Tata kelola kesehatan di NTB sedang diuji. Sejumlah kejadian yang viral seperti pasien ditandu, tak bisa dianggap angin lalu. Perlu dicatat, statistik keluhan kesehatan masyarakat NTB tiga tahun berturut-turut terburuk secara Nasional. Situasi semakin runyam jika tenaga dan fasilitas kesehatan terbatas, diikuti buruknya aksesibilitas jalan. Alih-alih sembuh, pasien temui ajalnya akibat melewati jalan terjal berbatu.
_____________________________________
Atina panik. Bercak darah keluar menempel di pakaian dalamnya. Malam itu juga, Rabu, 2 April 2025 sekitar pukul 23.00 Wita, ia dilarikan ke IGD Puskesmas Paruga, Kota Bima.
Oleh petugas, ia kemudian dinyatakan pendarahan ringan. “Masih bisa diselamatkan. Asalkan bed rest (istirahat) total,” ujar petugas medis yang jaga malam itu.
Petugas medis tidak bisa berbuat banyak untuk memberikan tindakan medis. Hanya yang boleh melakukan itu dokter spesialis kandungan.
Namun informasi sejak awal sudah diperoleh. Dokter kandungan sedang cuti, libur, dan ada yang sakit. Jadi alasan Puskesmas tak merujuk ke Rumah Sakit Kota Bima. “Percuma kami rujuk, di sana (RS Kota Bima) nggak ada dokter kandungan. Sebaiknya istirahat total saja,” ujar petugas.
Seorang dokter umum setempat sempat memberi isyarat, pendarahan dapat ditanggulangi dengan suntik penguat kandungan atau treatment obat-obatan lainnya. “Tapi yang hanya boleh, dari Obgyn (Obstetrics and Gynecology). Saya tidak berwenang,” ujarnya.

Peristiwa pilu itu akhirnya menimpa Atina. Jumat, 4 April 2025 pukul 01.00 Wita, ia dinyatakan keguguran oleh Dokter RSUD Kota Bima. Saat vonis itu, dokter kandungan masih belum ada yang bertugas. Satu pun.
Pemkot Bima melalui Dinas Kesehatan mengakui keterbatasan dokter dan tidak ada pola pengaturan jadwal cuti bagi para Obgyn.
Dilarikan ke RSUD Sumbawa
Nasib serupa dialami ibu hamil lainnya di Kabupaten Bima, dampak dokter kompak cuti.
Nuraida (23) asal Desa Ncera, Kecamatan Belo, Kabupaten Bima harus dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sumbawa.
Dalam cuitan di Facebook “Zakiyah Rahman” Minggu, 30 Maret 2025, ia menuliskan tentang “Ibu hamil dilarang lahiran” karena dokter spesialis kandungan kompak cuti.

Ia sudah keliling sejumlah RS di Kota Bima dan Kabupaten Bima. Namun sayang, tak ada dokter spesialis kandungan yang bertugas. Mengharuskan Nuraida di bawa ke RSUD Sumbawa.
Nuraida bersama keluarganya langsung menuju ke RUSD Sumbawa menggunakan mobil ambulans dari Puskesmas Ngali.
Namun dalam perjalanan, Nuraida mengalami pecah ketuban di sekitar jalan raya Kecamatan Madapangga, Kabupaten Bima. Tak ada jalan lain, mereka langsung mampir di RSUD Manggelewa, Kabupaten Dompu. Hingga akhirnya berhasil lahiran dengan selamat.
Akui Kekurangan Dokter Obgyn
Dinas Kesehatan Provinsi NTB mengakui masih terdapat kekurangan dokter spesialis, khususnya di bidang kandungan, di wilayah Kabupaten Bima dan Kota Bima.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTB, dr. Lalu Hamzi Fikri menyampaikan, bahwa jumlah dokter kandungan di dua wilayah tersebut belum memenuhi standar ideal.
Ia menegaskan, idealnya setiap daerah memiliki 0,02 dokter kandungan per 1.000 penduduk. Berdasarkan hitungan tersebut, Kota Bima membutuhkan setidaknya empat dokter kandungan, sedangkan Kabupaten Bima membutuhkan sembilan orang.
“Di Kota Bima saat ini ada empat orang, dan di Kabupaten Bima ada dua yang sedang menempuh pendidikan. Jadi memang masih kurang,” kata dr. Fikri, Jumat, 11 April 2025.

