Mataram (NTBSatu) – Pemerintah pusat telah menggelontorkan anggaran ratusan miliar ke Provinsi NTB sepanjang tahun 2024. Gelontoran anggaran sebesar itu, menawarkan kue pembangunan yang manis bagi masyarakat semua lapisan. Tapi faktanya, kemiskinan dan beragam permasalahan sosial masih jadi realitas pahit sampai penghujung tahun.
Berdasarkan data Kanwil Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Provinsi NTB, kucuran anggaran tersebut untuk membiayai program-program penghapusan kemiskinan ekstrem. Di antaranya, program perlindungan sosial (Rp9,5 miliar), pembangunan prasarana perumahan dan pemukiman (Rp211,6 miliar). Kemudian, bantuan pendidikan tinggi (Rp21,88 miliar), dan pelatihan di bidang industri (Rp14,28 miliar).
Dari pengendalian inflasi hingga pengentasan kemiskinan, uang itu mengalir ke berbagai program, seolah menjadi jawaban bagi permasalahan yang telah mengakar.
Namun, kenyataannya tetap menghantam dengan ironi kemiskinan, pengangguran, dan ekonomi masyarakat seperti berjalan di tempat.
Apa yang salah dengan NTB? Mengapa provinsi yang kaya sumber daya alam seperti emas, tembaga, sampai hasil tani ini justru terjebak dalam kemiskinan struktural?
Di balik retorika pembangunan dan angka-angka statistik yang mengilap, NTB menjadi cerminan kegagalan tata kelola. Seolah potensi besar milik daerah ini tenggelam dalam jurang pengelolaan buruk, korupsi, dan ketimpangan.
SDA Melimpah, Tapi Siapa Menikmati?
NTB bukanlah wilayah tanpa aset. Di Kabupaten Sumbawa Barat, tambang emas dan tembaga PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) berdiri sebagai salah satu tambang terbesar di Indonesia.
Namun, apa manfaatnya bagi masyarakat setempat?
Menurut pengamat ekonomi di NTB, Dr. Ihsan Rois, tambang ini hanya mempekerjakan sekitar 20 ribu orang. Angka yang sangat kecil dibandingkan jutaan masyarakat NTB yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Kontribusi sektor tambang terhadap PDRB memang besar, mencapai 21 persen. Tapi ini hanyalah angka, tanpa dampak nyata bagi kesejahteraan.
Dana bagi hasil yang diharapkan menjadi motor penggerak pembangunan sering kali tersendat, terjebak dalam birokrasi atau malah disalahgunakan.
“Hasilnya ? Kekayaan bumi NTB tidak pernah benar-benar kembali ke tangan rakyatnya,” tukas Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mataram tersebut.