OpiniWARGA

Transforamsi Nilai Kejujuran Puasa dalam Penguatan Nilai Demoraksi dan Kepemiluan

Oleh: Ria Sukandi
Penulis adalah Anggota Bawaslu Lombok Utara

Berpuasa adalah kewajiban bagi setiap orang yang beriman, puasa sendiri merupakan ritual suci yang mengikat ragam dimensi bagi orang yang memiliki keyikanan atau berketuhanan.

Dimensi itu ialah spiritual, dimensi ini tidak diletakan begitu saja atau bebas tetapi bersyarat yaitu bagi orang yang beriman.

Seseorang yang menjalankan ibadah puasa mesti suci baik Dzahiriah dan Batiniah, puasa juga pengikat pada batasan dan hal- hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan.

Termasuk puasa sebagai mekanika pembakaran, ia membakar seluruh keinginan, hasrat dan hawanafsu. Pada konteks puasa sebagai mekanika, aktivitas fisik dan non fisik diasah untuk tidak menuntut kelazimannya. Ia tegak dalam batasan absoulut spiritual yang urusannya langsung dengan sang khaliq (Tuhan).

IKLAN

Dalam pelaksanaan puasa terdapat tata nilai yaitu kejujuran, langsung dan rahasia.

Maksudnya ialah puasa yang dijalankan seseorang dengan sebenar- benarnya terletak pada niat dan kesungguh- sungguhannya, tidak berbohong kepada dirinya, sadar bahwa dirinya diawasi langsung oleh Ilahi Robbi tuhan yang maha suci.

Ibadah ini pahala dan perbuatannya diawasi langsung Tuhan tanpa perantara

Maka demikian dalam perspektif penyelenggara, Puasa memantik dua hal yaitu “Langsung dan Rahasia” sudah sedianya di elaborasi pada tata nilai kerja pengawasan, dua hal tersebut relevan ditransformasikan dalam kerja pengawasan, termasuk pada kegiatan penegakkan nilai- nilai demokrasi dalam ihwal ke Pemiluan termasuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Korelasi terhadap relevansi antara puasa dan kerja pengawasan “Langsung dan Rahasia”, menumpu pada dimensi spiritual yang wajib dimiliki pengawas.

Demikian itu guna sebagai jaminan adanya etika, adab, akhlak dan tata kerama (integritas). Seorang penyelenggara pengawas hendaknya memiliki budi pekerti yang merendah namun tetap hawasul hawas dan tegas, mampu mendeteksi dini setiap setiap munculnya potensi pelanggaran yang timbul kapan saja.

Bisa dibayangkan, kerja pengawasan dalam Pemilu menyentuh seluruh aspek termasuk didalamnya adalah keamanan dan ketertiban masyarakat sekala besar.

Guna memhami pentingnya kedudukan ini oleh pengawas maka dimesni spiritual dari puasa dapat diartikan juga sebagai pemegang mandat atau amanah dari negara yang seyogyanya diimplentasikan sesuai dengan kebutuhan regulasi yang mengatur, termasuk tata nilai puasa sebagai portal atau peringatan agar tidak absourt.

Relevansi berikutnya adalah pada dimensi Sosial, dalam dimensi ini Pendidikan politik dan Demokrasi lima tahun tersebut tidak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu. Nilai- nilai dalam penyelenggaran pemilu sendiri diambil dari sumber Islam seperti pelaksanaannya yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia serta jujur dan adil (Luber- Jurdil).

Penguatan nilai demokrasi dan pendidikan politik ini mesti terus diserukan dan disuarakan agar tidak berhenti, sekalipun tahapan tidak ada.

Kendati timbulnya sesuatu lantaran adanya kebijakan yang menyebabkan terjadinya suatu atau kondisi setelah tahapan penyelenggaraan dinyatakan selesai seperti, kebijakan efisensi yang menyulut sendi gerak pemerntahan tidak terkecualai lembaga penyelenggara Pemilu seperti Bawaslu. Kegiatan penyadaran dan penguatan demokrasi harus tetap berjalan.

Nilai kebenaran dari proses pendidikan politik yang terus menerus nantinya membentuk dirinya dalam kemampun masyarakat menilai pemimpinnya. Tentu proses tersebut membutuhkan intensitas waktu yang tinggi dan lagi panjang.