Ia juga mengakui bahwa jumlah dokter spesialis dasar, seperti spesialis obstetri dan ginekologi, anak, bedah, dan penyakit dalam, baru terpenuhi sekitar 60 persen di RSUD di seluruh NTB. Hal ini menunjukkan adanya kebutuhan mendesak untuk meningkatkan jumlah dan distribusi dokter spesialis di provinsi ini.
Untuk mengatasi kekurangan ini, Dinas Kesehatan Provinsi NTB aktif mendorong pemerintah daerah menyekolahkan putra-putri lokal ke jenjang pendidikan dokter spesialis, termasuk kandungan.
“Kami dorong agar daerah menyekolahkan tenaga medis yang dibutuhkan. Itu sudah dilakukan, tetapi memang jumlahnya masih sedikit,” ujarnya.
Ketimpangan Dokter Spesialis
Ketimpangan ini sesuai fakta di lapangan menurut Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Provinsi NTB.
Distribusi dokter spesialis di wilayah NTB yang dinilai belum merata dan masih menumpuk di Kota Mataram.
“Di Kota Mataram jumlah dokter spesialis menumpuk, sementara di daerah lain masih sangat minim,” ujar Ketua IDI Provinsi NTB, dr. Rohadi kepada NTBSatu, Rabu, 16 April 2025.
Ia mencontohkan kondisi di Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) yang hanya memiliki kurang dari 10 dokter spesialis dari total 41 dokter.

Bahkan jika dilihat secara keseluruhan, idealnya harus ada 150 dokter umum di sana. Namun realitasnya jumlah yang tersedia masih di bawah angka 50 orang.
“Ini menyebabkan kondisi yang timpang, di mana di satu sisi cukup, tapi di sisi lain masih sangat kurang. Maka distribusi dokter spesialis harus adil, proporsional dengan jumlah penduduk dan kebutuhan daerah,” tegasnya.
Rohadi juga menilai, minat para dokter untuk mengabdi lebih besar di Mataram dibandingkan daerah pelosok seperti Taliwang atau Brang Rea. Hal ini diperparah dengan minimnya dukungan dari pemerintah daerah dalam hal sarana dan prasarana (sapras), serta insentif yang belum berkeadilan.
“Pemda harus hadir menyiapkan segala aspek pendukung, mulai dari fasilitas hingga insentif yang layak dan adil,” katanya.
Tak Mampu Bayar Ambulans
Tak hanya itu, kasus pilu lainnya datang dari RSUD Provinsi NTB. Seorang Ibu asal Kabupaten Sumbawa Barat (KSB), Yuliana (20) bersama Ibunya, Hadiatullah (53) terpaksa membawa pulang jenazah bayinya menggunakan transportasi online. Lantaran tak mampu membayar biaya ambulans yang mencapai jutaan rupiah.

