidak sesuai dengan jumlah ketersediaan air dapat disebut sebagai praktik pelanggaran tata tanam. Oleh karena itu, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) NTB melalui bidang Sumber Daya Air tengah menyiapkan strategi untuk mengantisipasi gagal panen yang berpotensi dialami petani.
“Pada tahun 2023, kami akan memperluas layanan irigasi untuk area pertanian di NTB. Namun, perlu diingat, petani juga semestinya menaati imbauan tentang penanaman berdasarkan jumlah ketersediaan air,” ujar Kepala Bidang Sumber Daya Air Dinas PUPR NTB, Lalu Kusuma Wijaya, S.T., M.T., Minggu, 29 Januari 2023.
Saat ini, terdapat 35 daerah irigasi dan 127 unit embung yang tersebar di seluruh wilayah NTB. 127 unit embung tersebut tidak termasuk bantuan yang telah diserahkan kepada masyarakat. Masing-masing embung memiliki luas 20 hektare dan daya tampung air mencapai 5000 liter kubik.
Layaknya sebuah jalan, masing-masing daerah irigasi dikelola oleh pengelola tertentu. Ada daerah irigasi yang dikelola Pemerintah Pusat, kemudian ada pula daerah irigasi yang dikelola Pemerintah Provini serta Pemerintah Kabupaten dan Kota.
Bidang Sumber Daya Air Dinas PUPR NTB, bertugas untuk memanfaatkan 35 daerah irigasi yang secara keseluruhan mencapai 85.000 hektare dengan sebaik-baiknya kemudian mendistribusikan air secara tepat waktu dengan jumlah yang sesuai. Di tingkat Pemerintah Provinsi, Dinas PUPR NTB mengelola air yang bersumber dari sungai.
“Bendung-bendung yang terdapat di beberapa sungai di NTB berfungsi untuk menaikkan permukaan air. Setelah dinaikkan, air tersebut akan dialirkan menuju sawah-sawah yang membutuhkan,” terang Wijaya.
Data mengenai ketersediaan air yang ada di Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa telah dihitung oleh Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara I. Melalui Komisi Irigasi yang ada di setiap Pemerintah Provinsi serta Pemerintah Kabupaten dan Kota, akan dihasilkan kesepakatan soal penentuan air yang akan dibagikan ke masing-masing wilayah.
Dinas PUPR NTB pun telah membuat ukuran pembagian air untuk masing-masing musim tanam. Dari jumlah air tersebut, Komisi Irigasi di tingkat kabupaten akan menginformasikan kepada petani mengenai jenis tanaman yang sebaiknya ditanam dengan mengikuti jumlah ketersediaan air. Untuk memastikan serta menjaga pendistribusian air tepat waktu dan berjumlah sesuai, diperlukan kegiatan operasi dan pemeliharaan.
“Kami tidak boleh asal memberikan air. Kemudian, petani pun semestinya tidak diperkenankan untuk asal tanam tanpa mempertimbangkan jumlah ketersediaan air. Jika tidak memiliki ukuran yang tepat, akan terdapat konsekuensi yang berpotensi merugikan petani berupa gagal tanam dan gagal panen,” jelas Wijaya.
Kepada petani, Wijaya berpesan agar tidak menanam melebihi jumlah ketersediaan air. Karena, itu dapat mengganggu keberlangsungan panen. Apabila menanam jenis tanaman yang tidak sesuai dengan jumlah air yang tersedia, itu dapat disebut sebagai pelanggaran tata tanam.
“Perlu diketahui, setiap musim tanam memiliki karakteristrik yang berbeda-beda. Hal tersebut turut dipengaruhi oleh curah hujan. Curah hujan kemudian mempengaruhi jumlah ketersediaan air,” pungkas Wijaya. (GSR)