Bebrapa hal yang dapat dilakukan dalam penguatan nilai- nilai demokrasi ini ialah mentransformasikan tata nilai “Puasa” sebagai kerja pengawasan dengan melaksanakan program “Ngabuburit Pengawasan” di bulan suci Ramadhan, juga dengan turun kemasyarakat atau datang ke kelompok- kelompok organisasi. Tidak bisa dipungkiri.

Permasalahan Pemilihan kerap selalu berhadapan pada konteks penegakkannya, prinsif, azas yang termuat dalam nilai kejujuran diharapkan mampu menjadi “panglima”. Dalam sebuah sabda Baginda Rasul; Amwa Udwa Likum fil Ilmu, berikanlah ilmu yang sesuai dengan kebutuhannya. Pada pesan ini hendaknya pelanggaran itu disesuaikan dengan dasar perbuatan dan hukumnya agar setimpal dan berkeadilan.

Menyongsong tahapan pemilu dua tahun berikutnya lagi yaitu, pada tahun 2027 tentu berbagai asfek mesti disiapkan oleh penyelenggara Pemilu bil khusus Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Waktu yang relative begitu cepat formula dan inovasi sebagai bentuk kesiap- siagan, melakukan pemetaan terhadap terjadnya suatu perubahan regulasi yang begitu cepat dengan dinamika yang mungkin saja tidak sama dari pemilu sebelumnya.

Mengantispasi itu lagi- lagi tata nilai puasa seperti kesabaran dan kejujuran ditempatkan lebih awal dalam menyambut tiap- tiap perubahan yang terjadi.

Sementara dalam ihwal penegakan hukum pemilu diharapkan kejujuran diposisikan paling atas bahkan di atas “Amanah”, nilai jujur dalam perspketif Al- Qur’an tentu terelaborasi dalam nilai kejujuran berdasar Pancasila.

Kejujuran ditempatkan sebagai “panglima” diharapkan mampu menghindari diri dari kepentingan (political intrest) yaitu kepentingan orang- perorangan kelompok maupun golongan, sehingga kerja- kerja kelembagaan tidak tercedrai dan menimbulkan kesan in-konsitensi dari peraturan yang ada. Mampu mengurai upaya kompromisitas dari para pihak yang berkepentingan terlebih adanya hubungan family.

Nilai kejujuran Pancasila yang bersumber dari Al- Qur’an atau kitab suci lainnya adalah suatu system nilai yang diperintahkan dan dilaksanakan sesuai amanat yang dikandungnya. Semisal dalam penegakkan pelanggaran Netralitas ASN, TNI- POLRI, Kepala Desa atau sebutan lainnya, Politik Uang, Sara, Hoaks atau berita bohong hingga pelanggaran perundangan lainnya dalam Pemilu dapat terakomodir.

Subtasni nilai kejujuran di implementasikan kendati langit runtuh. Penegakan adalah esensial dari nilai kejujuruan yang diletakkan dalam hak kemanusiaan. Oleh sahabat bertanya, ya Rasulullah apakah kebaikan itu? Rasul lantas menjawab “kau tanya hatimu” jika tindakan itu membuat ketenangan dalam hidup maka lakukan.

Pada sisi ini Baginda Rasul Muhammad. SAW menyeru, antipiati terhadap seseorang tidak dapat dijadikan sebagai alasan yang dikedepankan, apalagi sebagai alasan terhadap timbulnya suatu tindakan dominan untuk mengkotomi seseorang, Analogi dalam Pemilu adalah para calon. Islam sendri mengingatkan “ketika seseorang memberi kebaikan maka jangan dinilai semua orang tersebut adalah baik, sebaliknya ketika perbuatan buruk, seesorang tersebut tidak dinilai buruk”.

Pada dimensi integritas penyelenggara adalah bagian terpenting dari nilai kejujuran, pondasi awal yang wajib dipenuhi. Seperti halnya dalam keterpenuhan sayarat sebagai anggota Bawaslu, KPU atau DKPP. Demikian pentingnya nilai kejujuran ini diletakkan pada subyektivitas personality. Pada akhirnya penulis ingin berpesan sesungguhnya perspketif kerja pengawasan pada literasi politik dan demokrasi adalah tentang subtansi nilai kejujuran, bersifat langsung, bebas, rahasia dan adil. Petikan hikmah dan manfaat dari ibadah Puasa di Bulan Ramdhan “Alhu’alam”. (*)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button