Lantaran biaya sewa ambulans yang mahal mencapai jutaan rupiah, Yuliana (20), ibu asal Kabupaten Sumbawa Barat bersama ibunya Hadiatullah (53) terpaksa membawa pulang jenazah bayinya dari RSUD Provinsi NTB menggunakan mobil transportasi atau taksi online.
Meski Direktur RSUD Provinsi NTB dr. Lalu Herman Mahaputra sudah mengklarifikasi bahwa itu kehendak keluarga, namun sorotan tetap dialamatkan ke rumah sakit yang tak mampu memfasilitasi kepulangan keluarga pasien.
Ditandu Karena Jalan Rusak
Peristiwa pilu kembali terulang di Dusun Meang, Kecamatan Sekotong, Lombok Barat. Seorang ibu hamil rela ditandu, lantaran kondisi jalan rusak dan tidak bisa dilintasi kendaraan.
Bermodalkan sarung dan sebatang bambu, tiga pria secara bergiliran menggendong ibu hamil bernama Santri (20 tahun). Yang merupakan warga daerah setempat.
Dalam video yang diterima NTBSatu, terlihat tiga pria dengan langkah tertatih, mereka melewati jalan tak beraspal yang licin dan penuh dengan batu-batu kecil.
Kasus ini bukan yang pertama di kawasan wisata kelas dunia tersebut.

“Ada juga dulu, seorang ibu hamil sampai melahirkan di tengah jalan. Jadi ini bukan kali pertamanya kejadian seperti ini,” kata Fauzi menjawab konfirmasi NTBSatu, Selasa, 21 Januari 2025.
Empat Kasus di Batu Jangkih
Selain Meang Lombok Barat, peristiwa serupa terjadi di Dusun Batu Jangkih, Kecamatan Praya Barat Daya, Lombok Tengah. Kamis, 19 Mei 2022 seorang perempuan bernama Dian, terpaksa ditandu warga melewati sungai. Ibu hamil ini terpaksa digotong warga melewati sungai, karena tak ada jembatan layak.
Faktanya, lima tahun sejak kejadian pertama, tak ada perubahan. Alih-alih dibangunkan jembatan. Sabtu, 15 Februari 2025, seorang ibu hamil kembali ditandu ke Puskesmas akibat jalan rusak.

Satu bulan sebelumnya, Raonah (40), ditandu menuju Puskesmas terdekat tanggal 27 Januari 2025. Dalam keadaan membutuhkan perawatan segera, Ronah harus berjibaku dengan kondisi jalan yang rusak parah dan tidak bisa dilintasi kendaraan. Mengakibatkan ia ditandu oleh warga setempat menuju rumahnya, dari tempat mengambil rumput.
Lagi-lagi di tempat yang sama. Selasa, 1 April 2025, seorang warga yang meninggal dunia di Puskesmas Batu Jangkih, tak bisa dipulangkan menggunakan ambulans, gara-gara jalan rusak parah. Warga terpaksa menandu jenazah secara bergiliran.
Tandu Jenazah di Sumbawa
Ibu Atun menghembuskan napas terakhirnya di RSUD Sumbawa setelah menjalani perawatan akibat sakit.
Pihak keluarga membawa pulang jenazah dengan berjalan kaki dari Desa Marente menuju Dusun Matemega. Sejumlah warga dan aparat kepolisian ikut menandu jenazah menyusuri jalan berbatu dan berlumpur.
Video yang diunggah oleh akun Hirwandi Dode di media sosial baru-baru ini menuai empati luas dari warganet.
Warga berharap kejadian serupa tidak terulang. Mereka mendesak pemerintah daerah untuk segera membenahi jalan penghubung antara Desa Marente dan Dusun Matemega, agar akses transportasi menjadi layak dan aman.
Peristiwa ini mencerminkan kesenjangan pembangunan yang masih terjadi di beberapa pelosok daerah NTB.

