Petani Selalu Tertinggal
NTB adalah salah satu lumbung pangan nasional, dengan produksi padi yang melimpah. Produksinya pada 2024 mencapai 1,45 juta ton Gabah Kering Giling (GKG).
Tetapi di balik pencapaian itu, terdapat kenyataan yang getir. Sebagian besar petani NTB adalah petani gurem (perseorangan). Mereka bekerja di lahan kecil yang, bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya.
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi NTB, mencatat sektor pertanian menyumbang 22 persen PDRB dan melibatkan 700 ribu tenaga kerja, justru menjadi sumber terbesar kemiskinan.
Petani tidak mendapatkan nilai tambah yang layak, karena industrialisasi di sektor ini nyaris tidak ada. Hasil tani mereka jual mentah, tanpa ada pengolahan yang memberikan keuntungan lebih besar.
Di mana peran pemerintah dalam mendorong hilirisasi? Mengapa industrialisasi di sektor pertanian ini begitu diabaikan?
Pada sisi lain, geliat program Petani milenial yang pemerintah gaungkan menghadapi berbagai tantangan. Mulai dari keterbatasan akses modal dan lahan akibat tingginya harga, serta alih fungsi lahan hingga kurangnya pengetahuan tentang teknologi pertanian modern yang dapat meningkatkan produktivitas.
Serta, pemasaran hasil panen sering terkendala oleh ketergantungan pada tengkulak, sementara perubahan iklim yang tidak menentu menambah risiko kerugian.
“Selain itu, pandangan negatif terhadap profesi petani sebagai pekerjaan yang kurang menjanjikan juga mengurangi minat generasi muda untuk terjun ke sektor ini,” ungkap Kepala BPS Provinsi NTB, Wahyudin.
Minimnya dukungan kebijakan pemerintah dan infrastruktur yang tidak memadai semakin memperburuk situasi, membuat petani milenial sulit bersaing dan berkembang.
Kemiskinan dan Ketergantungan yang Mematikan
Ketika pertanian dan tambang gagal menjadi tumpuan hidup yang memadai, masyarakat terjebak dalam ketergantungan pada pinjaman online, investasi bodong, hingga judi online.
Rekaman data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan, Provinsi NTB menjadi satu-satunya daerah luar Jawa yang memiliki tingkat kredit macet pinjaman online tinggi. Besarannya di kisaran 5,26 persen hingga Agustus 2024.
Artinya, masyarakat NTB doyan pinjol tapi ogah bayar.
Hal ini kemudian diperparah dengan banyaknya masyarakat yang terbuai iming-iming return besar, dan keuntungan ganda dari investasi ilegal.
Agustus lalu, OJK NTB telah melaporkan perusahaan Manning Salvage dan Lee (MSL) di Lombok Timur ke Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (Satgas PASTI). Situs perusahaan MSL kini telah Kominfo blokir.
“Masyarakat harus waspada kalau ada investasi yang menjanjikan iming-iming keuntungan sangat tinggi dan pasti. Apalagi dengan klaim free risk atau bebas risiko,” kata Kepala OJK NTB, Rudi Sulistyo.
Tekanan ekonomi yang begitu besar telah merenggut nyawa banyak orang. Seperti kasus tragis pemuda di Montong Gading, Lombok Timur pada Jumat, 27 Desember 2024, yang mengakhiri hidupnya akibat tersandung utang pinjaman online sebesar Rp300 juta.
Apakah ini harga yang harus masyarakat NTB bayar untuk bertahan hidup? Ketika mereka terombang-ambing tanpa perlindungan, apa yang sebenarnya pemerintah daerah kerjakan?.