Kesenjangan ini dilihat Omboudsman NTB sebagai tugas Pemerintah Daerah (Pemda) memastikan pelayanan dasar terpenuhi. Kepala Ombudsman RI Perwakilan NTB, Dwi Sudarsono meminta Pemda selaku pembina pelayanan publik melakukan upaya pembinaan, pengawasan, dan evaluasi terhadap pelaksanaan pelayanan publik di Rumah Sakit.
Namun, tidak hanya Pemda yang harus bergerak. Semua pihak harus bekerja sama untuk masalah ini.
“Rumah Sakit selaku penyelenggara pelayanan publik mengevaluasi pemenuhan standar pelayanan rumah sakit,” jelas Dwi Sudarsono.
Lalu Pemda, kata Dwi, menyediakan anggaran atas biaya yang tidak diperoleh oleh keluarga yang tidak mampu, di luar BPJS.
Apabila masyarakat tidak puas dengan pelayanan rumah sakit dapat mengadukan kepada Pemda selaku pembina penyelenggara dan tentu kepada Ombudsman.
“Kalau terjadi penyimpangan standar pelayanan atau tidak memperbaiki pelayanannya segera adukan,” tegasnya.
Sistem Pelayanan Kesehatan Disorot
Rentetan kejadian ini jadi sorotan publik setelah viral, baik di media sosial maupun pemberitaan berbagai media massa. Publik tahu lemahnya fasilitas dan tenaga kesehatan, setelah keributan di media sosial. Dapat dibayangkan, kejadian kejadian serupa yang tak muncul di publik.
Dosen Kesehatan Masyarakat Universitas Pendidikan Mandalika (Undikma), Muhammad Karjono mendorong, penting untuk melihat faktor-faktor lain secara menyeluruh.
“Cuti dokter adalah hak yang melekat dan harus dihormati, tetapi sistem juga harus menjamin adanya backup. Kalau tidak ada mekanisme pengganti saat dokter cuti, maka ini bukan masalah personal, melainkan kekosongan sistem layanan kesehatan,” jelasnya.

Ia menyinggung data dari RSUD Bima yang menunjukkan saat ini hanya ada dua dokter spesialis kandungan yang bertugas. Jumlah ini dinilai belum ideal untuk melayani kebutuhan masyarakat Bima yang mencapai lebih dari 150 ribu jiwa.
“Idealnya, rasio dokter spesialis kandungan itu sekitar 1 per 16.000 penduduk. Berarti paling tidak Bima membutuhkan 8 sampai 10 dokter kandungan untuk pelayanan yang merata dan responsif,” kata Karjono.
Kementerian Kesehatan sendiri belum memiliki kebijakan baku yang mengatur mekanisme cuti dan pengganti dokter spesialis di rumah sakit daerah.
Saat ini, solusi jangka pendek biasanya dilakukan melalui konsultasi daring atau pemberian mandat kepada dokter umum atau bidan untuk menangani pasien dalam kondisi tertentu.
Namun, menurut Karjono, pendekatan seperti itu tidak cukup jika sistem distribusi dokter spesialis masih timpang.
“Ini saatnya pemerintah daerah mendorong kolaborasi dengan fakultas kedokteran dan mempercepat rekrutmen tenaga spesialis melalui jalur pendidikan berbasis rumah sakit. Tanpa intervensi kebijakan yang lebih kuat, kejadian seperti ini akan terus berulang,” tegasnya.
Tantangan Keluhan Kesehatan NTB
Di tengah tantangan menghadapi pemenuhan tenaga spesialis, Provinsi NTB menunjukkan tren negatif soal keluhan kesehatan masyarakat.
Pada tahun 2023, sekitar 39,4 persen penduduk melaporkan mengalami keluhan kesehatan dalam sebulan terakhir. Bahkan tertinggi di Indonesia selama tiga tahun berturut-turut.
Tahun 2021, setidaknya 42,15 persen penduduk NTB melaporkan mengalami keluhan kesehatan dalam sebulan terakhir, jauh di atas rata-rata nasional sebesar 27,23. Tahun 2022, angka ini meningkat menjadi 43,62 persen. Tahun 2023 memang terjadi penurunan menjadi 39,4 persen, namun NTB tetap menjadi provinsi dengan persentase tertinggi di Indonesia. Sebab, rata rata nasional, 27,23 persen.

Kendati demikian, perkembangan positif dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Pada tahun 2024, IPM NTB mencapai angka 73,10 atau meningkat 1,01 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Capaian ini menempatkan NTB dalam kategori tinggi, sekaligus menandakan kemajuan dalam sektor pendidikan, kesehatan, dan standar hidup masyarakat. Khusus untuk sektor kesehatan, umur harapan hidup meningkat menjadi 72,25 tahun.
Kesimpulannya, pertumbuhan IPM NTB pada 2024 menempati peringkat ke-10 nasional, dan berhasil melampaui rata-rata pertumbuhan IPM Indonesia.
Pelayanan Kesehatan dan Kemantapan Jalan
Sektor kesehatan tak bisa dilepas dari akses jalan. Betapa aksesibilitas mempengaruhi masyarakat untuk mudah dan cepat mencapai fasilitas kesehatan.
Dua kejadian di Dusun Meang, Sekotong Lombok Barat, kemudian pasien ditandu di Desa Batu Jangkih Lombok Tengah dan termasuk Metamega Kabupaten Sumbawa, menunjukkan keterbelakangan akses kesehatan di daerah terpencil.
Pasien ditandu menunjukkan tren mundur fasilitas transportasi untuk pelayanan kesehatan. Seperti mengembalikan daerah ini pada situasi saat kolonial.
Sejalan dengan kondisi akses jalan di Provinsi NTB, terutama di wilayah kabupaten yang jauh dari status kemantapan. Data Dinas PUPR Provinsi NTB Tahun 2024, secara rata-rata, tingkat kemantapan jalan kabupaten/kota di NTB berada di angka 65 persen. Hanya di Kabupaten Lombok Tengah, kemantapan jalan mencapai 88 persen, meningkat dari 63 persen.

Sedangkan status jalan provinsi, dari total 1.484,43 kilometer, tingkat kemantapan mencapai 84,52 persen. Sekitar 180 kilometer atau lebih dari 10 persen jalan provinsi berada dalam kondisi rusak parah. Untuk memperbaiki jalan-jalan yang rusak ini, dibutuhkan anggaran sekitar Rp500 miliar
Sementara jalan nasional, dari total panjang 934,55 kilometer, tingkat kemantapan mencapai 97,04 persen, menunjukkan kondisi yang sangat baik.
Reformasi Kebijakan Kesehatan
Situasi ini mendorong IDI Provinsi NTB lantang menyuarakan reformasi kebijakan kesehatan yang lebih kuat, di bawah kepemimpinan nasional saat ini.
Menurutnya, penguatan sektor kesehatan merupakan bagian dari visi besar pembangunan nasional.
“Dalam konteks Nawa Cita Prabowo, sektor kesehatan tidak boleh jadi objek efisiensi. Kita harus perkuat Universal Health Coverage (UHC). Di NTB sendiri sudah mencapai lebih dari 99 persen, artinya mayoritas masyarakat, termasuk yang kurang mampu, sudah tercakup BPJS,” ungkapnya.

Ia mengapresiasi perkembangan pendidikan kedokteran di NTB yang kini memiliki empat fakultas kedokteran. Yakni Universitas Mataram, Universitas Islam Al-Azhar (Unizar) Mataram, Universitas Muhammadiyah Mataram, dan Universitas Bumi Gora.
Dari kalkulasi nasional, jumlah tenaga kesehatan NTB dalam enam tahun ke depan diproyeksikan akan mencukupi.
Tapi di balik itu, ada potensi masalah sentimen antara tenaga medis. Jangan sampai terjadi rebutan lahan praktik di kota besar sementara daerah terpencil kekurangan.
Tak hanya soal jumlah, insentif dan perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan juga disebutnya masih minim.
“Banyak tenaga kesehatan yang belum mendapatkan insentif yang layak, dan perlindungan hukum pun belum maksimal. Ini harus jadi perhatian,” tandas Rohadi. (*)
Tim LIPSUS NTBSatu
Penanggung Jawab: Haris Mahtul
Korlip: Zhafran Zibral, Tim Liputan: Muhammad Yamin, I Gusti Ayu Pradnya Premasita Saraswati, Atim Laili, Muhammad Khairurrizki.